April 20, 2021

Jalan Tol Dalam Kota, Solusi Usang Transportasi Perkotaan

Jalan tol dalam kota adalah solusi transportasi yang sudah ketinggalan zaman. Dengan berinvestasi pada bersepeda, berjalan kaki, dan transportasi publik, kota-kota dapat mengambil jalan pintas untuk sampai di masa depan.

Kota-kota maju membayar biaya selangit untuk menghilangkan jalan tol yang mereka bangun beberapa dekade lalu dan menggantinya dengan transportasi berkelanjutan.

Artikel ini disadur dari artikel Leapfrogging Past the Urban Highway yang pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Inggris.

Desain Transportasi Toksik

Jalan tol dalam kota adalah jalan banyak lajur dengan akses terbatas yang melewati area-area padat penduduk, dirancang untuk pergerakan jarak jauh kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi. Beberapa jalan tol  dalam kota melewati pusat kota sementara yang lainnya mengitari lingkar luar kota. Jalan tol dalam kota merupakan artefak dari kejayaan desain transportasi pada tahun 1950-an, yang sekarang sudah usang seperti disket komputer. Dibandingkan pembangunan jalan tol dalam kota, pembangunan infrastruktur yang berfokus untuk mengakomodasi perjalanan kaki, sepeda, dan angkutan umum tentu lebih berkelanjutan, aman, sehat, efisien, dan produktif. Mobilitas berkelanjutan adalah masa depan dari transportasi

Dua jalan tol besar, di California Selatan dan Texas, tidak memberikan akses yang lebih aman maupun berkeadilan kepada warga sekitar.

Tidak hanya kuno, jalan tol juga merusak: buruk bagi planet dan manusia. Mereka membuat manusia tergusur, memecah komunitas dan memperdalam segregasi dengan memutus rute yang biasanya digunakan warga berjalan kaki. Dengan cara ini, jalan tol dalam kota telah mengorbankan tempat tinggal manusia untuk memfasilitasi lalu lintas mobil. Membangun jalan tol juga membawa kita menuju pertumbuhan yang tidak berkelanjutan baik secara ekologikal maupun finansial. Keberadaannya mensubsidi peluasan wilayah yang merusak tanah agrikultur dan habitat alami, dan mendorong orang-orang untuk terus menggunakan kendaraan pribadi, menghasilkan polusi hingga krisis iklim semakin memburuk.

Para pendukung pembangunan jalan tol berargumen bahwa jalan tol mengurangi kemacetan, mengurangi durasi perjalanan dan bahkan menurunkan emisi. Tetapi jalan tol menyebabkan fenomena induced demand, yakni justru mendorong penggunaan kendaraan pribadi oleh orang-orang yang sebelumnya tidak menggunakannya. Beberapa tahun setelah penggunaan jalan tol, polusi, kemacetan, dan berbagai dampak berbahaya lainnya dari penggunaan kendaraan pribadi semakin terlihat sementara manfaat pembangunan yang diharapkan tidak terwujud. Dampak berbahaya ini sangat jelas, sehingga sebagian besar kota di negara maju telah berhenti membangun jalan tol. Kota-kota seperti Seoul, Paris, New York City, San Francisco, Utrecht, dan Milwaukee sudah mulai membongkar jalan-jalan bebas hambatannya. Meski mahal, pembongkaran ini berhasil mewujudkan kota yang lebih sehat dan layak huni. Tidak semua kota di negara maju membuat kesalahan di masa lalu dengan membangun jalan tol di abad ke-20. Vancouver—satu-satunya kota besar Amerika Utara yang tidak memilki jalan tol di tengah kota—telah mengerahkan sumber dayanya untuk berjalan kaki, bersepeda, transportasi publik serta transit-oriented development. Bukan sebuah kebetulan Vancouver terkenal dan terus masuk ranking sebagai kota dengan kualitas hidup yang tinggi.

São Paulo, Brazil | Proyek Mário Covas Rodoanel, Bagian Utara: Pembiayaan: Pinjaman Bank Pembangunan Multilateral dan pemerintah. Mulai dibangun pada 2013, bagian utara dari tol Mario Covas Rodoanel highway merupakan 47.4km terakhir dari tol lingkar sepanjang 176.5 km. Proyek ini akan memakan biaya sekitar $3 triliun, dengan pinjaman $1.1 triliun dari sebuah lembaga keuangan multilateral, sisanya ditanggung oleh pemerintah São Paulo. Tol ini melewati daerah padat penduduk dan hutan hujan Mata Atlântica, yang menghadapi degradasi signifikan sebagai efek dari pembangunan tersebut. 

Mengulangi Kesalahan Sebelumnya

Meskipun kota-kota di negara maju telah mulai membongkar jalan tol mereka, masih banyak kota-kota di negara berkembang yang terus membangun jalan tol. Proyek ini lazimnya dibiayai oleh pemerintah lokal dan nasional, terkadang juga oleh lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Ironisnya, bank-bank ini seringkali dibiayai oleh negara maju yang telah berhenti membangun jalan tol di negara mereka sendiri. Argumen pembangunan jalan tol masih sama dengan 50 tahun lalu: untuk mengurangi kemacetan. Tetapi dengan data yang kita miliki sekarang, kita tahu bahwa argumen tersebut hanyalah mimpi belaka.

Seoul, Korea Selatan: Jalan Layang Cheonggye menyiksa lingkungan sekitarnya dengan polusi, kemacetan, dan suara bising selama empat dekade. Pada tahun 2005, Jalan Layang Cheonggye dibongkar dan digantikan dengan ruang terbuka hijau sepanjang 9 kilomenter di pusat kota Seoul. Tranformasi ini menurunkan suhu di musim panas hingga 3.3 derajat Celsius, membuat sebuah ruang yang sehat dan ramah pejalan kaki. Harga properti apartemen di koridor tersebut juga mengalami kenaikan rata-rata hingga 25%. Proyek ini sangat sukses hingga pemerintah Seoul membongkar dan mengubah 15 jalan tol lainnya. 

Meninggalkan Jalan Tol

Negara-negara di seluruh dunia menghadapi resesi ekonomi akibat COVID-19. Banyak pemerintah yang mengejar program-program stimulus pendanaan infrastruktur untuk memacu ulang pembangunan. Tetapi negara yang menggelontorkan dana stimulus untuk jalan tol hanya akan mendapat beban infrastruktur yang telah usang dan merusak. Pendanaan stimulus terkait COVID-19 perlu dialokasikan untuk teknologi berkelanjutan yang inovatif seperti jaringan jalur sepeda di seluruh kota, bukan untuk jalan tol yang tidak efisien. Saat artikel ini ditulis, ratusan kota telah dengan cepat memperluas jaringan sepeda mereka sementara kota-kota lain mempercepat rencana untuk memperluas jaringan jalur sepeda terproteksi yang telah ada. Untuk pulih dari dampak COVID-19 secara lebih berkelanjutan dan efisien, kota perlu melakukan pengembangan yang lebih baik ini secara permanen.

 

Edukasi dan kesadaran akan perlunya melampaui pemikiran kuno dengan menolak pembangunan yang merusak akan menjadi kunci yang mendorong lembaga keuangan dan pemerintah untuk mengejar sistem transportasi yang berkelanjutan. Kesempatan tersebut masih ada. Pada pertengahan 1990-an, kota Bogotá berkembang pesat dan harus memutuskan bagaimana cara memperluas jaringan sistem transportasinya. Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) menawarkan pembiayaan untuk sistem jalan tol, tetapi Bogotá memilih strategi mobilitas yang mencakup sistem Bus Rapit Transit (BRT). BRT ini kini mengangkut lebih dari 1,8 juta penumpang setiap hari, lebih banyak dibandingkan pengguna jalan tol, dengan biaya konstruksi yang lebih rendah. Kota ini juga berinvestasi ke sistem bike-sharing dan jalur hijau sepanjang 45 kilometer yang menghubungkan lingkungan berpenghasilan rendah ke pusat kota.

Kota-kota di negara maju membayar biaya selangit untuk menghilangkan jalan tol yang mereka bangun beberapa dekade lalu dan menggantinya dengan moda transportasi berkelanjutan seperti berjalan kaki, bersepeda, dan transit. Kita bisa belajar dari kesalahan mereka. kota-kota di negara berkembang memiliki peluang untuk berpikir futuristik dengan tidak membangun jalan tol dalam kota yang toksik dan langsung membangun transportasi yang berkelanjutan di masa depan.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP