December 14, 2018

Membangun Kota Yang Inklusif dan Manusiawi

“Saya panik ketika ubin pemandu hilang di ujung jalan. Saya coba angkat tongkat saya untuk mencari bidang lain yang bisa jadi penunjuk jalan saya ke halte, sampai akhirnya menemukan dinding. Lebih takut lagi ketika harus menyeberang, tidak ada ubin pemandu, jadi saya tidak tahu harus berjalan ke mana. Belum lagi suara-suara klakson motor dan mobil yang membuat saya semakin panik. Ubin warna kuning itu, tolong, harus ada di setiap trotoar! Sangat penting untuk teman-teman tuna netra,” Sunarso, karyawan swasta.

Hari itu, seperti biasa, Sunarso melintas di trotoar baru Sudirman-Thamrin sepulang kerja, tepatnya di kawasan Dukuh Atas. Pria paruh baya ini hendak pulang bertemu istrinya yang sudah menunggu di stasiun commuter line Sudirman. Kami memberanikan diri menghentikan langkah Sunarso dan mengajaknya untuk menjadi salah satu warga Jakarta di hari itu yang merasakan berada di posisi teman-teman disabilitas ketika mengakses kota.

Di acara yang berbeda, Mudita, perempuan warga kota yang sehari-hari menggunakan transportasi publik berharap progress yang kini dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam merevitalisasi fasilitas pejalan kaki tidak hanya berhenti di jalan-jalan utama. Mudita ingin semua ruas trotoar di Jakarta dapat diakses perempuan dengan aman dan nyaman. “Pengennya perempuan tuh bisa jalan di trotoar pakai high heels atau mendorong stroller tanpa menemui hambatan seperti motor atau mobil yang parkir di atas trotoar,” ungkap Mudita.

Lain lagi yang disampaikan Rahmawati alias Mey. Sebagai pengguna transportasi umum dan juga tuna rungu, penerangan di fasilitas publik jadi hal yang sangat dikhawatirkan. “Masih banyak sekali tempat-tempat publik yang kurang penerangan, bahkan di jalan Sudirman – Thamrin sekalipun. Karena kawasan yang gelap, kami rentan sekali terkena pelecehan dan kekerasan seksual,” papar Mey menggunakan bahasa isyarat.

Untuk menjadi sebuah kota yang inklusif dan berkelanjutan, tata ruang serta desain kota harus mendukung mobilitas dari berbagai kalangan. Indikator pembangunan kota yang inklusif, kota yang dapat diakses semua orang dengan beragam usia dan gender serta tingkat kemampuan fisik berbeda, adalah terpenuhinya kebutuhan perempuan dan kelompok rentan (anak-anak, lansia, disabilitas dan perempuan dengan anak) dalam mengakses kota. Kedua kelompok ini seringkali tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan kota, terbukti dengan tidak disediakannya fasilitas yang dapat menunjang mobilitas mereka.

Padahal, hak-hak keterlibatan dan penyediaan kebutuhan mereka tercantum dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Bagi teman-teman disabilitas, hak akan penyediaan aksesibilitas tercantum dalam UU Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas dan bagi perempuan, tercantum di UU Republik Indonesia No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam dua UU ini, disebutkan hak disabilitas dan perempuan dalam mendapatkan aksesibilitas serta transportasi yang baik.

Menuju Aksesibilitas dan Transportasi Publik yang Inklusif

Untuk menuju sebuah kota yang inklusif, pemenuhan kebutuhan kelompok rentan harus menjadi perhatian utama sebuah kota. ITDP Indonesia melalui acara “Women and the City” mengundang perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan untuk mengenal lebih dekat ruang publik dengan berjalan kaki bersama di sepanjang Jalan Sudirman – Thamrin, serta “Kota untuk Semua” sebagai kegiatan eksperimen sosial dan dialog kolaboratif dengan teman-teman penyandang disabiliats di Jakarta.

Berdasarkan diskusi dan evaluasi yang terjadi selama dua kegiatan tersebut berlangsung, ITDP Indonesia menangkap bahwa aksesibilitas dan transportasi publik di Jakarta belum inklusif. Dari dua kegiatan berlangsung, para peserta dan ITDP Indonesia menyoroti lima isu utama aksesibilitas dan transportasi publik di Jakarta, yaitu

  1. Kemudahan akses masuk Bus Transjakarta
  2. Ketersediaan penerangan di bus stop dan trotoar
  3. Ketersediaan informasi di halte, bus stop, dan sekitarnya
  4. Akses penyeberangan menuju halte
  5. Fasilitas penunjang di halte

Kemudahan Akses Masuk Bus Transjakarta

Aksesibilitas dari fasilitas publik dan layanan transportasi publik masih menjadi masalah, terutama bagi masyarakat kelompok rentan. Dalam hal kemudahan mengakses transportasi publik seperti Transjakarta, kondisi trotoar yang kurang memadai dalam mencapai tempat pemberangkatan maupun kondisi trotoar di tempat pemberhentian masih menyulitkan bagi para pelanggan yang ingin menggunakan layanan Transjakarta. Dalam hal kemudahan akses untuk masuk Bus Transjakarta, jarak antara bus dan platform halte atau trotoar masih menjadi perhatian utama, khususnya bagi para penyandang disabilitas.

Desain ramp dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) menuju halte Transjakarta juga menjadi sorotan utama, karena belum ada desain akses yang dapat memudahkan para pengguna kursi roda maupun kaum rentan lainnya, sehingga layanan Transjakarta belum dapat dinikmati oleh semua kalangan. Ramp yang tersedia di bus low-entry sangat membantu pengguna kursi roda untuk keluar-masuk bus dari dan menuju trotoar. Namun di beberapa lokasi pemberhentian di mana terdapat perbedaan ketinggian yang signifikan antara trotoar dan bus, ramp yang pendek ini membuat sudut kemiringan menjadi lebih tajam sehingga menyulitkan pengguna kursi roda.

Selain desain dan akses, dibutuhkannya Standard Operating Procedure (SOP) tentang metode keluar-masuk bus serta informasi seating layout yang jelas bagi pengguna kursi roda, baik yang sudah menggunakan layanan Transjakarta maupun yang belum, sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi penumpang dan petugas yang melayani.

Ketersediaan Penerangan di Bus Stop dan Trotoar


Penerangan menjadi isu lain yang mendapatkan perhatian khusus masyarakat kota yang berasal dari kelompok rentan. Minimnya penerangan di trotoar maupun lokasi bus stop/pemberhentian bus low-entry Transjakarta menjadi masalah, bagi para wanita maupun penyandang disabilitas. Minimnya penerangan yang ada diperparah dengan kurangnya penerangan sementara yang biasanya terjadi selama proyek konstruksi fasilitas publik maupun trotoar, sehingga membahayakan bagi para pejalan kaki yang melintas. Pentingnya fasilitas penerangan di ruang publik, demi menjaga keamanan ketika berjalan kaki dan menunggu kedatangan bus di malam hari, terutama bagi wanita dan kaum rentan lainnya.  

Ketersediaan Informasi di Halte, Bus Stop, dan sekitarnya

Ketersediaan informasi dalam layanan transportasi publik menjadi salah satu isu aksesibilitas yang dirasakan penting oleh masyarakat kelompok rentan.  Minimnya informasi dalam layanan transportasi publik maupun fasilitas publik, seperti trotoar dan halte, dapat menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan informasi penting untuk mengakses kota mereka. Para pelanggan penyandang disabilitas, khususnya pelanggan tuna rungu, seringkali kesulitan untuk berkomunikasi dengan petugas Transjakarta dan sulit mendapatkan informasi dalam bentuk teks untuk bersiap turun di halte tujuan. “Berbeda dengan Singapura ataupun Malaysia, dimana setiap transportasi publik memiliki papan informasi yang jelas, baik di dalam atau di luar bus.” Ungkap Rahmawati, salah satu penyandang tuna rungu.

Masih minimnya informasi di bus stop ditambah dengan tidak adanya petugas seperti di halte BRT, sehingga pelanggan kesulitan mendapatkan informasi jadwal kedatangan bus, rute yang lewat di bus stop tersebut, jam operasional, dan lain sebagainya. Kurangnya informasi papan penunjuk arah dan peta situasi di area JPO maupun bus stop, sehingga pelanggan yang baru saja turun terutama ketika menggunakan rute baru menjadi kebingungan saat hendak melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir.

Akses Penyeberangan Menuju Halte

Akses penyeberangan di Kota Jakarta masih belum dirasakan inklusif dan manusiawi, terbukti dari banyaknya  JPO penyeberangan di beberapa tempat yang sebenarnya. Padahal JPO penyeberangan di Jakarta baik yang memiliki tangga maupun ramp masih belum inklusif, terutama bagi para penyandang disabilitas.  Akses penyeberangan langsung sebidang, seperti zebra cross, yang sudah ada masih dirasa belum aman bagi para pengguna kursi roda dan kaum rentan lainnya. Hal ini dipicu oleh perilaku pengendara bermotor, kurangnya waktu yang disediakan untuk menyeberang, dan tidak ada rambu khusus menyeberang. Maka diperlukan adanya SOP petugas patroli atau halte untuk membantu pengguna kursi roda dan kaum rentan lainnya saat menyeberang.

Dengan segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh akses penyeberangan sebidang, dari segi keamanan jembatan penyeberangan masih menjadi pilihan mayoritas responden untuk mengakses halte Transjakarta. Tetapi banyak jembatan penyeberangan orang yang ada tidak dapat diakses ataupun sulit diakses  oleh para penyandang disabilitas. Dari dua acara yang ITDP laksanakan, ITDP menemukan ada 3 akses JPO di Sudirman, tidak ada yang memiliki kemiringan standar 8%. Semua melebihi batas atas standar, bahkan hingga mencapai tingkat kemiringan 42%. Para pengguna eksperimen sosial yang mencoba menggunakan kursi roda, tidak ada satupun yang berhasil naik hingga ke atas JPO setinggi 5 meter tanpa bantuan orang lain.

Fasilitas Penunjang di Halte dan Ruang Publik

Fasilitas penunjang di fasilitas publik, seperti di trotoar dan halte, seperti bangku di ruang tunggu dan CCTV di ruang publik. Pemasangan CCTV di trotoar dirasakan perlu untuk mencegah tindakan kriminalitas maupun kekerasan seksual. Rasa aman dan nyaman yang serupa dapat diraih dalam layanan transportasi publik dengan berbagai cara, yaitu peningkatan keamanan di halte dan angkutan umum, peningkatan kapasitas bagi para operator maupun petugas layanan angkutan umum untuk pencegahan pelecehan maupun kekerasan seksual, perbaikan penerangan dan informasi di halte.

Pendekatan Partisipatif dalam Perencanaan untuk memastikan Inklusivitas

Untuk mencapai desain dan tata kota yang inklusif, ITDP Indonesia menyadari dan menekankan pentingnya perencanaan partisipatif dalam pembangunan perkotaan yang inklusif. Selama ini arah pembangunan perkotaan seringkali bersifat satu arah, yaitu top-down, yang berarti kebijakan publik seringkali tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunannya. Akibatnya, perkotaan seringkali lebih sulit diakses oleh masyarakat yang berasal dari kelompok rentan, dimulai dengan infrastruktur fisik yang tidak ramah, minimnya peraturan atau prosedur operasi standar dalam mengakomodasi para penyandang disabilitas dalam layanan publik, serta minimnya prosedur operasi standar dalam menangani pelecehan maupun kekerasan seksual di ruang publik.

Maka ITDP Indonesia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan perkotaan agar pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan semua kalangan publik dan bersifat inklusif. Hasil dari pembangunan perkotaan yang bersifat partisipatif dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat secara lebih merata. Pendekatan partisipatif dapat dilakukan pemerintah melalui pengumpulan data dan dialog kolaboratif dengan berbagai grup masyarakat terkait. Dengan metode tersebut, masyarakat dari kelompok rentan juga memiliki andil dalam menentukan arah pembangunan perkotaan menjadi lebih ramah bagi perempuan, anak-anak, manula, penyandang disabilitas dan semua kalangan masyarakat. Dari partisipasi masyarakat dalam acara “Women and the City” dan “Kota Untuk Semua”, ITDP Indonesia mendapat berbagai masukan dalam perencanaan perkotaan yang lebih inklusif dari para wanita, anak-anak, manula, serta penyandang disabilitas, khususnya dalam infrastruktur dan pelayanan transportasi publik di Jakarta.

Untuk menciptakan mobilitas yang ramah, aman, inklusif bagi semua kalangan masyarakat Kota Jakarta ITDP Indonesia  memberikan beberapa rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sebagai pemangku kepentingan utama, yaitu:

  1. Penyediaan ramp atau akses masuk menuju halte dan bus Transjakarta yang lebih ramah bagi pengguna kursi roda.
  2. Layout dalam bus Transjakarta yang lebih memudahkan untuk pergerakan kursi roda
  3. Pembangunan trotoar yang luas, menerus dan rata serta dilengkapi oleh ubin pemandu tanpa terputus.
  4. Signage atau penanda informasi berupa teks di berbagai fasilitas publik dan layanan transportasi publik agar mempermudah bagi pengguna tuna rungu
  5. Penambahan waktu penyeberangan di akses penyeberangan sebidang untuk mengakomodasi
  6. Penerangan di ruang trotoar yang perlu lebih diperbanyak untuk meningkatkan rasa aman dan keselamatan bagi semua kalangan masyarakat, khususnya para perempuan, anak-anak, dan tuna rungu
  7. CCTV di ruang publik dan trotoar untuk meningkatkan rasa keamanan bagi pengguna wanita.

Demi menuju Kota Jakarta yang  manusiawi dan inklusif untuk semua kalangan sudah saatnya bagi pemerintah provinsi dan dinas-dinas terkait untuk melibatkan partisipasi warga kota dalam perencanaan pembangunan perkotaan yang aman dan nyaman bagi semua warganya.

Melibatkan partisipasi warga kota dalam perencanaan pembangunan adalah kunci menuju kota inklusif dan humanis, yang aman dan nyaman untuk semua warganya.

Unduh paparan ITDP Indonesia “Menuju Aksesibilitas dan Transportasi Publik yang Inklusif” disini!

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend