July 01, 2021

Terbukti, Kunci Mobilitas Warga di Masa Krisis: Integrasi Micromobility dan Transportasi Publik

Micromobility adalah alat mobilitas individual, baik elektrik maupun tidak bermotor yang berkecepatan di bawah 25 km/jam dan ideal untuk perjalanan jarak pendek. 

Saat krisis akibat pandemi dimulai, dunia seakan berhenti dan pola hidup masyarakat terusik dan berubah sepenuhnya termasuk bagaimana warga kota bermobilitas. Transformasi warga dalam bermobilitas jelas terlihat dan meningkat pesat selama masa pandemi. Status quo ikut berubah seiring dengan berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan kenaikan jumlah warga yang bersepeda dan berjalan kaki. Tingginya jumlah pesepeda dan pejalan kaki di kota-kota di dunia menunjukkan keinginan nyata akan perubahan mobilitas.

Salah satu aspek yang meningkatkan kesuksesan dari berjalan kaki dan bersepeda adalah ketangguhan micromobility atau dalam regulasi di Indonesia disebut Alat Mobilitas Pribadi (AMP). Micromobility adalah alat mobilitas individual, baik elektrik maupun tidak bermotor yang berkecepatan di bawah 25 km/jam dan ideal untuk perjalanan jarak pendek. Kendaraan seperti sepeda listrik dan skuter listrik merupakan beberapa contoh opsi populer micromobility.

Pada awal pandemi, beberapa kota menyediakan akses bikeshare bebas biaya untuk tenaga kesehatan dan pekerja esensial lainnya. Salah satu operator bikeshare di Kota Bogota bahkan menyediakan armada sepeda listrik khusus bagi tenaga kesehatan untuk mempermudah akses mereka menuju tempat kerja. Sistem shared micromobility (AMP berbagi) seperti bikeshare memberikan alternatif moda lain untuk bus yang ramai atau jarak yang sulit ditempuh dengan berjalan kaki, dan terus melengkapi opsi transportasi berkelanjutan lainnya, terutama dalam memberikan koneksi perjalanan dari titik awal hingga titik akhir (first-last mile)

Bagi kota-kota yang memilih untuk lockdown, kebutuhan akan opsi transportasi yang fleksibel dan andal menjadi sangat esensial dan mendesak. Saat kota mulai kembali dibuka atau berencana untuk dibuka, ada kesempatan besar untuk memikirkan ulang sistem mobilitas kota. Salah satunya adalah secara sadar dan signifikan mengintegrasikan moda shared micromobility dalam sistem transportasi publik. Hal tersebut akan membantu kota-kota memastikan warga tidak akan kembali ke status quo dan bergantung pada penggunaan kendaraan bermotor pribadi, tetapi pada moda yang lebih berkelanjutan, aman, dan tangguh untuk kebutuhan transportasi mereka. 

Banyak kota yang telah memiliki berbagai macam moda transportasi —transportasi pubik, berjalan kaki, dan micromobility (alat mobilitas pribadi)—, tetapi seringnya, moda-moda ini belum terkoneksi dengan baik yang dapat memaksimalkan potensi dari seluruh jaringan transportasi perkotaan.

Wayfinding hasil kolaborasi FDTJ & Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Stasiun Tanah Abang yang mengarahkan penumpang Transjakarta dan KRL menuju titik tambat bikeshare, parkir sepeda, dan destinasi sekitar stasiun. ITDP Indonesia & FDTJ juga merilis wayfinding guideline untuk mendukung integrasi antar moda.
Parkir sepeda di stasiun BRT Transjakarta merupakan contoh spektakuler dari integrasi multi moda - meningkatkan kesempatan bagi penumpang untuk mengakses kedua moda dengan mudah dan aman. Foto oleh: Elisa Sutanudjaja

Sejak ledakan penambahan operator bikeshare dan skuter listrik pada tahun 2018, banyak kota yang menerapkan peraturan ketat penggunaan moda micromobility ini untuk mencegah dampak negatif seperti, kelebihan pasokan armada dan pengendaraan yang berbahaya. Beberapa rekomendasi kesuksesan dalam menerapkan peraturan terkait shared micromobility bermunculan setelah kota-kota saling belajar dari pengalaman masing-masing. Namun, dalam kebanyakan kasus, peraturan terkait bikeshare dan skuter listrik saja belum mampu untuk memaksimalkan potensi moda-moda ini untuk mengisi kekosongan dari jaringan transportasi perkotaan. Meski peraturan adalah alat yang penting untuk manajemen operasi, integrasi antara shared micromobility dan transportasi publik merupakan suatu peluang nyata untuk ekspansi akses dan memberikan opsi mobilitas yang cepat dan terjangkau bagi warga.

skuter listrik dockless yang terletak di sebelah stasiun Brightline, Ft Lauderdale, Florida, USA menjadi semakin populer dan merupakan contoh yang baik dari koneksi first & last mile yang terletak di dekat titik transit. Foto oleh: Phillip Pessar

Laporan terbaru dari ITDP, “Memaksimalkan Alat Mobilitas Pribadi: Membuka Kesempatan untuk Integrasi Alat Mobilitas Pribadi dan Transportasi Publik” (Maximizing Micromobility: Unlocking Opportunities to Integrate Micromobility and Public Transportation) membahas bagaimana kota dapat menanggapi integrasi multimoda, dan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan micromobility (alat mobilitas pribadi) dengan transportasi publik. Integrasi meningkatkan keandalan, keterjangkauan dan fleksibilitas dari perjalanan multi moda; meningkatkan jumlah penumpang antar moda; dan memperluas cakupan pelayanan dengan populasi serta jarak yang semakin pendek dari tempat tinggal ke titik-titik transportasi publik. Integrasi fisik, terutama, memperluas akses. Peta dari Jakarta, Indonesia, Mexico City, Meksiko, dan Fortaleza, Brazil menunjukkan bagaimana populasi yang berada dalam jarak yang dapat ditempuh selama 15 menit bersepeda (atau alat mobilitas pribadi lainnya) menggunakan jalur sepeda dibandingkan berjalan selama 15 menit ke stasiun transportasi publik.

Laporan ini juga memaparkan 5 poin penting bagi kota-kota untuk memaksimalkan micromobility, dan memanfaatkan momentum ini untuk transisi cara kota bermobilitas dan meraih peluang potensi maksimal. Yang harus dilakukan kota-kota:

  1. Memimpin proses integrasi dan mengembangkan relasi dengan operator swasta yang berkomitmen pada layanan terintegrasi
  2. Menggeser fokus dari hanya menyusun peraturan untuk micromobility, menjadi mendorong penggunaan micromobility untuk mengisi kekosongan di sistem transportasi perkotaan
  3. Berfokus pada integrasi untuk memperluas akses.
  4. Memulai dari integrasi fisik, seperti membangun jaringan jalur sepeda dan fasilitas micromobility di titik transit.
  5. Menggunakan perubahan dalam kebutuhan bermobilitas warga selama masa pandemi, untuk menguji coba layanan integratif.

Salah satu langkah pertama yang mudah adalah dengan membuat jalur sepeda temporer (pop-up bike lane) yang dibangun saat pandemi dan terhubung dengan titik transportasi publik, menjadi jalur sepeda permanen.

Momentum ini merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan kota-kota untuk mengintegrasikan micromobility dengan moda transportasi lainnya, sebagai  respon terhadap pandemi COVID-19 dan menuju mobilitas nol emisi untuk mencegah dan mengurangi dampak krisis iklim. Integrasi micromobility dan transportasi publik dapat membantu warga mencapai tujuan perjalanan dalam waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih murah apabila dibandingkan dengan saat setiap moda tidak terkoneksi satu sama lain. 

Dengan memastikan penggunaan micromobility dan transportasi publik sebagai opsi termurah dan tercepat, integrasi kemudian, menjadi langkah selanjutnya untuk meningkatkan ketangguhan kota, meningkatkan kualitas udara, menurunkan emisi gas rumah kaca, dan membawa kita ke kota yang lebih layak untuk dihuni. 

Unduh laporan lengkapnya di tautan ini

Unduh Infografis berbahasa Indonesia di tautan ini

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP