January 16, 2018
Posisi Becak dalam Keseharian Ibu Kota
Kalau mobil atau motor yang menambah beban ruang, kemacetan, dan emisi memenuhi jalan ibukota didiamkan, kenapa kehadiran becak yang diperdebatkan?
Dalam acara peresmian persiapan Community Action Planning (Minggu, 14/1/2018) di Taman Waduk Pluit, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan akan menghidupkan kembali moda transportasi becak di Jakarta. Rencana ini jauh berbeda dengan sejarah sikap Kota Jakarta terhadap moda transportasi tersebut, dan menjadi momok pembicaraan berbagai pihak.
Anies berpendapat bahwa becak masih menjadi moda transportasi yang dibutuhkan di Ibu kota. Ia juga memberi contoh pihak yang masih memerlukan keberadaan becak ialah ibu-ibu yang berbelanja di pasar, terutama mereka yang memiliki barang bawaan banyak sehingga susah membawanya dengan ojek maupun angkutan kota lainnya.
Perbedaan Sikap dan Sejarah Becak di Jakarta
Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu bersikap kontra atas eksistensi becak di dalam kota Jakarta. Telah hadir sejak sejak abad ke-20, becak merupakan pilihan utama pedagang Tiongkok pada masanya untuk membawa barang mereka ketika melakukan aktivitas perdagangan. Tetapi lama-kelamaan, Pemerintah Kolonial Belanda melarang keberadaan becak karena dianggap membahayakan keselamatan penumpang, menimbulkan kemacetan dan jumlahnya yang terus bertambah.
Becak kembali membludak pada zaman penjajahan Jepang, karena penggunaan bensin yang saat itu diawasi ketat. Masyarakat kembali berpaling pada becak sebagai moda transportasi pilihan. Pasca kemerdekaan, Pemerintah Jakarta kembali melihat becak sebagai gangguan. Becak dianggap sebagai simbol yang menunjukkan ketertinggalan Indonesia, apalagi saat itu Pemerintah Indonesia tengah gencar melakukan pembangunan. Maka, mulai dicarilah berbagai cara untuk menghambat eksistensi becak di Jakarta.
Pada tahun 1970, Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan aturan mengenai larangan total angkutan yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, melarang produksi becak, mengadakan razia becak, menetapkan daerah bebas becak serta memasukkan becak ke Jakarta. Sikap ini diteruskan oleh para Gubernur setelah Bang Ali.
Pelarangan becak secara total di Jakarta terakhir kali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Gubenur DKI Jakarta pada saat itu, Fauzi Bowo. Di dalam Perda tersebut disebutkan bahwa barangsiapa yang membuat, merakit, menjual dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak serta mengoperasikannya bisa dihukum penjara ataupun didenda.
Tetapi pada kenyataannya, pengoperasian becak masih banyak terjadi di daerah Jakarta Barat dan Utara, terutama di daerah pasar.
Perubahan Paradigma
Sebuah kota besar seringkali berorientasi pada kendaraan bermotor pribadi, termasuk Jakarta. Penduduknya menjadi terlalu nyaman dengan keberadaan mobil dan kemacetan hingga menjadi sesuatu yang ditolerir. Ketika apapun mengusik status quo mobil dan jalannya, misal saat jalur khusus Transjakarta dibangun atau seperti sekarang penghidupan kembali becak, selalu akan menjadi isu besar dan ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Padahal ini yang harus didobrak bila ingin Jakarta terbebas dari kemacetan. Kalau mobil atau motor yang menambah beban ruang, kemacetan, dan emisi memenuhi jalan ibukota didiamkan, kenapa kehadiran becak yang diperdebatkan?
Dengan regulasi yang khusus dan ketat, becak bisa menjadi salah satu cara dari sebuah kota untuk mempromosikan transportasi tidak bermotor (non-motorized transport). Jika pemerintah serius dengan wacana ini, tentunya harus dibarengi dengan aturan yang mengatur jelas tentang keberadaan becak di DKI Jakarta. Aturan tersebut bisa berupa rute yang diizinkan untuk bisa dilewati, modernisasi fisik becak, lokasi parkir khusus bagi becak, kuota becak yang diperbolehkan aktif, tarif yang dikenakan pelanggan, jalur khusus untuk becak dan sepeda serta skema perizinan yang jelas jika ada yang ingin menjadi pengemudi becak.
Becak sebenarnya juga bisa menjadi penunjang sistem transportasi umum, terlebih becak biasanya hanya melayani perjalanan jarak pendek. Tetapi kembali harus ditekankan, ketika pemerintah mengizinkan becak kembali beroperasi maka harus ada peraturan yang mengikat bagi para pengelola becak. Pemerintah harus memperlakukan becak sama seperti moda transportasi yang lain, ketika terjadi pelanggaran maka harus ada penindakan tegas dari pemerintah
Memang perlu ada kehati-hatian dalam pengangkatan wacana penghidupan kembali becak di Jakarta, tetapi masyarakat tidak perlu terlalu panik dengan isu tersebut. Becak itu hanya pelengkap, ada perannya sendiri. Apalagi pemerintah menjanjikan becak hanya akan beroperasi di lingkungan-lingkungan tertentu saja.
Sumber “Perbedaan Sikap dan Sejarah Becak di Jakarta”: Historia