January 15, 2019

[OPINI] 15 Tahun Transjakarta : Membangun Budaya Baru Bertransportasi

15 Tahun Transjakarta : Membangun Budaya Baru Bertransportasi

Oleh Gandrie Ramadhan (Transport Associate ITDP Indonesia)

Sejak diputuskan untuk mulai beroperasi di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2004, Transjakarta menjadi simbol budaya baru bertransportasi di Indonesia, terutama Jakarta. Baik untuk pengambil kebijakan dan juga bagi warga kota, Transjakarta menjadi alat pembelajaran dalam menyongsong mobilitas perkotaan yang berkelanjutan.  

Transjakarta merupakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama dan satu-satunya di Indonesia yang berstandar internasional. Pada 2004, Transjakarta mulai beroperasi dengan menggandeng konsorsium dari 5 perusahaan bus yang mempunyai rute beririsan dengan koridor 1 Transjakarta saat ini, hingga di tahun 2019, Transjakarta memiliki 13 koridor dengan total panjang mencapai 204 kilometer. Kini, perusahaan transportasi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini sudah melayani warga Jakarta genap selama 15 tahun.

Selama 15 tahun, Transjakarta menjadi simbol pembaharuan transportasi publik berbasis jalan di Jakarta bahkan Indonesia, dengan menerapkan sistem dan layanan yang lebih humanis bagi warga Jakarta. Bagi para pengambil kebijakan, Transjakarta menjadi bahan pembelajaran dalam membangun sistem transportasi publik yang terjangkau namun dengan standarisasi pelayanan profesional.

Sebagai sistem transportasi publik pertama yang disubsidi oleh pemerintah kota, Transjakarta menjadi bukti bahwa kota-kota lain di Indonesia juga dapat mempunyai sistem transportasi publik yang dikelola pemerintah kota. Bahkan dalam beberapa tahun ke belakang, Transjakarta menjadi benchmark sistem BRT bagi kota-kota di Indonesia seperti Semarang dan Medan, bahkan di Asia Tenggara, dimana Transjakarta merupakan sistem BRT yang dibangun pertama kali di Asia Tenggara dan Selatan.

Transjakarta juga menjadi simbol evolusi pengelolaan layanan transportasi umum berbasis jalan. Istilah “kejar setoran” sudah tidak lagi terdengar, penjadwalan operasional armada yang membuat kedatangan bus lebih dapat diandalkan hingga keteraturan sistem dimana armada Transjakarta hanya berhenti di halte dan bus stop yang telah ditentukan.

Bagi warga, memiliki transportasi publik yang dapat diandalkan tentunya menjadi keuntungan yang luar biasa terutama dalam efisiensi biaya transportasi dan juga waktu. Tak hanya itu, warga juga terbiasa antre , memberikan kursi prioritas kepada kelompok rentan (lansia, ibu hamil, ibu dengan anak dan disabilitas) dan lebih menyadari mengenai isu gender dalam sistem transportasi publik modern.

Lalu, sejauh apakah capaian-capaian yang diraih Transjakarta dan warga Jakarta dalam kurun waktu 15 tahun ini?  

BUMD Transportasi Pertama Milik Pemprov DKI Jakarta

Secara kelembagaan, Transjakarta mengalami perubahan bertahap mulai dari BP (Badan Pengelola) hingga kemudian menjadi BLU (Badan Layanan Umum). Pada tanggal 27 Maret 2014, Transjakarta resmi menjadi BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) di bawah Pemprov DKI Jakarta. BUMD PT Transportasi Jakarta sendiri dibentuk dengan semangat fleksibilitas pengelolaan anggaran. Selain itu, pembentukan BUMD ini juga bertujuan untuk membuka peluang bagi para praktisi dan profesional untuk dapat menduduki posisi strategis di dalam perusahaan.

Evolusi Layanan Bus


Selama 4 tahun pertama beroperasinya Transjakarta, dengan 7 koridor hingga tahun 2008, pelayanan bus Transjakarta masih bertumpu pada sistem koridor tertutup. Sistem koridor ini mengharuskan pelanggan untuk transfer di halte-halte tertentu bila ingin melanjutkan perjalanan ke koridor lain. Pada tahun 2009, Transjakarta mulai menerapkan jaringan antarkoridor dengan membuka rute 2A Pulogadung – Kalideres serta rute 6A Ragunan – Monas. Rute lintas koridor ini memudahkan pelanggan untuk berpindah koridor. Pelanggan dapat terus melanjutkan perjalanan tanpa harus berpindah di halte transfer seperti Harmoni dan Dukuh Atas.

Dengan prinsip yang sama, pada tahun 2013 hadir layanan langsung (direct service) atau jaringan terbuka untuk menjangkau area di luar koridor. Dengan APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway) dan BKTB (Bus Kota Terintegrasi Busway) seperti Kopaja AC, layanan Transjakarta mulai memasuki daerah-daerah di luar koridor bahkan hingga daerah perbatasan. Sayangnya, di masa awal, evolusi ketiga ini tidak berjalan mulus karena belum ada integrasi pembayaran yang mengakibatkan pelanggan harus membayar dua kali.

Penyempurnaan direct service terus dilakukan melalui berbagai kerja sama  dengan Kopaja salah satunya adalah lewat peluncuran 320 unit bus medium yang beroperasi di enam rute. Kontrak Kerja Sama (KKS) yang dilakukan dengan Kopaja menghilangkan sistem setoran yang menjadi akar masalah buruknya pelayanan angkutan umum. Pada saat yang sama, Kopaja selaku operator dibayar dengan basis kilometer tempuh yang dijalani.

Operator diwajibkan patuh terhadap Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang disyaratkan oleh Transjakarta yang terdiri dari enam pilar: keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Pelanggan cukup membayar satu kali di halte Transjakarta dan perilaku pengemudi bus yang buruk seperti merokok, berhenti sembarangan, dan mengebut dapat dikurangi dengan adanya sistem denda yang diberlakukan.

Tahun 2016 menjadi momentum tersendiri bagi Transjakarta. Pada tahun ini, pengembangan rute direct service dilakukan secara masif, ditandai dengan tersedianya 155 rute di area Jakarta. Dibukanya banyak rute ini memiliki pengaruh positif terhadap kenaikan jumlah penumpang Transjakarta. Pada Januari 2016, penumpang Transjakarta tercatat di angka 297.000 pelanggan per hari. Saat ini, Transjakarta memiliki 663.000 penumpang per hari. Dengan kata lain, ada kenaikan pelanggan harian sebesar lebih dari 120% hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun.

Integrasi Layanan dengan Bus Kecil, MRT, dan LRT

Sepanjang tahun 2018, Pemprov DKI Jakarta menguji coba OK Otrip, sistem ini melibatkan operator bus kecil atau yang biasa dikenal dengan sebutan angkot.  Selesai diuji coba hingga September 2018, Ok Otrip kemudian berevolusi menjadi Jak Lingko, tepatnya di bulan Oktober 2018. Jak Lingko tidak hanya mencoba mewujudkan integrasi pembayaran dan tarif untuk bus kecil, namun juga melibatkan moda lain seperti MRT dan LRT.

Hingga saat ini, Jak Lingko sudah berhasil melibatkan 9 dari 11 operator bus kecil yang terintegrasi di 24 rute dengan lebih dari 532 armada angkot yang beroperasi setiap harinya. Dengan ukuran armada yang lebih kecil dibanding armada bus Transjakarta reguler, Jak Lingko mampu menjangkau wilayah-wilayah perumahan dengan lebar jalan yang lebih kecil dibanding jalan-jalan arteri. Hingga kini, Jak Lingko mampu menambahkan 56.000 pelanggan per hari, atau sekitar 8% dari total harian pelanggan Transjakarta. Hal ini patut diapresiasi sebagai bagian dari reformasi angkutan umum yang juga dapat menjadi pembelajaran untuk kota-kota lain di luar Jakarta.

15 Tahun Selanjutnya untuk Transjakarta

Meski banyak pencapaian yang signifikan yang diraih oleh Transjakarta, tentu tidak bisa dielakkan masih banyak perbaikan yang masih harus dilakukan oleh Transjakarta. Pada saat yang sama banyak juga potensi yang dapat dikembangkan oleh Transjakarta untuk 15 tahun mendatang. Sebagai tulang punggung transportasi perkotaan di Jakarta, dengan capaian rute mencakup hingga 60% area Jakarta dan sekitarnya, Transjakarta belum boleh berpuas diri. Meski sudah diakui sebagai referensi dan pusat pembelajaran untuk kota-kota di Indonesia dan Asia Tenggara, standarisasi pelayanan dan infrastruktur Transjakarta belum mencapai Gold Standard BRT dunia. Hal ini bisa dicapai dengan ekspansi infrastruktur Transjakarta, perbaikan akses menuju halte Transjakarta, dan konsistensi sterilisasi lajur khusus.  

Kehadiran moda transportasi lain seperti MRT dan LRT di tahun-tahun mendatang, dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi Transjakarta. Karenanya, Transjakarta sebagai transportasi publik yang sudah beroperasi selama 15 tahun, harus dapat memimpin semangat integrasi antarmoda di Jakarta. Moda eksisting seperti Transjakarta dan KRL sudah punya pola perjalanan pelanggan yang wajib dijaga agar tidak pindah ke kendaraan pribadi maupun angkutan daring.

Tercatat setidaknya ada 53 lokasi integrasi di wilayah Jakarta yang perlu menjadi perhatian khusus Pemprov DKI Jakarta. Merujuk ke Perda Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW 2030, ditetapkan target 60% perjalanan penduduk menggunakan angkutan umum. Salah satu kunci dari pencapaian kondisi ini adalah moda angkutan umum massal yang terdiri dari Transjakarta, KRL, MRT, dan LRT yang saling komplemen dan terintegrasi secara fisik, pembayaran & tarif, dan operasional.  Oleh karena itu, sangat penting untuk mengubah kompetisi menjadi kolaborasi dan sinergi untuk memudahkan warga Jakarta menggunakan angkutan umum

Aksesibilitas sendiri, memegang peran penting dalam layanan Transjakarta. Semua pengguna transportasi publik, pada dasarnya adalah pejalan kaki. Karenanya, fasilitas pejalan kaki yang menempatkan pejalan kaki dalam hierarki tertinggi pengguna jalan sangat dibutuhkan. Transjakarta bersama Dinas Bina Marga mempunyai potensi dan peran besar untuk menerapkan sistem dan infrastruktur yang lebih inklusif. Meski memiliki 262 halte di Jakarta, pengelolaan dan kepemilikan halte serta akses menuju halte seperti JPO tidak dimiliki oleh Transjakarta. Padahal pengelolaan aset ini penting untuk dimiliki Transjakarta agar dapat mengembangkan akses yang tepat bagi penumpang Transjakarta.

Isu aksesibilitas angkutan umum setidaknya terdiri dari dua hal, yaitu aksesibilitas kawasan dalam radius 500 meter dari halte serta aksesibilitas menuju halte itu sendiri. Karenanya, akan sangat masuk akal apabila perencanaan dan implementasi perbaikan fungsi trotoar Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta dapat difokuskan di area sekitar halte angkutan umum. ITDP mengidentifikasi 721 kilometer jalan utama dan jalan lingkungan di sekitar halte angkutan umum di Jakarta yang dapat dijadikan prioritas perbaikan trotoar.

Revitalisasi akses menuju halte yang memudahkan semua warga, termasuk kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, ibu dengan anak, serta penyandang disabilitas, sudah harus mulai diperhatikan untuk menjadikan Jakarta sebagai kota humanis dan inklusif. Penyeberangan sebidang, penerapan desain maksimal kemiringan bidang miring (ramp) sebesar 8%, dan penyediaan fasilitas elevator adalah beberapa contoh implementasi kebijakan yang inklusif. Jakarta tidak boleh mengisolasi kelompok rentan, kota ini punya kewajiban untuk menghargai kemandirian mereka dengan memberikan fasilitas yang memudahkan mereka beraktivitas di dalam kota secara mandiri.

Masalah sterilisasi lajur jelas masih menjadi momok bagi kegiatan operasional harian Transjakarta. Meski nota kesepahaman telah ditandatangani antara Transjakarta dan Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 17 Oktober 2018 silam, namun pada praktiknya, tidak ada perubahan berarti dalam hal sterilisasi lajur ini. Isi kesepakatan yang meliputi  peningkatan keamanan dan ketertiban serta penegakkan hukum di area publik Transjakarta serta kerja sama dalam hal sterilisasi lajur lewat berbagi data, bantuan pengamanan, penindakan pelanggar lajur Transjakarta dan pelatihan sumber daya manusia ini, belum terimplementasi sepenuhnya.

Korban pertama ketika lajur Transjakarta dimasuki kendaraan pribadi tentunya adalah warga Jakarta yang menggunakan layanan Transjakarta. Warga Jakarta yang secara langsung berkontribusi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta. Sayangnya, pengguna kendaraan pribadi malah dibiarkan masuk ke dalam lajur Transjakarta dengan diskresi pihak kepolisian dengan alasan demi kelancaran arus lalu lintas.

Lajur khusus yang steril adalah salah satu kunci keberhasilan operasional Transjakarta. Keistimewaan yang dirasakan pengguna transportasi publik lewat lajur khusus dapat menarik minat warga untuk meninggalkan kendaraan pribadinya. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan ketegasan dan konsistensi dari masing-masing pucuk pimpinan pemangku kepentingan untuk mengawal sterilisasi lajur Transjakarta.

Menjadi Transportasi Andalan Warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Pada tahun 2019 ini, Transjakarta menargetkan akan mengangkut hingga 231 juta penumpang atau 22% lebih banyak dibanding tahun 2018. Disertai dengan penambahan 81 rute baru pada yang akan menggenapkan total rute Transjakarta menjadi 236 rute. Dengan target 1 juta penumpang yang dicanangkan di tahun 2018, Transjakarta seharusnya dapat lebih ambisius dalam menargetkan jumlah penumpang di tahun ini, yang dapat mencapai angka hingga 365 juta penumpang (1 juta penumpang per hari). Dengan ekspansi layanan, sterilisasi, peningkatan aksesibilitas, dan integrasi antarmoda, sangat mungkin bagi Transjakarta untuk mengangkut penumpang lebih banyak melampaui targetnya tahun ini.

Dengan peningkatan layanan bus yang signifikan serta cakupan rute Transjakarta yang telah mencapai 60% wilayah Jakarta, bukan berlebihan bila Transjakarta disebut sebagai tulang punggung transportasi kota Jakarta. Terlebih lagi, Transjakarta sudah menjadi benchmark sistem BRT di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara. Dengan segala pencapaian yang telah dicapai Transjakarta selama 15 tahun ini, tidak salah bila Transjakarta seharusnya menjadi andalan dan juga prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upayanya menciptakan transportasi publik bagi warga Jakarta dengan harga terjangkau, inklusif dan humanis.

Unduh Press Release 15 Tahun Transjakarta : Memimpin Budaya Baru Bertransportasi disini!

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend