February 12, 2016

TOD Jakarta

Tahun 2004 menjadi penanda dalam pengelolaan transportasi umum di kota Jakarta. 

Dengan pengoperasian BRT TransJakarta Koridor Blok M – Kota ini,  Pemprov DKI menjadi pemerintah daerah pertama yang menyediakan dan mengelola sendiri layanan angkutan umum perkotaan bagi warganya. Pada Oktober 2013 Pemprov DKI melanjutkan penyediaan layanan angkutan umum dengan memulai pekerjaan konstruksi angkutan massal berbasis rel, MRT. Hal ini menegaskan bahwa mobilitas perkotaan di Jakarta akan didasarkan pada transportasi massal yang berkualitas dan manusiawi, bukan kendaraan pribadi yang tidak efisien dan efektif.
Di samping permasalahan mobilitas yang sudah terjadi pada kondisi saat ini, kota Jakarta juga terus mendapatkan tantangan sebagai kawasan megapolitan terbesar di Indonesia. Pada tahun 2008 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah peradaban manusia, lebih dari separuh populasi manusia tinggal dan menetap di area perkotaan. Jakarta yang merupakan pusat segala kegiatan ekonomi bagi Indonesia akan terus mengundang pendatang. Hal ini bukan merupakan suatu hal yang perlu, atau bahkan dapat, dihindari namun lebih untuk dihadapi.
Agar kota Jakarta dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya di tengah tuntutan kepadatan penduduk dan mobilitas perkotaan yang sangat tinggi, diperlukan pendekatan terhadap pembangunan kota yang lebih baik dan lebih komprehensif. Konsep pembangunan perlu diselaraskan dengan konsep penyediaan mobilitas bagi warganya. Dengan konsep penyediaan mobilitas perkotaan yang telah ditetapkan berupa angkutan umum massal, maka konsep pembangunan yang ada pun perlu disesuaikan agar berorientasi terhadap sistem angkutan umum yang telah ada maupun direncanakan. Konsep pembangunan inilah yang kemudian disebut sebagai Transit Oriented Development (TOD).

1. Tujuan TOD
Dengan latar belakang yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka penyelenggaraan TOD memiliki tujuan antara lain:
a. Meningkatkan penggunaan layanan transportasi massal yang diselenggarakan oleh pemerintah kota.
b. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di dalam kawasan TOD.
c. Menggantikan mobilitas warga kota menjadi transportasi yang berkelanjutan seperti berjalan kaki, bersepeda, dan angkutan umum.
d. Mengoptimalkan fungsi budidaya ruang kota untuk mendukung pertumbuhan kehidupan perkotaan yang terus meningkat.

2. Definisi TOD Menurut TOD Standard
ITDP pada tahun 2013 meluncurkan TOD Standard dalam rangka memformulasikan secara lebih komprehensif mengenai definisi TOD. Konsep TOD didefinisikan sebagai pola pembangunan yang memaksimalkan manfaat dari sistem angkutan umum, juga secara tegas mengembalikan fokus pembangunan kepada penggunanya ⎯ manusia. TOD menyiratkan proses perencanaan dan perancangan berkualitas tinggi dari pola tata ruang dan wilayah untuk mendukung, memfasilitasi, dan memprioritaskan tidak hanya penggunaan angkutan umum, tapi juga moda transportasi yang paling mendasar yaitu berjalan kaki dan bersepeda.

Area Penerapan dan Ruang Lingkup TOD

1. Area Penerapan TOD
– Luasan area penerapan TOD: Konsep TOD memiliki potensi pengaruh yang paling besar pada kawasan di sekitar halte atau stasiun, sebagai titik akses ke dalam sistem       angkutan umum yang tersedia. Dengan konsep penyediaan mobilitas yang sustainable, maka aksesibilitas yang dimaksud diprioritaskan terhadap moda berjalan kaki      dan bersepeda. Dengan demikian luasan area penerapan TOD juga akan bergantung pada kondisi fasilitas dan lingkungan berjalan kaki.

– Area TOD sebagai pembatasan penggunaan kendaraan bermotor: Prioritas yang diberikan kepada moda berjalan kaki, bersepeda, dan angkutan umum di area                        penerapan TOD ini juga merupakan suatu alat kebijakan untuk mulai melakukan pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi.

– Titik stasiun/halte angkutan umum massal untuk konsep TOD: Sejalan dengan tujuan dari penerapan konsep TOD, maka sistem angkutan umum yang dimaksud                 dalam studi TOD di Jakarta ini mencakup sistem Transjakarta BRT dan sistem MRT. Dengan demikian konsep TOD perlu untuk diterapkan di setiap kawasan sekitar    halte busway Transjakarta dan stasiun MRT. Konsep TOD juga Dapat diterapkan pada kawasan di sekitar stasiun KRL, namun dikarenakan pengelolaan sistem KRL            yang terdapat di bawah naungan PT. KCJ yang notabene menjadi domain pemerintah pusat, maka pada studi ini penekanan lebih ditujukan pada dua sistem angkutan        umum massal yang disebutkan sebelumnya.

– Area prioritas penerapan TOD: Area TOD yang hendak diwujudkan adalah kawasan dengan fungsi guna lahan yang padat dan bercampur. Pada kondisi yang telah ada,       masih banyak ditemui kawasan-kawasan sekitar stasiun/halte angkutan umum massal yang masih didominasi oleh fungsi guna lahan yang homogen dengan mayoritas       luasan persil yang kecil atau terpecah-pecah. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan timbulnya perbedaan tingkat kesulitan dalam penerapan konsep TOD pada suatu         kawasan. Oleh karenanya penerapan TOD perlu dilakukan secara bertahap. Prioritas penerapan TOD diberikan pada kawasan-kawasan sekitar stasiun/halte angkutan       umum massal dengan tata guna lahan yang cukup heterogen dan/atau dengan mayoritas luasan persil yang cukup besar. Penerapan TOD pada kawasan non-prioritas         dapat dilakukan setelah kawasan prioritas. Pada kawasan TOD non-prioritas juga perlu diberikan kebijakan insentif untuk mendorong land consolidation.

2. Ruang Lingkup TOD
Terdapat 3 ruang lingkup kebijakan terkait TOD yang akan dibahas dalam studi ini. Ketiga ruang lingkup ini saling melengkapi satu dengan lainnya, sehingga tidak ada satu pun yang dapat dikesampingkan untuk dapat mencapai suatu kawasan TOD. Tiga ruang lingkup kebijakan terkait TOD tersebut antara lain:
– Aksesibilitas menuju stasiun
Selain memberikan kemudahan untuk orang-orang menggunakan layanan angkutan massal yang tersedia, aksesibilitas stasiun/halte tidak hanya dipengaruhi oleh               jalur masuk dan keluar stasiun/halte namun juga kondisi lingkungan berjalan kaki dan bersepeda yang di sekitar stasiun/halte tersebut. Akses stasiun/halte angkutan         umum massal sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu yang terdapat pada ruang publik dan terdapat pada ruang privat.
– Intensitas pemanfaatan ruang
Salah satu tujuan penerapan TOD adalah memaksimalkan penggunaan ruang kota. Dengan adanya penyediaan sarana mobilitas yang lebih sustainable, maka daya              dukung kota pun akan semakin bertambah. Di sisi lain, tingkat kepadatan kegiatan yang tinggi juga akan menyumbang terhadap perbaikan mobilitas perkotaan.                    Dengan keterkaitan yang tinggi antara tingkat kepadatan kegiatan dan mobilitas, maka kebijakan terkait TOD juga akan secara langsung berhubungan dengan                        peraturan-peraturan terkait intensitas pemanfaatan ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), ketinggian bangunan dan                  lainnya.
– Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi
Aksesibilitas sistem angkutan umum massal yang baik serta intensitas pemanfaatan ruang yang baik tidak serta merta membuat peralihan moda dari kendaraan                   pribadi ke angkutan umum. Secara ekonomi, suatu moda hanya akan dipilih ketika memberikan manfaat keekonomian yang lebih besar daripada pilihan moda yang           lainnya. Hal ini pula yang terjadi di kota-kota dengan sistem angkutan umum yang maju di mana alasan utama orang-orang menggunakan angkutan umum adalah               karena sulit dan mahalnya menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Dengan demikian penerapan TOD yang benar akan mencakup juga push strategy yang                         mendorong pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan memaksa pengendara kendaraan untuk beralih ke angkutan umum, berjalan kaki, dan/atau bersepeda

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend