July 06, 2021
Angkot Jadi Solusi Mobilitas di Kota Megapolitan Jakarta
“HANYA 1km dari stasiun LRT Jababeka”
“Miliki Rumah Dekat dengan stasiun LRT”
“Segera, Miliki! Apartemen di Kawasan TOD”
Iklan-iklan promo ini belakangan semakin bergaung mengiringi pembangunan LRT dan transportasi massal lainnya. Indikasi baik, masyarakat semakin melihat transportasi massal sebagai moda mobilitas di perkotaan. Yang menarik, jarang orang membicarakan perihal “bagaimana cara menuju stasiun transportasi massal tersebut?”
Konsep kawasan berbasis transportasi massal tentunya merupakan konsep yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup orang-orang di dalamnya, termasuk menyediakan berbagai pilihan moda yang mendukung peningkatan kualitas hidup penduduk kota. Kualitas hidup manusia di kawasan perkotaan mempunyai indikator; pengurangan emisi kendaraan yang berdampak terhadap penurunan tingkat polusi udara, serta kawasan yang aman dan nyaman untuk anak-anak, perempuan, disabilitas dan lansia bermobilitas mandiri. Kalau jawaban Anda atas pertanyaan di atas masih menggunakan kendaraan bermotor pribadi, sesungguhnya kualitas hidup yang diharapkan belum tercapai.
Kenapa? Kawasan yang digadang-gadang atau dilabeli TOD (Transit-Oriented Development) pada dasarnya adalah kawasan berbasis transportasi massal baik jalan maupun rel. Dan yang lebih penting lagi, transportasi massal sebagai inti perjalanan ini WAJIB dapat dicapai dengan moda non-bermotor, yakni jalan kaki dan bersepeda. Ketika satu kawasan mendeklarasikan dirinya sebagai kawasan TOD tapi Anda masih harus berjibaku mengendarai mobil atau motor pribadi menuju stasiun transportasi massal tersebut, maka bisa dipastikan kalau konsep tersebut hanyalah lip service belaka. Tak perlu capek-capek lah Anda cari rumah dekat stasiun LRT atau berkonsep TOD.
Dalam setahun, dengan menggunakan transportasi umum bisa menghemat setidaknya 1,2 juta dan menanggalkan beban pikiran terjebak kemacetan di jalan. lebih hemat dengan durasi yang sama, ditambah tanpa rasa bersalah karena tidak ikut menyumbang polusi dan volume kendaraan bermotor pribadi di kota.
Angkot dan Bergerak di Kota
Desain tata kota Jakarta secara sistematis dibangun untuk memberikan ruang sebesar-besarnya pada kendaraan bermotor pribadi. Karenanya tak heran meski pembangunan trotoar telah masif, jalan kaki menuju titik-titik stasiun transportasi massal masih sulit untuk dilakukan warga. Pun demikian, pilihan moda untuk bisa mencapai titik-titik transit yang ramah lingkungan, kini sebenarnya sangatlah beragam dan fleksibel. Selain sepeda baik sepeda pribadi maupun sistem bike sharing, moda transportasi lokal yang dekat dengan hati warga pun dapat menjadi moda penghubung ke transportasi massal: angkot.
Di kota-kota di Indonesia, angkot sejatinya adalah transportasi massal kearifan lokal yang pada zamannya menjadi andalan warga kota. Dimensinya yang pas dengan jalan-jalan lingkungan di kota-kota Indonesia membuat angkot mempunyai cakupan rute hingga ke pemukiman. sayangnya, di Indonesia, angkot tidak dikelola dengan baik dan seringkali luput dalam pengembangan sistem transportasi massal, padahal apabila dimanfaatkan, angkot dapat menjadi moda andalan warga bermobilitas dengan konsep mendekati “door to door”.
Konsep Lokal Diterapkan Internasional
Konsep moda transportasi seperti angkot sebenarnya bukan hal baru di kota lain selain di negara Indonesia. Biasa disebut dengan paratransit, konsep ini biasa ditemui di India dan kota-kota di Amerika Latin. Di Jakarta sendiri, konsep angkot menjadi moda penghubung ke stasiun transportasi massal yang lebih besar, mulai diperbaharui lewat program JakLingko. Di mana angkot-angkot mulai diintegrasikan dengan transportasi massal baik rute maupun infrastruktur serta pemberian Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dengan penerapan SPM, angkot atau mikrotrans yang bergabung dengan JakLingko memiliki kepastian atas waktu, titik berhenti dan keandalan dalam operasional dan pelayanan termasuk dalam menanggapi aduan masalah. Kota-kota di Eropa dan Amerika juga mulai menerapkan konsep microtransit ini namun masih dengan skema on-demand (dipesan terlebih dahulu), sementara di Jakarta, konsep ini dapat digunakan seharian dan GRATIS.
Hemat, Cepat Tanpa Rasa Bersalah
Adel adalah salah satu warga Jakarta yang merasakan nikmatnya mendapatkan layanan mikrotrans, nama beken angkot masa kini. Rumahnya di Jl. Pertanian Lebak Bulus dilewati mikrotrans rute JAK 03 jurusan Andara – Lebak Bulus. Hanya butuh waktu 7-10 menit untuk Adel menuju stasiun MRT Lebak Bulus dengan frekuensi kedatangan mikrotrans yang cukup tinggi. Dilanjut dengan naik MRT hingga Bundaran HI dan kemudian berjalan kaki atau bersepeda ke kantor yang berlokasi di Gondangdia, Menteng. Total perjalanan memakan waktu 50-60 menit, tidak jauh berbeda bahkan bisa lebih cepat dibandingkan menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Dengan total jarak pulang-pergi 40 KM setiap hari kerja, biaya yang dikeluarkan Adel jika menggunakan transportasi umum adalah sekitar 600 ribu per bulan. Dengan mempertimbangkan biaya bahan bakar, perawatan, pajak, dan parkir, biaya ini masih lebih murah setidaknya 100 ribu per bulan dibandingkan jika Adel menggunakan mobil setiap harinya. Dalam setahun, dengan menggunakan transportasi umum bisa menghemat setidaknya 1,2 juta dan menanggalkan beban pikiran terjebak kemacetan di jalan. lebih hemat dengan durasi yang sama, ditambah tanpa rasa bersalah karena tidak ikut menyumbang polusi dan volume kendaraan bermotor pribadi di kota.
Rumah Masa Depan: Mengikuti Gaya Hidup Transportasi Berkelanjutan
Prioritas terhadap kendaraan bermotor dalam pembangunan kota saat ini tidak hanya terlihat dari desain ruang jalan saja, melainkan juga dalam penyediaan hunian yang biasanya kurang afdol jika tidak menyediakan garasi. Padahal dengan luas ruang yang sama, kita bisa mendapatkan satu kamar tambahan, atau area aktivitas keluarga yang cukup luas. Dengan memilih rumah yang berlokasi di dekat titik transportasi umum, bisa jadi garasi tidak lagi diperlukan karena kita tidak lagi harus bergantung pada kendaraan bermotor pribadi. Kedekatan jarak dengan titik transportasi umum pun tidak selalu harus dekat stasiun besar, melainkan moda-moda yang bisa menjangkau permukiman, seperti angkot. Hunian yang terjangkau dibangun bukan di daerah baru, tapi memanfaatkan lahan dan area di perkotaan sehingga akan lebih banyak orang yang bisa tinggal di pusat kota. Di mana rumah tinggal, kantor, supermarket, rumah sakit, sekolah dan fasilitas publik lainnya bisa dijangkau dengan moda yang lebih ramah lingkungan; transportasi publik, berjalan kaki dan bersepeda.
Artikel ini merupakan hasil kerjasama Rumah.com & ITDP Indonesia yang sebelumnya telah diunggah di tautan ini.