September 10, 2021

Mengupas Untung Tersembunyi Rumah Bekas

Bagi para pendatang dan juga generasi milenial yang bekerja dan beraktivitas di Jakarta, tinggal di pusat kota layaknya mimpi di siang bolong. Bukan rahasia bahwa urbanisasi menyebabkan kebutuhan hunian di kota Jakarta semakin tinggi. Sayangnya, penggunaan lahan yang tidak efisien menyebabkan hunian di Jakarta menjadi terbatas dan harga hunian pun semakin tinggi. Sebagai respons dari fenomena tersebut, pembangunan hunian di sekitar Jakarta semakin pesat berkembang. Mulai dari Depok, Bogor, Tangerang, bahkan hingga membentuk kota baru. Dengan harga yang murah, tentu para calon pembeli cenderung terlebih dahulu mencari rumah di lokasi yang berjarak sekitar 1-2 jam perjalanan dari Jakarta ketimbang di pusat kota.


Biaya Tidak Kasat Mata Hunian Suburban

Kesempatan untuk membeli rumah dengan harga “murah” sering membuat para calon pembeli lupa dan menutup mata pada biaya lain yang perlu dibayarkan nantinya. Biaya tersembunyi ini tidak hanya hadir dalam bentuk pengeluaran finansial, tetapi juga dampak psikologis dan kesehatan. Pandemi COVID-19 yang sedang kita hadapi saat ini menjadi bukti nyata bagaimana para penghuni kota-kota baru harus membayar harga dari pilihan mereka. Pembangunan kota-kota baru ini seringkali tidak didukung dengan fasilitas transportasi publik sehingga para warga pun mau tidak mau menjadi bergantung dengan kendaraan bermotor pribadi baik untuk akses ke tempat kerja maupun kebutuhan sehari-hari. Pembatasan mobilitas dan lokasi hunian yang jauh dari layanan esensial banyak menyulitkan warga dalam memenuhi kebutuhan utama mereka ataupun mengakses fasilitas kesehatan dalam keadaan darurat. 

Selain pilihan membeli hunian baru di kawasan atau kota baru dengan biaya modal yang relatif lebih rendah, opsi rumah bekas di tengah kota dapat menjadi pilihan alternatif. Rumah bekas cenderung berada di lingkungan yang memiliki fasilitas esensial seperti fasilitas kesehatan, layanan pemerintahan, taman, sekolah, transportasi publik, perbelanjaan dan bahkan pekerjaan yang dapat diakses hanya dengan 15 menit berjalan kaki atau bersepedajuga dikenal dengan konsep 15-minutes neighbourhoodyang merupakan kunci kenyamanan beraktivitas sehari-hari. Konsep ini digagas oleh Carlos Moreno dari Universitas Sorbonne dan sudah mulai dijadikan bagian dari rencana pembangunan kota-kota seperti Paris & Melbourne. Dengan konsep kedekatan, mixed-use dan lingkungan yang padat akan mengurangi kebutuhan perjalanan dengan kendaraan bermotor, memungkinkan adanya penurunan terhadap pengeluaran untuk transportasi. Tanpa adanya dampak dari kendaraan bermotor, lingkungan akan menjadi lebih bersih, sehat, selamat, aman, dan nyaman. 

Meraup Untung di Masa Depan

Andi merupakan seorang pekerja swasta yang bekerja di bilangan Sudirman, Dukuh Atas yang sedang berencana untuk membeli rumah untuk dirinya dan keluarga kecilnya. Baginya, memiliki tempat tinggal merupakan suatu keharusan. Andi dihadapkan dengan dua pilihan hunian yaitu rumah bekas di kawasan Tebet Barat seluas 135m2 dan rumah baru di kawasan Cakung seluas 120m2.

Dengan harga 3 milyar rupiah, Rumah di Tebet Barat berada dekat dengan banyak fasilitas mulai dari pendidikan, kebutuhan sehari-hari, kesehatan, hingga ruang terbuka. Pada radius 800 m (10 menit berjalan kaki) sudah banyak fasilitas yang dapat dijangkau termasuk fasilitas transit. Bahkan, tanpa perlu menggunakan kendaraan bermotor, Andi dan keluarga sudah dapat menjangkau fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara rumah baru di Cakung yang dibanderol dengan harga 1.95 milyar rupiah berada di dalam kluster perumahan tertutup, akibatnya jarak dengan fasilitas seperti pendidikan, pusat perbelanjaan, menjadi lebih jauh. Dalam radius 3 km yang lebih sulit untuk ditempuh dengan berjalan kaki (35 menit berjalan kaki), Andi harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli kendaraan bermotor pribadi agar dapat mengakses kebutuhan sehari-hari.

Dengan membeli rumah bekas di pusat kota, Andi dapat menanggalkan ketergantungan terhadap kendaraan bermotor dengan memilih untuk bersepeda dengan bermodal 6 juta rupiah saja, alih-alih membeli mobil yang kisaran harganya 200 juta rupiah. Apalagi pembelian mobil akan secara otomatis diikuti dengan biaya-biaya lain seperti biaya bensin, tol, parkir, servis tahunan, dan pajak tahunan. Apabila Andi memilih untuk membeli rumah baru di Cakung, maka ia akan dihadapkan dengan pilihan untuk mengorbankan kenyamanan dan waktu atau uang untuk perjalanan hariannya ke kantor. Andi dapat memilih untuk menghabiskan 12 juta rupiah setiap tahunnya dengan mengendarai mobil ke kantornya yang berjarak 28 km dari rumah, atau  menghabiskan 4 jam dari harinya untuk menaiki transportasi umum dengan biaya 3,5 juta Rupiah setiap tahunnya. 

Saat dikomparasi berdasarkan biaya yang akan dikeluarkan untuk kebutuhan transportasi harian baik ke kantor maupun untuk aktivitas harian seperti mengantar anak ke sekolah, berbelanja kebutuhan sehari-hari, ataupun mengakses fasilitas kesehatan, Andi harus mengeluarkan 19,5 juta rupiah saat tinggal di kawasan suburban yang sudah pasti membutuhkan kendaraan bermotor pribadi untuk bepergian. Perbedaan dengan biaya yang dikeluarkan dari berjalan kaki, bersepeda, menggunakan kendaraan umum atau taksi, di kawasan yang telah terbangun dan memiliki fasilitas lengkap menjadi sangat signifikan dengan total biaya hanya 3 juta rupiah per tahunnya.

Meski biaya pembelian awal terkesan lebih besar untuk rumah bekas, dengan membeli rumah bekas di kawasan Tebet Barat yang berada dalam kawasan dengan konsep 15-minutes neighbourhood, Andi juga telah menginvestasikan modal dasar untuk masa depan keluarganya. Andi dapat meraup keuntungan dari pembeliannya di masa depan dalam beragam rupa seperti lebih banyak waktu untuk keluarga atau hal yang disukai, pengeluaran untuk transportasi yang rendah, kesehatan fisik dan mental keluarga hingga lingkungan yang asri dan bersih dari polusi. Dengan memilih tinggal di Tebet Barat yang dekat dengan pusat aktivitas sehingga memungkinkan untuk bermobilitas menggunakan kendaraan umum, Andi dapat menghemat emisi karbon per tahun 200 kali lipat dibandingkan dengan menggunakan mobil pribadi dari Cakung*. 

Menghabiskan banyak waktu di perjalanan ke kantor atau menuju fasilitas dasar untuk kebutuhan sehari-hari sudah terlalu lumrah hingga terasa tidak signifikan. Ini adalah kenyataan bagi warga Jakarta dan sekitarnya yang dalam setahun telah menghabiskan waktu setara dengan 22 hari di tengah kemacetan. Hal tersebut tidak perlu menjadi realita kita ke depannya, mari tinggalkan beban tersebut dengan memilih rumah di kawasan yang memungkinkan kita untuk mengakses kebutuhan dasar dengan moda transportasi berkelanjutan.


*Referensi penghitungan emisi karbon: Maria Carolina Lopulalan. 2015. Penentuan Faktor Emisi Spesifik Untuk Estimasi Dan Pemetaan Tapak Karbon Dari Sektor Transportasi Dan Industri Di Kabupaten Banyuwangi 

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP