December 15, 2017

[Urban Transport Discussion #5] Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi atau Eksklusivitas?

Mencari solusi bagaimana membuat perempuan aman dan nyaman menggunakan transportasi publik. Mulai dari perubahan proses rekrutmen karyawan hingga pentingnya desain sebuah kota.

Pada Kamis, 14 November 2017, ITDP Indonesia kembali mengadakan Urban Transport Discussion. Diskusi yang dimulai pukul 18.00 hingga 20.00 merupakan diskusi ke – 5 dari seri Urban Transport Discussion. Dengan tajuk, “Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi atau Eksklusivitas?”, ITDP Indonesia mengangkat sebuah tema tentang hak wanita ketika berada di ranah publik, khususnya dalam sistem transportasi publik. Dalam diskusi ini, ITDP mengundang Iriantoni Almuna, National Programme Officer UN Women Indonesia; Daud Joseph, Direktur Operasional PT. Transportasi Jakarta; dan Mega Tarigan,  Kepala Divisi Railway Operations PT. MRT Jakarta, sebagai narasumber.

UN Women Indonesia baru-baru ini merilis sebuah kajian yang berjudul “Scoping Study: Audit Keamanan di 3 Wilayah Jakarta”. Kajian ini  menunjukkan bahwa perempuan masih belum merasa aman untuk menggunakan transportasi publik. Walaupun sudah ada berbagai upaya memastikan kenyamanan dan keamanan perempuan untuk bisa beraktivitas di ranah publik, khususnya dalam berbagai sistem transportasi publik, oleh pemerintah dan badan usaha pengelola transportasi publik di Jakarta seperti: adanya ruang khusus bagi wanita di Bus Transjakarta, gerbong khusus wanita di KRL hingga instalasi CCTV di berbagai area terbuka di 79 stasiun kereta di Jakarta. Meski demikian, masih banyak perempuan yang mengalami tindak pelecehan dan kekerasan seksual ketika berada di transportasi publik.

Menurut Iriantoni Almuna, isu pelecehan dan kekerasan seksual adalah isu yang kompleks dan perempuan masih sangat rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual di ranah publik termasuk dalam transportasi publik. Salah satu rekomendasi dalam studi ini adalah dengan memperbanyak tempat publik yang ramah akan wanita. Meski begitu, berdasarkan penelitian di negara lain yang juga  menerapkan sistem ini, pemisahan dan pengkhususan area untuk perempuan bukanlah solusi jangka panjang yang tepat. Tetapi dibutuhkan perubahan budaya dan pikiran yang melihat, membiarkan ataupun melakukan pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik, merupakan sesuatu yang salah serta patut untuk dilaporkan dan diadili. Wanita dan anak perempuan seharusnya tidak memiliki rasa takut ketika berada di transportasi publik. 

Daud Joseph, mengamini hal tersebut. Maka dari itu, selain memiliki ruang khusus bagi perempuan di dalam bus dan bus yang dikhususkan bagi penumpang perempuan,  PT. Transjakarta memiliki kebijakan dan perintah khusus bagi para petugas on board untuk bertindak sebagai first responder ketika terjadi pelecehan dan kekerasan seksual di dalam bus. Ia juga memaparkan bahwa seringkali kejadian pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di jam-jam sibuk, maka dari itu Transjakarta juga meningkatkan jumlah armad bus hingga 4 kali lipat di waktu krusial tersebut sebagai salah satu upaya untuk mempersempit gerak pelaku kekerasan dan pelecehan seksual. “Saya juga menghimbau kepada korban kekerasan dan pelecehan seksual untuk speak up, petugas kami akan mendampingi pelaporan hingga ke kantor polisi,” papar Daud Joseph.

Sementara bagi MRT Jakarta  yang belum beroperasi hingga tahun 2019, diskusi ini menjadi kesempatan bagi PT. MRT Jakarta untuk menampung saran serta masukan dalam mengambil kebijakan operasional yang berkaitan dengan isu hak keamanan dan kenyamanan perempuan di transportasi publik. Mega Tarigan, mengatakan bahwa pada saat ini PT. MRT Jakarta sedang proses finalisasi apakah diperlukan Kereta Khusus Wanita atau tidak saat beroperasi nanti. Untuk saat ini PT. MRT Jakarta sedang mengkaji sistem operasional untuk mengakomodir kebutuhan penumpang perempuan dan pencegahan kejadian pelecehan maupun kekerasan seksual di dalam gerbong MRT Jakarya, salah satu sistem operasional dimana  pemberlakuan gerbong khusus untuk kelompok rentan (wanita, anak-anak, lansia dan difabel) hanya saat peak hour menjadi kandidat kuat sistem operasional yang akan dipilih. “Tapi kami belum bisa berjanji banyak mengenai kepastian kebijakan ini. Hopefully, sebelum beroperasi kebijakan ini sudah bisa kami sampaikan ke publik,” ungkap Mega Tarigan.

Corporate Communication dari PT. KCI,  Jerica Deasy yang hadir dalam diskusi ini juga menambahkan bahwa, pihak PT. KCI sebagai pengelola KRL Jabodetabek sangat peduli mengenai keselematan dan keamanan pelanggan mereka, termasuk perempuan. Selain, pengadaan Gerbung Khususs Wanita, PT. KCI juga telah memasang CCTV di berbagai stasiun KRL dan akan terus meningkatkan layanan mereka agar berbagai kejadian pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di KRL tidak kembali terulang.

Setelah pemaparan dari narasumber, muncul berbagai pertanyaan, saran dan masukan dari peserta diskusi ,  beberapa saran yang disampaikan dalam Urban Transport Discussion 5 ialah :

  1. Sistem pelaporan yang komprehensif dimana korban mendapat tindakan pertama dan pendampingan yang tepat saat melaporkan kejadian kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami.
  2. Pengadaan aplikasi khusus yang terintegrasi sehingga memudahkan pelaporan bagi korban
  3. Memperbanyak Public Service Announcement dalam berbagai bentuk materi (poster, video) didalam transportasi publik
  4. Pelatihan bagi karyawan perusahaan pengelola transportasi publik dalam menangani kekerasan dan pelecehan seksual sebagai first responder dan menghindari peran karyawan sebagai pelaku
  5. Personal Space. Misalnya, ketika jam sibuk (peak hour) dapat menambah armada atau gerbong agar tidak terjadi sentuhan fisik yang ekstrim yang menyebabkan kesalahpahaman

Pada akhir diskusi, Country Director ITDP Indonesia, Yoga Adiwinarto menambahkan bahwa terkait infrastruktur 

selain tindakan preventif di armada, desain kota dan transportasi di Jakarta sudah harus menjadi model bagi kota lain yang mengutamakan keamanan dan keselamatan kelompok rentan (perempuan, anak-anak dan difabel). Desain ini meliputi akses menuju transportasi publik yang juga harus diperhatikan.

Kota yang inklusif sudah harus menjadi visi dan misi dari kota-kota hebat di dunia, termasuk Jakarta. Banyak sekali solusi yang bisa diajukan sehingga nantinya dapat menemukan solusi permanen yang tepat untuk menanggulangi kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi publik, Iriantoni Almuna kembali menekankan dalam isu pelecehan serta kekerasan seksual, baik ditransportasi publik atau dimana pun, bahwa yang  bisa dilakukan sebagai individu adalah dengan tidak menjadi pelaku dan tidak menyalahkan korban atas kejadian yang dialami.

Mega Tarigan memaparkan, walaupun  PT. MRT Jakarta belum memiliki kebijakan khusus operasional mengenai isu ini, ia berterima kasih dan mencatat semua masukan dan poin penting dalam diskusi ini sebagai rujukan untuk PT. MRT Jakarta ke depannya dalam mengambil keputusan.

Sentimen yang mirip juga dikeluarkan oleh Daud Joseph, ia mengatakan bahwa ia sendiri banyak mendapat masukan dan juga ide dari diskusi ini untuk meningkatkan kondisi operasional Transjakarta. Ia mengakui bahwa proses rekrutmen menjadi poin penting untuk mencegah petugas menjadi salah satu pelaku, ia akan mempertimbangkan untuk memperkerjakan recruitment team sebagai filter bagi karyawan Transjakarta ke depannya.

 

Unduh Press Release Urban Transport Discussion #5 “Perempuan di Transportasi Publik: Segregasi atau Eksklusivitas?” 

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend