January 08, 2020

Memberikan Keadilan untuk Jalan Sabang

Pejalan Kaki beradu dengan kendaraan bermotor dan PKL di Jalan Sabang

Jalan Sabang, terkenal sebagai surga kuliner khas Indonesia maupun internasional yang ditawarkan dengan konsep moderen hingga kaki lima. Tak hanya itu, Jalan Sabang juga mempunyai sederet toko legendaris yang menafikan kawasan ini sebagai kawasan historis dan ikon pariwisata Jakarta. 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang giat-giatnya menggantikan ruang untuk kendaraan bermotor menjadi ruang untuk publik. Ditandai dengan transformasi Terowongan Kendal yang fenomenal, Pojok Budaya Dukuh Atas dan yang paling anyar, Thamrin 10. Kebijakan untuk mengubah wajah kawasan-kawasan ini menunjukkan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memprioritaskan ruang-ruang untuk manusia yang inklusif. 

Namun tentunya, upaya-upaya ini tidak boleh berhenti hanya sampai di sini. Akan menjadi pernyataan sikap yang tegas, jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa menambah lagi daftar ruang yang dialihfungsikan seperti lokasi-lokasi di atas, namun dengan skala yang lebih besar. Misalnya, Jalan Sabang. 

Mengapa Jalan Sabang? 

Di pagi hingga siang hari, Jalan Sabang menjadi kawasan komersial yang penuh dengan pilihan makan siang bagi pekerja kantoran di sekitar Thamrin. Baik restoran, coffee shop hingga pedagang kaki lima, menyajikan beragam jenis makanan dari jajanan hingga makanan berat. Para pedagang kaki lima pada saat siang hari di Sabang, biasanya menjajakan dagangannya dengan menggunakan mobil yang diparkir. Tak hanya makanan, beberapa dari mereka juga menjual pakaian yang diminati pekerja kantoran yang sedang mencari makan siang di sana. Kawasan Kuliner BSM (Bank Syariah Mandiri) juga menjadi salah satu tempat yang selalu penuh disesaki pengunjung Jalan Sabang.

Di Jalan Sabang juga masih berdiri beberapa studio foto yang melayani cuci cetak foto dan pas foto, money changer untuk melayani para turis asing yang menginap di hotel sekitaran Thamrin, toko kain dan toko musik legendaris yang masih melayani pelanggan setianya dan toko biskuit terkenal, Khong Guan, yang masih berdiri gagah menjadi salah satu bangunan ciri khas Jalan Sabang.

Dinamika ini kemudian berhenti sesaat menjelang malam. Ketika beberapa toko dan Kawasan Kuliner BSM mulai tutup, tenda-tenda mulai dibangun. Ketika gelap, wajah Jalan Sabang berganti dengan semarak tenda-tenda makanan pinggir jalan yang mendominasi hampir seluruh ruang parkir.

Banyak orang bilang, Jalan Sabang mulai meredup. Namun nyatanya, jalan ini masih menjadi primadona bagi mereka yang beraktivitas di pusat Jakarta; sebagai tempat untuk makan siang dan makan malam para karyawan kantoran Thamrin, tempat sarapan mereka yang berolahraga di kala akhir pekan, meeting point, memburu koleksi piringan hitam, mencari tempat foto untuk keperluan paspor dan tempat paling strategis untuk menginap bagi para turis asing. Jalan Sabang bukan lesu, Jalan Sabang butuh penyegaran. Memberikan tampilan baru pada Jalan Sabang, dapat meningkatkan gairah salah satu kawasan legendaris di Jakarta ini bagi warga Jakarta dan bahkan para turis asing.

Ada 7,000 Pejalan Kaki Berlalu Lalang di Jalan Sabang

Secara kasat mata, Jalan Sabang mempunyai fasilitas pejalan kaki yang sangat minim. Trotoar yang tersedia hanya selebar 1-2 meter, itu pun seringnya, diokupansi para pedagang dan barang dagangannya. Belum lagi menjadi parkir kendaraan bermotor roda dua. Dengan kondisi seperti ini, sepertinya mustahil banyak pejalan kaki yang melintasi atau mengakses toko serta rumah makan di Jalan Sabang dengan berjalan kaki ya?

Nyatanya, berdasarkan hitungan ITDP Indonesia, volume pejalan kaki di Jalan Sabang, mencapai 7,366 orang/jam! Angka ini terbilang tinggi untuk kawasan yang tidak didesain sebagai tempat wisata. Bandingkan dengan kawasan Patong di Phuket, Thailand yang didesain sebagai kawasan wisata dan berada di kota destinasi andalan Thailand. Kawasan Patong mencapai angka 9,000 orang/jam di akhir pekan. 

Volume pejalan kaki di hari kerja terbilang lebih rendah dibanding di akhir pekan dengan 4,734 orang/jam. Namun, angka ini masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah kendaraan bermotor yang melintas saban hari di Jalan Sabang.

Dengan volume pejalan kaki yang jauh lebih besar dari pengguna kendaraan pribadi, sayangnya, pembagian ruang jalan di Jalan Sabang sangat tidak berimbang. Hanya 14% ruang jalan yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, sementara ruang bagi mobil/motor mencapai 76,8%. Sudah saatnya pejalan kaki menjadi prioritas di Jalan Sabang. 

 

Jalan Sabang untuk Pejalan Kaki

Selain revitalisasi fasilitas pejalan kaki seperti trotoar, konsep pedestrianisasi dan transit mall di mana sebuah kawasan diubah menjadi area khusus pejalan kaki, bisa diterapkan di kawasan perkotaan. Pedestrianisasi dan transit mall bukanlah konsep asing di kota-kota di dunia, banyak kota menerapkan konsep ini dan mendapat banyak keuntungan bagi kota dan pihak terkait yang berada di kawasan tersebut. 

Yonsei-ro Transit Mall di Sinchon, Seoul, Korea Selatan dapat menjadi contoh pengalihan ruang kendaraan bermotor menjadi ruang publik. Kawasan sepanjang 550 meter dengan jajaran toko retail, tempat makan dan butik fesyen ini kerap dikeluhkan karena tidak aman dan nyaman bagi pejalan kaki dan mengalami kemacetan setiap hari – kecepatan kendaraan berkisar 10km/jam. Trotoar sepanjang 3-4 meter sebenarnya dapat mengakomodasi pejalan kaki, namun diokupansi oleh pedagang kaki lima dan peralatan listrik dari gedung sehingga mengurangi ruang berjalan kaki hingga 1-2 meter. Pemerintah kota Seoul kemudian mejadikan Yonsei-ro sebagai proyek percontohan untuk transit mall di kota Seoul pada tahun 2012. Dalam kurun waktu 6 bulan diterapkan konsep transit mall, kemacetan lalu lintas di area Sinchon berkurang hingga 34% dari data tahun lalu, dan meningkatkan komuting menggunakan bus hingga 11.2%. Dari segi bisnis, toko-toko di Shinchon mengalami kenaikan pembeli hingga 28,9% sementara dari segi transaksi, pendapatan toko-toko ini mengalami peningkatan 10.6%.

Di kota lain pedestrianisasi dilakukan, juga terjadi hal yang serupa. Misalnya, di Time Square, New York City, pedestrianisasi menyebabkan peningkatan aktivitas ekonomi mencapai 22% dari tahun 2007 ke tahun 2011. Hal yang sama terjadi juga di Oxford Circus Diagonal, London yang membantu menstimulasi aktivitas bisnis di toko-toko kawasan tersebut hingga mencapai kenaikan 25%. Hal ini terjadi di tengah lesunya industri retail di London.

Di kota-kota Asia Tenggara, pedestrianisasi banyak diterapkan dengan konsep night market, seperti yang kerap ditemui di Malaysia, Thailand bahkan Indonesia. Sebut saja Melaka dengan Jonker Street, Penang dengan Armenia Street, Thailand dengan Thalang dan Bangla Street bahkan Pasar Semawis di Semarang yang menutup kawasan-kawasan di kota mereka menjadi pasar malam di hari dan jam tertentu.

Night market adalah ciri khas kota-kota di Asia yang menjadi daya tarik bagi wisatawan asing. Kepopuleran night market membuat banyak kota di Asia akhirnya menutup area-area komersil untuk kendaraan bermotor menjadi area khusus pejalan kaki (pedestrianisasi), dengan beragam kebijakan, untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan lokal dan asing. 

Lalu, apakah hal yang sama dapat juga diterapkan di Jalan Sabang? Menurut founder Jakarta Good Guide, Farid Mardhiyanto, Jalan Sabang menjadi salah satu rute andalan yang diminati wisatawan asing. Akhir tahun 2019, salah satu kapal pesiar yang bersandar di Jakarta, “Viking Orion”,  bahkan sudah menawarkan paket tur jalan kaki malam di Jalan Sabang untuk mencicipi kuliner lokal. Mereka yakin paket wisata ini bisa memberikan pengalaman berkesan bagi para pelancong kapal pesiar. Antusiasme ini terbukti dengan adanya 4 bus berkapasitas sedang yang akhirnya menjalani tur ini. Para turis diajak untuk mencicipi sate sampai martabak, juga rambutan dan jambu air. “Sayangnya, kenyamanan dan keamanan sangat terganggu karena ruang yang terbatas sehingga turis yang sebagian besar dari Amerika Serikat itu harus berjalan kaki di badan jalan berkompetisi dengan sepeda motor, dan kendaraan bermotor lainnya,” cerita Farid lagi. Bukan itu saja, ruang untuk dapat mencicipi kuliner di pinggir jalan ini pun sangat minim sehingga seringkali mereka harus berdiri.

Karenanya, Farid sangat mendukung diterapkannya konsep night market di Jalan Sabang, apalagi dibanding kota-kota besar lainnya di Asia, Jakarta belum mempunyai area pasar malam yang terkonsep. “Padahal, pasar malam sangat erat kaitannya dengan budaya kota itu sendiri dan selalu menjadi daya tarik bagi para wisatawan,” tutur Farid.

Jakarta Good Guide sempat mewawancarai beberapa pedagang kaki lima di Jalan Sabang, mereka tidak keberatan apabila Jalan Sabang memang hanya dikhususkan bagi pedestrian. “Belum pernah sih (ditutup bagi kendaraan bermotor), tapi kemungkinan akan banyak aja yang jajan”, ungkap penjual wedang ronde yang diwawancarai.

Bagi Wasis Gunarto, Co-founder Kopi Oey Sabang yang juga pemerhati kuliner yang ditemui oleh tim ITDP dan Jakarta Good Guide, penutupan Jalan Sabang bisa jadi  mematikan bisnis namun juga dapat memberikan gairah baru bagi kawasan ini. “Pasti ada positif dan negatifnya, tapi saya mau untuk mencoba, untuk melihat reaksi pelanggan dan juga untuk berkreasi dengan promosi kami,” papar Wasis yang telah menjalankan bisnis di Jalan Sabang lebih dari 10 tahun. Wasis menambahkan, bahwa perlu dipertegas, ketika Jalan Sabang nantinya ditutup, hanya pedagang kaki lima eksisting saja yang diperbolehkan untuk berjualan. “Ini untuk menjaga keotentikan kawasan Jalan Sabang itu sendiri,” ungkap Wasis. 

Rekomendasi “Jalan Sabang Night Market” 

Berikut rekomendasi ITDP Indonesia dan Jakarta Good Guide dalam upaya penerapan “Jalan Sabang Night Market”:

Penutupan jalan dilakukan di malam hari dan di akhir pekan. Berdasarkan hitungan ITDP Indonesia, terdapat 63 tenant pedagang kaki lima yang biasanya mengokupansi tempat parkir mobil dan motor di Jalan Sabang pada malam hari. Jumlah pejalan kaki di akhir pekan juga lebih banyak angkanya dibanding di hari kerja. Karenanya, sebagai permulaan, “Jalan Sabang Night Market” dapat  diselenggarakan di malam hari pada akhir pekan. Hal ini tentunya hanya sebagai awal untuk memperkenalkan kawasan yang bebas kendaraan bermotor pribadi dan melihat reaksi masyarakat. Ke depannya, bila hasil percontohan terbilang sukses, bukan tidak mungkin hari dan waktu pedestrianisasi ditambah dan diperpanjang.

Menambah ruang untuk restoran, cafe dan pedagang kaki lima. Dengan menutup Jalan Sabang untuk kendaraan bermotor pribadi, ruang untuk pedagang kaki lima eksisting, bertambah. Ruang jalan kendaraan bermotor dapat dipakai untuk mengakomodir ruang pedagang kaki lima. Para pelaku usaha F&B yang menempati bangunan di sepanjang Jalan Sabang, dapat menggunakan ruang di depan muka bangunan mereka untuk menambah okupansi restoran/kafe dengan menempatkan tambahan meja dan kursi.

Penutupan jalan tidak berdampak signifikan pada lalu lintas. Volume lalu lintas di Jalan Sabang saat akhir pekan tidak seramai hari kerja, karenanya penutupan Jalan Sabang pada akhir pekan tidak akan berdampak signifikan pada lalu lintas di sekitar kawasan. Jalan Sabang juga tidak memerlukan perubahan arah lalu lintas maupun perubahan fase pada persimpangan. Sirkulasi lalu lintas dapat diarahkan menuju Jalan Kebon Sirih dan Jalan H. Agus Halim bagian selatan. Dan untuk meminimalisir gridlock terutama pada persimpangan, perlu upaya aktif dari jajaran dinas setempat untuk mensosialisasikan  kegiatan ini agar pengendara kendaraan bermotor pribadi dapat menempuh perjalanan dengan rute alternatif. 

Tolok ukur kesuksesan. Untuk dapat mengukur apakah upaya ini menghasilkan keuntungan bagi warga dan masyarakat sekitar, pemerintah kota secara aktif melakukan pengambilan data berkala. Data-data yang dimaksud di antaranya:

  1. Jumlah pejalan kaki dan/atau pengunjung
  2. Persepsi pengunjung terhadap kegiatan ini
  3. Persepsi pemilik usaha terhadap kegiatan ini
  4. Aktivitas ekonomi yang terjadi

Semua perubahan tentu perlu melewati tahap dan proses serta perencanaan yang matang. Transformasi kawasan ini juga perlu komitmen yang kuat dari seluruh jajaran pemerintah kota dan tentunya selalu melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya. Harapannya, preliminary data yang dilakukan ITDP Indonesia dan Jakarta Good Guide, bisa menjadi dasar untuk dilakukan kebijakan dan langkah selanjutnya untuk menjadikan Jalan Sabang kawasan wisata ramah pejalan kaki.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend