Share this
Keberadaan transportasi non-bermotor serta infrastruktur pendukungnya di jalanan kota-kota di Indonesia, selalu menjadi perdebatan yang timbul tenggelam. Seperti ayam dan telur katanya, siapa yang mau jalan kaki atau bersepeda kalau infrastrukturnya tidak ada? Atau kalau infrastrukturnya ada, kok tidak ada yang berjalan kaki dan bersepeda?
Padahal, dalam UU LLAJ No. 22 Tahun 2009, sudah jelas dikatakan, pengguna jalan termasuk di antaranya adalah pejalan kaki dan pesepeda. Dan oleh karenanya, pemerintah kota WAJIB hukumnya menyediakan jalur untuk pejalan kaki dan pesepeda. Ditambah isu polusi udara yang meningkat dan sebagian besar disumbangkan oleh kendaraan bermotor, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak fokus pada penyediaan fasilitas untuk transportasi non-bermotor.
Banyak juga yang pesimis dengan eksistensi para pesepeda di perkotaan, mulai dari jumlah yang sedikit, hanya untuk kalangan tertentu hingga masalah mengenai budaya bersepeda yang tidak kita punya. Padahal, dikutip dari artikel “Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia” pada Historia.id, sepeda sempat mendominasi kota-kota besar di Indonesia. Bahkan menjadi lambang gengsi kelompok elite.
Disebutkan, jalanan kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Medan ramai oleh pesepeda. Hingga akhirnya nilai sepeda menurun ketika kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda pada tahun 1920-an.
Sejak memudarnya kepopuleran sepeda sebagai moda transportasi perkotaan, pembangunan infrastrukturnya pun perlahan ikut terhapus. Tak heran bila kini, jalanan kota didominasi kendaraan bermotor dan secara turun temurun menghasilkan perencanaan kota yang diciptakan sepenuhnya untuk kendaraan bermotor termasuk di Jakarta. Lalu, apakah sudah terlambat untuk mengubah paradigma sebuah kota menjadi ramah untuk bersepeda di tengah kungkungan kendaraan bermotor yang memenuhi jalan?
Konsistensi Pesepeda
Meski banyak pendapat yang mengatakan sepeda sudah tidak populer dan bukan moda transportasi pilihan untuk perkotaan, semangat dan konsistensi teman-teman pesepeda malah berkata sebaliknya. Bike to Work Indonesia menjadi pelopor gerakan bersepeda dan secara konsisten mengadvokasi penggunaan sepeda sebagai transportasi perkotaan ramah lingkungan sejak tahun 2005 hingga saat ini. Generasi baru pesepeda pun bermunculan. Beberapa tahun ke belakang muncul anak-anak muda yang berprofesi sebagai bike messenger alias kurir sepeda. Saban hari mereka berlalu lalang, keluar masuk perkantoran di Jakarta mengantar barang menggunakan sepeda. Di Jakarta, ada dua operator kurir sepeda yang beroperasi secara aktif yaitu Westbike Messenger Service (WMS) dan @kamiantarjkt. Belum lagi para pedagang yang berjualan menggunakan sepeda, bahkan di kampung-kampung kota, pesepeda anak, perempuan dan lansia paling sering ditemukan.
Maka salah anggapan apabila sepeda dianggap hanya milik kelompok tertentu, sepeda menjadi moda andalan kelompok rentan dan bahkan menjadi alat pemutar ekonomi keluarga. Namun sayangnya, semarak semangat dan konsistensi teman-teman pesepeda ini tidak diikuti dengan peningkatan fasilitas bagi mereka. Padahal, dengan isu polusi udara dan kerugian akibat kemacetan yang disebabkan kendaraan bermotor, fasilitas dan infrastruktur bagi pengguna transportasi non-bermotor adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Konsensus Jakarta Ramah Bersepeda
Dan demi mendorong terciptanya kota yang ramah bersepeda, ITDP Indonesia kemudian mengadakan lokakarya (workshop) “Jakarta Ramah Bersepeda” pada bulan April 2019. ITDP Indonesia bertemu dengan para pengguna jalan dan juga komunitas sepeda untuk menjaring pendapat dan masukan untuk mewujudkan “Jakarta Ramah Bersepeda. Lokakarya awal ini menghasilkan 10 poin konsensus yang berisi rekomendasi bagi para pemangku kepentingan untuk menjadikan Jakarta lebih ramah bersepeda.
Untuk mengakselerasi rencana aksi, disepakati 4 hal yang perlu untuk ditindaklanjuti dengan cepat yaitu:
- Bike sharing
- Jalur sepeda terproteksi
- Parkir sepeda
- Revisi Keputusan Gubernur 896/2012 mengenai Penetapan Lajur Sepeda
Di lokakarya kedua, ITDP Indonesia mengundang komunitas pesepeda dan dinas-dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lokakarya ini membahas rencana aksi percepatan “Jakarta Ramah Bersepeda” termasuk di antaranya pembahasan mengenai jalur sepeda. Di mana dalam lokakarya ini diperoleh kesepakatan mengenai jaringan, desain dan lokasi uji coba jalur sepeda.
Kesepakatan ini menjadi “gong” dalam mengimplementasikan rencana aksi “Jakarta Ramah Bersepeda”. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan dan Dinas Bina Marga, mulai menyusun rencana sekaligus gencar berkampanye bersepeda.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bahkan mulai menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, baik ketika mengunjungi proyek atau pergi ke pelbagai event dan aktivitas lainnya.
Keseriusan jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini juga terlihat dengan dimulainya fase uji coba jalur sepeda yang terbentang di Pusat, Timur dan Barat Jakarta. Dengan trase sejauh 63 km, jalur uji coba ini melalui daerah protokol di Jakarta mulai dari Balai Kota, kemudian Thamrin dan Sudirman dan dari sana terpecah ke Timur (Jl. Pemuda Rawamangun dan Jatinegara), ke selatan (Bundaran Senayan-Fatmawati) dan ke barat (Cideng-Tomang).
Mengapa (Harus) Ada Jalur Sepeda?
Pembangunan jalur sepeda menjadi simbol dari pembagian ruang jalan, menunjukkan bahwa ada pengguna ruang jalan lain selain mobil dan motor. Pembagian ruang ini sangat penting, terlebih ketika kota mau menjadikan pesepeda yang merupakan pengguna jalan rentan, menjadi prioritas di ruang jalan. Berkendara di ruang jalan dimana terdapat perbedaan kecepatan kendaraan yang signifikan, dapat menjadi ancaman bagi pesepeda. Oleh karena itu, jalur khusus sepeda harus menjadi prioritas pembangunan demi keselamatan pesepeda.
Di banyak negara, jalur sepeda selain dapat menurunkan angka kecelakaan pesepeda, juga dapat meningkatkan jumlah pesepeda. Sebagai contoh, Kota Fortaleza memiliki 257,5km jalur sepeda di 2019, meningkat 280% semenjak 2013. Didukung pengadaan bike sharing, Fortaleza kini memiliki 1,242 sepeda dan 2,6 juta perjalanan dengan sepeda dan kenaikan pengguna sepeda hingga 153%, disertai dengan penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas hingga 40%
Jalur sepeda juga dapat mendukung adanya moda alternatif dalam bertransportasi. Dengan tingkat urbanisasi yang tinggi, banyak perjalanan jarak jauh dilakukan untuk mencapai Jakarta. Bahkan data dari BPTJ tahun 2015 mencatat, ada 47,5 juta perjalanan/hari, dengan 50% perjalanan berasal dari area luar Jakarta (bodetabek), menggunakan kendaraan bermotor. Perjalanan ini dapat disubstitusi dengan penggunaan sepeda dan transportasi publik atau yang disebut dengan mix commuting. Jalur-jalur sepeda yang dibangun terintegrasi transportasi publik, dapat mempermudah pesepeda dalam melakukan perjalanan jarak jauh.
Di samping itu, jalur sepeda yang didesain tepat guna juga berpotensi untuk melayani perjalanan pendek (kurang dari 5 km) yang saat ini didominasi oleh motor. Data BPTJ tahun 2017* mengindikasikan, dari total 10 juta perjalanan mobil dan motor setiap harinya di dalam Jakarta, lebih dari 44 % adalah perjalanan pendek yang ditempuh kurang dari 10 km.
Bayangkan, jika jumlah mobil dan motor ini dapat digantikan oleh sepeda, berapa juta ton polusi yang akan berkurang dari udara Jakarta, dan berapa banyak uang yang bisa kita hemat dari kemacetan?
Tentunya, untuk mencapai manfaat maksimal jalur sepeda, harus dibarengi dengan perencanaan jalur sepeda yang mengutamakan keamanan dan kenyamanan bagi para pesepeda rutin dan calon pesepeda. Jalur sepeda yang aman akan meningkatkan kepercayaan diri bersepeda yang berimbas pada kehadiran pesepeda-pesepeda baru, termasuk pesepeda anak-anak.
Prinsip Desain Jalur Sepeda
Sebelum memulai desain, mengenal karakteristik pesepeda dan sepeda yang telah dan akan berkendara di jalan sangat penting diketahui. Menurut CROW-Fietsberaad, lembaga penelitian kebijakan bersepeda, desain jalur sepeda mengutamakan sepeda kayuh, kemudian disebutkan juga, jalur sepeda harus dapat mengakomodir kebutuhan pesepeda rutin dan juga pemula bahkan anak-anak. Lebar jalur sepeda bagi pesepeda anak-anak sangat penting, karena berpengaruh pada ruang yang diperuntukkan bagi orang dewasa yang menemani anak-anak bersepeda.
Masih menurut CROW-Fietsberaad, ada 5 prinsip dasar desain jalur sepeda yang harus diperhatikan yaitu:
- Keamanan: jalur sepeda harus aman dan dianggap aman, yakni meminimalisir konflik dengan pengguna jalan lain
- Koherensi : jalur sepeda harus menghubungkan titik asal dan tujuan perjalanan, menerus dan konsisten, serta dilengkapi rambu dan area parkir yang tepat
- Kenyamanan: Permukaan jalur sepeda harus rata dan anti-slip dengan lebar yang cukup, kemiringan sesuai standar serta memudahkan pesepeda untuk bermanuver
- Daya Tarik: Desain jalur sepeda harus menarik dan dirawat dengan baik. Desain jalur sepeda juga harus menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
- Kelangsungan Rute: Jalur sepeda sebisa mungkin menghindari rute yang memutar dan harus lebih unggul dalam rute dan prioritas di jalan dibanding kendaraan bermotor
Jalur Sepeda di Trotoar atau Jalur Sepeda di Badan Jalan?
Pertanyaan selanjutnya yang sering muncul mengenai jalur sepeda adalah, di mana jalur sepeda yang ideal ditempatkan? Di badan jalan atau di trotoar? Singapura mendesain jalur sepedanya dengan menghubungkan park connector di pinggir-pinggir kotanya, lalu Sao Paulo mengambil median tengah jalannya sebagai jalur sepeda. Beberapa ruas jalan di Tokyo malah menggabungkan jalur sepeda dengan jalur pejalan kaki, lalu mana yang terbaik?
Pertimbangan utama ketika mendesain jalur sepeda adalah di mana lokasi yang meminimalisir resiko kecelakaan dan opsi yang paling aman baik untuk pejalan kaki, pesepeda, maupun kendaraan bermotor. Namun perlu diingat, ada urutan prioritas pengguna jalan.
Pejalan kaki dianggap prioritas utama dan berhierarki tertinggi di antara pengguna jalan lainnya. Desain jalur sepeda harus mengakomodasi prioritas ini dengan tidak menginterupsi alur lalu lintas pejalan kaki, begitu juga dengan pesepeda sebagai prioritas berikutnya tidak boleh terganggu dengan alur kendaraan bermotor. Jika alur pikir ini dijaga, jalur sepeda ini bisa jadi sudah mendekati ideal.
Selain lokasi, tipologi dan kondisi jalan juga sangat berpengaruh terhadap desain sepeda ke depannya. Mendesain jalur sepeda tidak hanya menambahkan satu jalur dan mengecat hijau saja. Perlu dicatat, ketika jalur sepeda ditambahkan ke jalan, maka penyesuaian perlu dilakukan sampai skala wall-to-wall. Artinya, jalur lain akan diintervensi untuk menghasilkan harmoni antar moda, terutama dari segi keselamatan.
Hal ini bisa berbentuk penyempitan jalur kendaraan bermotor, pembentukkan pulau-pulau penyebrangan tempat menunggu pesepeda, sampai penempatan rambu-rambu keselamatan sepeda dan juga lampu lalu-lintas sepeda.
Variabel desain jalur sepeda juga bergantung pada volume kendaraan bermotor dan kecepatan rencana di segmen jalan tersebut. Dua variabel ini akan menentukan kebutuhan perlu atau tidaknya jalur sepeda yang terpisah atau terlindungi dari jalur kendaraan bermotor.
Berdasarkan hasil evaluasi uji coba desain jalur sepeda, banyak terjadi pelanggaran berupa okupansi jalur sepeda oleh sepeda motor dan mobil serta parkir ngetem bajaj dan ojek online.
Dari pengamatan ini dapat ditarik kesimpulan kalau pemisahan jalur sepeda dengan proteksi fisik di jalan-jalan besar Jakarta perlu dilakukan untuk mencegah interupsi yang mengganggu keselamatan kedua pihak.
Apabila ruang jalan tidak cukup mengakomodasi jalur sepeda, jalur pejalan kaki dapat dijadikan alternatif. Namun kemudian penting untuk memperhatikan volume lalu lintas pejalan kaki. Untuk volume pejalan kaki dibawah 200/jam/m, jalur sepeda dapat berbagi ruang dengan tetap memprioritaskan pejalan kaki.
Khusus untuk wilayah Thamrin-Sudirman, berdasarkan pengamatan lalu lintas pejalan kaki di segmen Dukuh Atas saja, volume pejalan kaki yang menggunakan trotoar mencapai 481 orang/jam/m**. Jika mengacu pada standar CROW-Fietsberaad, volume lalu lintas pejalan kaki yang lebih dari 200/jam/m sudah tidak memungkinkan lagi mengakomodasi area berbagi antara pejalan kaki dan pesepeda karena resiko kolisi yang cukup besar antara keduanya. Wilayah yang ramai dengan pejalan kaki sebaiknya tetap dipisahkan dan diproteksi fisik.
Alternatif lain yang dapat dilakukan ialah menerapkan area berbagi di badan jalan dengan menempatkan marka dan rambu yang jelas untuk meningkatkan kewaspadaan semua pengguna jalan. Tentunya, hal ini dibarengi dengan pembatasan pergerakan dan kecepatan kendaraan bermotor di segmen jalan tersebut.
Tipologi Desain Sepeda
Berdasarkan hasil evaluasi dan pengamatan selama uji coba desain jalur sepeda berlangsung, ITDP membagi desain jalur sepeda dengan mempertimbangkan tipologi penampang jalan di Jakarta, yaitu:
Tipe 1:
Segmen jalan dengan kerb menerus
Pada segmen jalan dengan tipe ini, proteksi fisik menerus dapat diberikan untuk memisahkan lalu lintas sepeda dengan kendaraan bermotor. Proteksi fisik tersebut dapat berupa kanstin, pot tanaman, pohon, bollards, pagar atau separator menerus lainnya.
Namun, pada kondisi ini, terdapat potensi konflik yang mungkin terjadi apabila jalur sepeda berada pada lajur lambat, antara lain: keberadaan inrit, halte sisi, utilitas, dan keberadaan on-street-parking. Rancangan khusus perlu diberlakukan pada area-area konflik tersebut.
Tipe A.1:
Tipologi jalur sepeda dua arah
Desain jalur sepeda dua arah dapat dilakukan pada segmen jalan yang menimbulkan tingkat stres tinggi bagi pesepeda. Beberapa faktornya adalah lajur kendaraan bermotor yang mendominasi, volume lalu lintas yang sangat tinggi, kecepatan lalu lintas yang kencang, dan jalan yang memungkinkan untuk dua lajur parkir. Desain ini mengurangi kemungkinan pesepeda untuk menyeberang.
Tipe 2:
Segmen jalan dengan setback parking /inrit
Kondisi ini menimbulkan gangguan yang konsisten apabila jalur sepeda diletakkan di jalur lambat, akibat adanya bukaan parkir yang menerus. Pada segmen ini, proteksi fisik yang dapat dilintasi dapat diberikan. Misalnya, berupa speed hump, speed bump atau speed table untuk memberikan perlambatan pada kendaraan bermotor, terutama di area keluar masuk halaman parkir gedung.
Tipe 3:
Segmen jalan dengan ruang terbatas
Dalam kondisi ini, pengambilan ruang dari lajur kendaraan bermotor bahkan sulit dilakukan akibat keterbatasan ruang dan fungsi ruang yang sulit dikonfigurasi ulang. Marka yang jelas dengan motif atau warna yang terang ditambah rambu-rambu yang membuat pengguna jalan sadar bahwa jalan ini harus berbagi dengan moda lain, perlu dilakukan.
Sepeda dan Simpang
Jalan yang besar dengan banyak lajur dan laju kendaraan yang kencang, menjadi momok yang menakutkan terutama bagi pesepeda pemula. Berdasarkan hasil kesepakatan peserta lokakarya dan survei terpisah, ITDP Indonesia merekomendasikan agar pergerakan pesepeda mengikuti pergerakan pejalan kaki sebagai opsi paling aman untuk menyeberang. Tentu saja seperti disebutkan sebelumnya, jalur sepeda kemudian akan mengintervensi lebar jalan menjadi lebih kecil. Penempatan pulau-pulau penyeberangan, marka, rambu dan lampu lintas yang tepat peletakannya di persimpangan juga wajib dilakukan untuk mempermudah pesepeda menyeberang dengan aman.
Menuju Jakarta Ramah Bersepeda
Sederet infrastruktur sudah direncanakan dan mulai disiapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Tahun 2020 menjadi tahun dimulainya pembuatan jalur sepeda terproteksi permanen baik di badan jalan maupun trotoar. Dinas Bina Marga sudah memasukkan jalur sepeda dalam perencanaan pembangunan trotoar, Dinas Perhubungan DKI Jakarta bahkan mencanangkan pembangunan 500 km jalur sepeda. Tentu angka ini bukan angka akhir, diharapkan pemerintah bisa menargetkan untuk membangun jalur sepeda setiap tahunnya sehingga mampu menjangkau seluruh area-area yang belum ramah bersepeda di Jakarta.
Selain perencanaan jalur sepeda, Pemprov DKI juga mulai menyediakan kantong-kantong parkir baik di gedung pemerintah maupun infrastruktur aset Pemprov seperti trotoar dan area transportasi publik. Tinggal mendorong pengadaan parkir sepeda di gedung swasta, yang sudah tercantum dalam Perda No. 5 Tahun 2012 tentang kewajiban pemilik gedung swasta dalam menyediakan parkir sepeda.
Penyediaan infrastruktur ini dibarengi dengan beberapa rangkaian peraturan daerah untuk memfasilitasi. Sejumlah peraturan telah dikeluarkan termasuk di antaranya Peraturan Gubernur Nomor 128 Tahun 2019 tentang Penyediaan Lajur Sepeda yang mengatur subjek yang boleh menggunakan jalur sepeda dan sanksi terhadap okupansi jalur tersebut. Peraturan ini mengakomodasi siapa saja yang berhak menggunakan jalur sepeda. Semua pengguna jalan yang mengendarai moda roda dua atau roda tiga yang menggunakan tenaga manusia berhak untuk lewat jalur ini. Tidak terlepas, gerobak penjaja makanan atau barang seperti gerobak bakso juga dapat menikmati jalur sepeda ini.
Peraturan yang tak kalah pentingnya untuk mendorong keberhasilan jalur sepeda adalah pembatasan kendaraan. Pembatasan kendaraan yang dimaksud adalah pembatasan terhadap kendaraan bermotor seperti truk, mobil dan motor yang mengeluarkan polutan berbahaya sehingga mencemari udara kota.
Saat ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan beberapa usaha untuk membatasi kendaraan yang masuk ke jalan-jalan tertentu dengan menerapkan aturan ganjil genap di beberapa koridor jalan Jakarta. Aturan ini dinilai cukup efektif karena selain kepadatan lalu-lintas yang berkurang, aturan ini berimbas pada adanya kenaikan penumpang pada Transjakarta sebagai transportasi umum.
Sayangnya, saat ini aturan ganjil-genap ini baru berlaku pada mobil saja. Padahal, jika diteliti lebih dalam lagi, motor mengeluarkan polutan yang lebih besar dari mobil, partikel emisi yang dikeluarkan motor sebesar 0.5 g/km sedangkan mobil 0.02 g/km***. Selain polutannya lebih besar, volume motor juga jauh lebih banyak dari mobil. Saat ini, polusi terbesar di Jakarta yang berasal dari kendaraan bermotor dikeluarkan oleh motor.
Jika pembatasan terhadap motor dapat dilakukan, selain polusi kota dapat berkurang, jalur sepeda juga dapat lebih efektif untuk dijadikan alat bertransportasi karena berkurangnya resiko konflik antara keduanya serta okupansi motor terhadap jalur sepeda dapat diminimalisir.
Sejumlah peraturan dan infrastruktur sepeda yang disiapkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuktikan keseriusannya dalam menjadikan Jakarta lebih ramah bersepeda. Melihat langkah nyata pemerintah dan antusiasme pesepeda kali ini, “Jakarta Ramah Bersepeda” bisa jadi bukan hanya jargon semata.