Share this
Di tengah semaraknya kehadiran MRT dan pencapaian jumlah penumpang Transjakarta dan Commuter Line yang mencapai rekor baru dalam 3 tahun terakhir menunjukkan, perbaikan sistem operasional dan layanan transportasi massal menjadi kunci yang dapat menarik penumpang untuk mengandalkan transportasi umum sebagai moda mobilitas mereka apapun nama dan bentuknya, entah itu BRT, LRT, MRT atau bahkan O-bahn.
Peningkatan Jumlah Penumpang karena Perbaikan Sistem
Selama beberapa dekade, tidak terbayang dalam benak warga Jakarta untuk menjadikan bus dan kereta sebagai moda transportasi andalan dalam mobilitas sehari-hari. Tidak adanya sistem yang dan layanan yang membuat penumpang aman dan nyaman, mendorong mereka untuk menggunakan kendaraan pribadi, untuk warga ekonomi lemah, tidak ada pilihan selain menggunakan moda transportasi yang tersedia, dengan armada yang seadanya, yang terkadang harus mengancam jiwa.
Kehadiran sistem BRT pada tahun 2004 pun tidak langsung menyelesaikan masalah karena mengacuhkan sistem operasional dan layanan. Hingga akhirnya di 2014, Transjakarta sebagai sistem BRT pertama di Indonesia, berubah menjadi perseroan terbatas dan resmi menjadi badan usaha milik DKI Jakarta. Kehadiran para profesional dan praktisi di Transjakarta secara otomatis mengubah sistem kerja dan berimbas pada layanan dan operasional. Pada 2016 hingga 2018, tercatat ada 220% kenaikan jumlah penumpang Transjakarta BRT dan cakupan layanan yang mencakup 68% dari populasi DKI Jakarta dan bahkan sekitarnya.
Cerita sukses KRL juga tak berbeda jauh. Pada 2009, PT KAI membentuk anak perusahaan yang khusus mengoperasikan KRL AC. Anak perusahaan ini diberi nama PT KAI Commuter Jabodetabek atau KCJ. Tahun 2017, KCJ berganti nama menjadi PT KAI Commuter Indonesia (PT KCI). Commuter Line berhasil mencapai jumlah 1 juta penumpang pada 2018 silam. Dua cerita di atas menjadi bukti solid dan valid, dimana sistem operasional dan layanan transportasi yang baik, akan menaikkan jumlah penumpang.
Ketika peningkatan kualitas layanan dan operasional adalah hal signifikan dalam kesuksesan transportasi publik, lalu mengapa harus ada wacana, sistem dan nama baru dalam moda transportasi? Mengapa tidak fokus memperbaiki sistem yang masih menjadi PR besar di setiap kota di Indonesia seperti angkot, dan meningkatkan layanan moda transportasi yang sudah tersedia untuk terus mengundang masyarakat berpindah ke transportasi publik?
Nama Baru, Sistem Lama
Kementerian Perhubungan dalam beberapa hari terakhir “memperkenalkan” sebuah teknologi angkutan massal yang “revolusioner” yang dapat dibangun di kota-kota di Indonesia untuk memperbaiki angkutan umum. Sistem yang diklaim sebagai perkawinan antara LRT dan BRT ini dinamakan O-Bahn, yang saat ini sudah berjalan di Adelaide, Australia. Sistem ini dianggap dapat lebih efisien dalam penggunaan ruang dan biaya, baik operasional maupun konstruksi.
Faktanya, O-bahn merupakan sistem angkutan massal BERBASIS BUS, bahkan kota Cambridge, Inggris menamakan sistem O-bahn milik mereka dengan nama “Cambridgeshire Guided Busway” yang mengusung konsep yang sama dengan Bus Rapid Transit (BRT) seperti yang kita lihat di Transjakarta.
Dalam sebuah sistem BRT dan O-bahn, busway atau lajur khusus bus, merupakan komponen paling penting untuk terciptanya sistem yang layak. Komponen lain seperti halte/stasiun dengan kapasitas besar, pembayaran yang dilakukan di halte (bukan di bus) dan juga komponen lain seperti frekuensi bus yang tinggi dan kapasitas angkut yang besar, merupakan komponen-komponen lain yang tidak bisa dipisahkan dari sistem BRT dan juga O-bahn.
Sayangnya selama ini, justru Kementerian Perhubungan sendiri yang menyederhanakan definisi BRT di kota-kota seperti Palembang, Semarang, Jogjakarta maupun Batam. Diseminasi program BRT yang menghiraukan komponen-komponen penting pembentuk BRT.
Istilah Tanpa Perubahan yang berarti
Penggunaan istilah-istilah teknologi baru ini sering terjadi beberapa tahun belakangan, di mana publik di Kota Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan dibingungkan dengan istilah monorel, LRT, trem maupun metro kapsul, yang kesemuanya merupakan transportasi massal berbasis rel. Diskusi mengenai pembangunan moda ini banyak terjadi di kota-kota tersebut, namun berakhir hanya sebatas wacana dan tidak ada tindak lanjut hingga ke tahap konstruksi.
Kita jelas harus mengapresiasi usaha pemerintah dalam mencari solusi-solusi pembenahan angkutan umum. Namun di saat yang bersamaan kita juga harus memastikan bahwa solusi ini jangan hanya sebatas mempromosikan teknologi baru, tanpa ada usaha membenahi sistem angkutan umum yang ada.
Sering kali perdebatan yang terjadi adalah apakah LRT lebih baik dibanding BRT, atau bagaimana metro kapsul lebih murah dibanding monorel. Namun sangat jarang sekali diskusi diarahkan bagaimana solusi yang ditawarkan dapat membawa perbaikan bagi kualitas hidup warga kota dan membuat kota lebih layak huni, atau juga pembahasan mengenai dampak dari sistem yang ditawarkan terhadap biaya perjalanan warga.
Selama ini kita terjebak dalam perdebatan teknologi semata, tanpa melihat kebutuhan dari pengguna angkutan umum eksisting, yang mayoritas menggunakan angkot atau mikrobus, dan juga kebutuhan warga masyarakat kota.
Teknologi kemudian hanya akan menjadi simbol semata, bila tidak dibarengi dengan analisa mengenai hubungan sistem tersebut dengan pola perjalanan yang selama ini terjadi di sebuah kota dan kebutuhan pengguna angkutan umum kota tersebut.
Solusi Holistik Perbaikan Angkutan Umum di Indonesia
Pemerintah harus mulai melihat perbaikan sistem angkutan umum secara menyeluruh, bukan hanya mengusung satu teknologi dan berharap itu akan menjadi solusi tunggal. Lihatlah Jakarta, MRT yang selama ini dijadikan simbol moderenitas transportasi umum, dalam perjalanannya justru memerlukan banyak feeder yang didukung oleh Transjakarta melalui BRT, bus low-entry bahkan mikrobus atau angkot yang terintegrasi. LRT Jakarta yang tidak lebih dari 6 kilometer pun harus bergantung dengan sistem BRT Transjakarta agar dapat melengkapi perjalanan warga. Begitupun LRT Jabodebek yang sedang dalam pembangunan, memerlukan sinergi antara LRT dengan Transjakarta di beberapa titik lokasi stasiun untuk mengakomodir perjalanan penumpang.
Untuk kota-kota yang baru akan memulai perbaikan angkutan umum, mulailah melihat dari sistem yang ada sekarang. Medan yang lebih dari 95% penumpang angkutan umumnya mengandalkan angkot atau yang masa lalu dinamakan Sudako, harus memberdayakan sistem angkot tersebut dan bekerjasama dengan operator-operator angkot untuk membenahi layanan mereka. Hal ini merupakan langkah awal yang harus dikerjakan sembari menunggu pembangunan BRT dan LRT yang sedang dipersiapkan 2 tahun terakhir ini. Begitu pun Bandung, sistem Metro Kapsul, LRT Bandung dan LRT Bandung Raya yang dipersiapkan setidaknya 4 tahun terakhir ini, mau tidak mau akan mengandalkan layanan angkutan umum berbasis jalan seperti angkot, bus DAMRI dan Transmetro Bandung untuk mendukung mobilitas warganya.
Kajian menyeluruh termasuk mulai melibatkan pendapat warga serta operator angkutan umum, dan menahan diri untuk tidak menggunakan istilah-istilah baru atau “teknologi” baru yang membingungkan masyarakat adalah langkah yang harus mulai diambil Kementerian Perhubungan untuk menyambut antusiasme dan kebutuhan masyarakat atas moda transportasi perkotaan yang dapat diandalkan.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan dapat mulai memfokuskan diri untuk membantu kota-kota untuk memperbaiki layanan angkutan umum eksisting mereka, baik perbaikan angkot, bus kota dan juga angkutan massal berbasis jalan atau rel. Siapkan dukungan kebijakan dan pendanaan yang berkelanjutan, sehingga sistem angkutan tersebut tidak hanya berkembang sebentar, sesudah itu mati. Dan terakhir, bagi kita semua, lekaslah tinggalkan mobil dan motor kita, dan mulailah gunakan angkutan umum untuk menjadi bagian dari solusi.
Kontak Media
Fani Rachmita, 081286237694 / fani.rachmita@itdp.org