Share this
Kemang, sempat dijuluki “tempat jin buang anak” saking sepi dan udiknya kawasan ini. Kemang kemudian bertransformasi sebagai kawasan “komunitas internasional” yang tumbuh dari penyewaan rumah kepada orang asing yang meledak sejak awal 1980-an.
Kedatangan para ekspatriat ini, membuat Kemang menjadi titik pertemuan pelbagai kebudayaan, yang bertahan hingga kini. Dan demi mengakomodir kegiatan para ekspatriat, restoran dan cafe serta toko swalayan menjual produk-produk yang disesuaikan dengan lidah dan selera para warga ekspatriat. Fenomena ini menambah unik kawasan Kemang, pertemuan beragam kultur serta komunitas, menjadikan Kemang melting pot di Jakarta sekaligus mengubahnya menjadi kawasan komersial yang eksklusif.
Kawasan Komersial Lintas Komunitas
Kemang, adalah tempat pertama yang dituju ketika mencari makanan dengan citra rasa internasional di Jakarta. Tak heran banyak tempat makan cita rasa “bule” silih berganti menjajal peruntungan di Kemang. Namun, banyak juga restoran dan kafe yang bertahan di Kemang dalam satu dekade bahkan lebih, sebut saja Dijan’s, Eastern Promise, Die Stube atau Toscana.
Selain jejeran tempat makan, Kemang juga menjadi lokasi andalan para pengusaha fesyen dan/atau perabotan rumah untuk membuka showroom dan butik mereka, tentunya untuk menggaet range konsumen yang lebih segmented.
Tak hanya itu, Kemang juga menjadi “rumah” para skateboarder Jakarta. Di tengah minimnya skatepark yang tersedia, Twilo Skate Corner menjadi surga bagi mereka. Pelbagai kalangan sudah menjajal skatepark ini, dari pro skater lokal hingga internasional. Bahkan skatepark ini menjadi salah satu tempat kumpul favorit para komunitas skateboard di Jakarta.
Kemang juga menjadi salah satu kawasan favorit pecinta anjing, dengan keberadaan Como Park, taman anjing yang juga menjadi tempat kumpul para pecinta anjing di Jakarta Selatan. Saban akhir pekan, dog park ini selalu penuh dikunjungi para pemilik anjing untuk melepas hewan kesayangan mereka bermain di taman. Belum lagi keberadaan dia.lo.gue, sebuah ruang seni bagi para seniman perkotaan di Jakarta, yang secara otomatis menghadirkan komunitas seni ibukota di Kemang.
Perpaduan pemukiman elite dan komunitas dengan aktivitas yang spesifik, menjadikan Kemang kawasan yang unik namun terasa eksklusif, bahkan bagi warga Jakarta sekali pun. Sementara, sebagai kawasan komersial, menarik orang sebanyak-banyaknya untuk datang adalah kunci keberlangsungan bisnis. Salah satu cara meruntuhkan kesan eksklusif Kemang adalah dengan menggelar “karpet merah” untuk para pejalan kaki, yaitu dengan pembangunan trotoar.
Menjadikan Kemang untuk Semua
Trotoar adalah fasilitas mobilitas inklusif yang humanis, menitikberatkan pada pergerakan orang bukan kendaraan bermotor. Seperti Sudirman-Thamrin, pembangunan trotoar menjadikan sebuah kawasan lebih inklusif, tujuan orang bertandang semakin beragam. Dulu, Sudirman-Thamrin hanya didatangi mereka yang punya keperluan dan seringnya bekerja di sana. Namun lihat sekarang, trotoar Sudirman-Thamrin menjadi kawasan wisata yang dikunjungi semua orang untuk sekedar bercengkrama, menikmati hiburan para penampil jalanan, berolahraga hingga komuting.
Tingginya tingkat aktivitas di trotoar Sudirman-Thamrin membuat pelaku bisnis dan pengelola gedung semakin kreatif. Coffee shop yang bersisian dengan trotoar semakin menjamur, bahkan gedung-gedung mulai menurunkan pembatas muka bangunannya dengan trotoar. Trotoar menjadi “rumah ketiga” bagi warga Jakarta, menciptakan ruang-ruang publik inklusif, meningkatkan interaksi dan terbukti menguntungkan untuk bisnis. Fenomena seperti ini lah yang diharapkan terjadi di kawasan-kawasan lain yang saat ini dalam proses revitalisasi trotoar, termasuk di antaranya, Kemang.
Seperti yang sudah diketahui, Kemang menjadi salah satu kawasan di Jakarta yang masuk dalam perencanaan revitalisasi trotoar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengerjaan fisik trotoar di Kemang dimulai pada bulan Juni 2019 dan diharapkan akan selesai pada akhir tahun 2019.
Pekerjaan revitalisasi Kemang akan melebarkan trotoar yang ada menjadi 3-4 meter sepanjang sekitar tujuh kilometer. Mengutip pernyataan dari Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta, penataan fasilitas pejalan kaki dan fitur ruang publik pada Koridor Kemang dilakukan untuk menjadikan Kemang sebagai “Kampung Kreatif Ramah Pejalan Kaki”.
Elemen-elemen desain ruang publik yang tematik dan atraktif akan diterapkan di Kemang. Nantinya, akan ada titik-titik kegiatan yang diaktifkan di trotoar, dilengkapi elemen-elemen pendukung fasilitas pejalan kaki seperti wayfinding dan diperindah dengan pelbagai tanaman dan bunga hias. Diharapkan, revitalisasi kawasan ini sudah dapat dinikmati warga Jakarta pada akhir Desember 2019.
Proses pembangunan fisik trotoar dimulai pada bulan Juni 2019, yang diawali dengan sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada warga dan pengusaha Kemang mengenai rencana revitalisasi kawasan Kemang di awal tahun 2019. Upaya sosialisasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke warga dan pengusaha Kemang sudah berlangsung lebih dari 10 kali belum termasuk pendekatan personal ke masing-masing pemilik lahan.
Kemang tidak hanya menjadi pusat bisnis namun juga kawasan tempat tinggal, sehingga proses partisipatif-kolaboratif sangat diperlukan untuk mengeliminir hambatan-hambatan setelah pembangunan selesai. Harapannya, ketika pembangunan selesai dilakukan, sudah melalui kesepakatan semua stakeholders yang ada.
Selain itu, proses partisipatif-kolaboratif juga memungkinkan melakukan evaluasi baik dari segi desain maupun proses pengerjaan selama pembangunan berlangsung. Namun kemudian, bagaimana menjadikan kawasan Kemang yang car-oriented menjadi people-oriented?
Kawasan Ramah Pejalan Kaki Meningkatkan Keuntungan Bisnis
Tentunya, untuk mewujudkan Kemang yang ramah pejalan kaki, membutuhkan kerja sama semua pihak. Niat baik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman tidak akan berjalan bila para stakeholders di Kemang tidak mendukungnya, terutama para pemilik gedung dan usaha yang mendapatkan dampak pembangunan trotoar.
Perlu dipahami para pengusaha di Kemang, trotoar, selain memberikan kembali hak bagi pejalan kaki, juga terbukti meningkatkan aktivitas ekonomi yang terjadi di sekitarnya.
Seperti yang terjadi di New York, aktivitas penjualan di sejumlah ruas jalan di Kota New York, dilaporkan mengalami peningkatan 10% – 54% lebih tinggi dari area sekitarnya pada tahun kedua setelah dilakukannya perbaikan fasilitas pejalan kaki di jalan tersebut (sumber: New York Department of Transportation (2013). Economic Benefits of Sustainable Streets. New York: NYCDOT). Penciptaan ruang yang lebih aktif dengan meletakkan fasilitas meja dan kursi di tepi trotoar dan sebagian area parkir di Pearl Street, New York, bahkan meningkatkan penjualan hingga 172%! Jumlah yang sangat tinggi dibandingkan total peningkatan penjualan di distrik tersebut yakni sebesar 8%.
Peningkatan kualitas trotoar sepanjang satu kilometer di Barracks Row, Washington DC, menarik 40 usaha baru dan membuka lebih dari 200 pekerjaan baru, sedangkan sebuah proyek revitalisasi trotoar di Lancaster, California, yang mencakup pelebaran trotoar dan pembangunan area khusus pejalan kaki, meningkatkan penjualan hingga 26%, menciptakan 800 pekerjaan baru, serta menarik investasi swasta sebesar 150 juta dollar. Semua ini dicapai “hanya” dengan bermodalkan 10,6 juta dollar untuk membiayai proyek tersebut.
Pelebaran dan penataan ulang trotoar di Kemang pun sesungguhnya menciptakan kesempatan baru bagi para pemilik bisnis, yakni perwujudan active frontage pada bangunan-bangunan mereka. Active frontage, atau muka bangunan aktif adalah dinding atau muka bangunan yang memiliki koneksi visual langsung ke trotoar atau secara fisik bersebelahan langsung dengan trotoar.
Ketika proyek revitalisasi trotoar berlangsung, banyak bangunan harus “rela” menghilangkan pagar atau pembatas bangunan mereka. Hal ini sebaiknya tidak dilihat dalam sudut pandang yang negatif, namun sebagai kesempatan emas untuk menciptakan active frontage dan menampilkan keindahan Kemang yang tersembunyi. Minus pagar, muka bangunan komersial di Kemang jadi terekspos. Bahkan ketika ITDP mencoba menelusuri jalan Kemang Raya dari ujung ke ujung, terlihat perubahan suasana yang sangat berbeda. Kawasan Kemang terasa lebih terbuka, dan tidak membosankan dengan pemandangan muka bangunan di Kemang yang unik dan artistik.
Pentingnya muka bangunan yang aktif khususnya pada area komersial terhadap hidupnya ruang publik di trotoar telah ditunjukkan oleh berbagai studi, salah satunya Gehl (2006) yang melakukan pengamatan terhadap dua segmen jalan dengan fungsi bangunan komersial di Kota Copenhagen, Denmark.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 75% pejalan kaki yang lewat di jalan dengan muka bangunan aktif menoleh ke arah bangunan-bangunan yang ada, sedangkan di jalan kedua hanya 21% pejalan kaki yang memperhatikan bangunan yang ada. Lebih dari itu, satu dari empat pejalan kaki berhenti di depan bangunan-bangunan yang ada di jalan dengan active frontage dan berjalan dengan kecepatan 13% lebih rendah dibandingkan dengan pejalan kaki pada jalan dengan muka bangunan yang pasif.
Interaksi seperti ini adalah hal yang diharapkan tidak hanya oleh para perancang kota dalam menciptakan ruang publik yang hidup, namun juga oleh pelaku-pelaku usaha karena tentunya akan berdampak positif pada aktivitas ekonomi yang terjadi di sepanjang jalan. Dengan mengedepankan koneksi visual antara dalam dan luar bangunan usaha, orang-orang yang menyeruput kopi, mengobrol, atau ber-laptop ria di cafe, barang-barang dagangan dengan berbagai bentuk dan warna, juga pengunjung yang keluar-masuk toko terlihat dengan jelas ketika kita berjalan kaki di trotoar sehingga menggoda kita untuk ikut mampir serta membeli camilan, minuman, atau barang dagangan lain yang ada.
Salah satu contoh area komersial dengan active frontage yang paling terkenal di antaranya adalah deretan pertokoan di Champs-Elysées, Paris, atau di Orchard Road, Singapura yang keduanya terkenal sebagai surga bagi pejalan kaki, baik yang memiliki tujuan untuk berbelanja atau sekedar berjalan-jalan sekali pun. Namun, sesungguhnya tidak perlu jauh-jauh, di Indonesia sendiri telah ada kawasan dengan karakter sejenis di Seminyak, Bali, atau Braga, Bandung.
Di kawasan Kemang, penataan trotoar dan perwujudan muka bangunan aktif sesungguhnya menghadapi kasus unik yang jarang ada di negara-negara lain, yakni adanya setback parking hampir di setiap bangunan komersial sepanjang ruas jalan tersebut. Dalam mendorong muka bangunan aktif di kawasan dengan setback parking, dibutuhkan kesadaran penuh dan juga kreativitas para pemilik bangunan dan pengusaha yang berbisnis di Kemang dalam mendukung kawasan yang ramah pejalan kaki. ITDP Indonesia menemukan beberapa bangunan yang dapat dimaksimalkan fungsi guna lahannya dengan beberapa modifikasi untuk mendukung kawasan Kemang lebih ramah pejalan kaki.
Mobilitas Berbasis Transportasi Publik
Banyak yang meragukan kapasitas ruang jalan Kemang untuk menampung para pengguna jalan ketika trotoar selesai dibangun, “(jalan) sudah sempit semakin sempit (karena trotoar)”. ITDP Indonesia sendiri mencoba menghitung kapasitas ruang jalan Kemang sebelum dan setelah pengerjaan trotoar dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar penataan trotoar ini mengurangi kapasitas jalan sehingga berpengaruh pada jumlah pengunjung yang dapat berlalu lalang di Kemang? Ternyata, kapasitas jalan justru bertambah.
Sebelum penataan trotoar, fasilitas pejalan kaki di ruas Jalan Kemang Raya sangatlah terbatas. Ruang yang seharusnya dialokasikan untuk trotoar banyak beralih fungsi menjadi bagian dari setback parking. Pun terdapat trotoar, lebarnya rata-rata kurang dari 1 meter sehingga sesungguhnya tidak layak untuk digunakan berjalan kaki dengan aman dan nyaman.
Dengan adanya trotoar selebar 3, 5 meter, setiap jamnya, terdapat potensi 17.000 orang yang bisa berlalu lalang dengan berjalan kaki secara aman dan nyaman. Bayangkan saja potensi penambahan jumlah pengunjung yang ada dengan penyediaan ruang tersebut!
Namun, memang kita tidak boleh naif untuk langsung berasumsi akan ada penambahan ribuan pejalan kaki di Kemang. Apakah modifikasi fungsi guna lahan cukup untuk membuat Kemang lebih ramah pejalan kaki? Bagaimana mereka bisa mencapai Kemang pada awalnya? Perbaikan fasilitas pejalan kaki dan fungsi guna lahan ternyata belum cukup untuk mendukung sebuah kawasan lebih ramah pejalan kaki, diperlukan juga perbaikan aksesibilitas dan upaya mendorong mobilitas di kawasan Kemang yang fokus pada transportasi publik.
Secara lokasi, Kemang merupakan area yang cukup strategis di Selatan Jakarta. Namun saat ini, transportasi publik yang tersedia untuk mengakomodir pengunjung Kemang hanya 2 rute bus Transjakarta, rute 5N (Kampung Melayu – Ragunan) dan 6N (Ragunan – Blok M). Tidak dapat dipungkiri, pelayanan rute tersebut masih sangat terbatas, terlebih karena keduanya hanya melayani koneksi antara kawasan Utara dan Selatan Jakarta.
Belum terdapat rute transportasi publik yang melewati Kemang dengan sumbu Barat – Timur. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat terdapat area-area di kedua arah tersebut yang berpotensi untuk dikoneksikan dengan Kemang. Sebagai contohnya adalah Pondok Indah atau Jalan RS Fatmawati di sisi Barat, maupun Pejaten dan Kalibata di Timur.
Selain itu, transportasi publik yang beroperasi di wilayah Kemang juga perlu untuk terintegrasi dengan titik transportasi publik massal seperti MRT, KRL, maupun LRT yang akan dibangun nantinya. Stasiun MRT Blok A, Haji Nawi, Cipete Raya, serta Stasiun KRL Duren-Kalibata dan Kebayoran merupakan contoh titik-titik transportasi publik massal yang berpotensi menjadi titik kedatangan awal pengunjung untuk mengakses Kemang. Penyediaan rute transportasi publik yang mengakomodasi perjalanan-perjalanan tersebut akan semakin memudahkan warga Jakarta dan sekitarnya untuk mengakses Kemang, menjadikan aktivitas komersial yang telah ada di Kemang menjadi lebih ramai dan hidup.
Selain rute, hal lain yang perlu diperhatikan oleh operator transportasi publik adalah armada layanan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa ruas jalan di Kemang tidak terlalu lebar, sehingga bus dengan ukuran besar seperti Metrotrans akan mengalami kesulitan dalam bermanuver khususnya di persimpangan-persimpangan yang ada. Oleh karena itu, dalam penyediaan ke depannya, bus berukuran kecil seperti bus Minitrans dapat menjadi pilihan yang lebih sesuai dengan konteks kawasan yang ada.
Dengan akses langsung dari jalan lingkungan ke jalan utama serta jarak yang pendek-pendek, Kemang punya potensi besar untuk dikembangkan menjadi area yang ramah untuk bersepeda. Warga kemang pun ternyata sudah mulai menjadikan sepeda sebagai transportasi alternatif bermobilitas di dalam kawasan. Seperti yang kami lihat di Dijan’s, sepeda dengan boncengan yang didesain untuk anak-anak, kontraktor trotoar Kemang yang memantau pekerjaan dengan sepeda hingga warga Kemang yang berolahraga dengan sepeda.
Percontohan Kawasan Komersial Ramah Pejalan Kaki
Kemang dapat menjadi satu lagi pelajaran bahwa dalam mewujudkan area, kawasan, bahkan kota yang ramah pejalan kaki, tidak bergantung pada hanya satu elemen pengerjaan saja. Peningkatan dan/atau perbaikan fasilitas pejalan kaki akan menjadi sia-sia apabila tidak didukung warga lokal, tidak disertai dengan suasana yang menarik bagi pejalan kaki dan tidak ditumpu aksesibilitas berbasis transportasi publik. Oleh karenanya, pelibatan semua pihak termasuk koordinasi antar SKPD di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus diperkuat.
Harus ada kesamaan visi dan misi, bahwa ketika ingin mewujudkan kawasan dan bahkan kota ramah pejalan kaki, semua kebijakan harus mengutamakan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki itu sendiri.
Keberhasilan Kemang menjadi kawasan pejalan kaki dengan kebutuhan kawasan yang sangat spesifik, akan kembali menjadi contoh untuk kawasan lain bahkan kota lain dalam mewujudkan kota yang humanis. Kalau Kemang saja bisa, kawasan lain pasti juga bisa!
Next blog: Manajemen Parkir Kawasan Kemang