December 05, 2023
Kita Butuh Lebih Banyak Perempuan Bersepeda
Oleh Kasih Sabandar, Inclusive Urban Planning Associate ITDP Indonesia
Makna bersepeda sangat bervariasi tergantung pada konteks budaya dan pengalaman individu, dan lingkungan sekitar. Sebagai contoh, seorang anak di Belanda mungkin melihat sepeda sebagai sarana praktis untuk pergi ke sekolah, sementara selama masa kecil saya di Indonesia, saya menganggap sepeda sebagai sumber kegembiraan, menghabiskan waktu sore hari dengan bersepeda di sekitar lingkungan bersama teman-teman. Kedua perspektif tersebut sama-sama valid dan dibentuk oleh lingkungan unik tempat seseorang dibesarkan.
Seiring berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keselamatan dalam bersepeda di Indonesia. Sebagai contoh, selama Pandemi COVID-19, terjadi peningkatan jumlah pesepeda yang sangat besar, yang mendorong pengembangan infrastruktur bersepeda di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia untuk mendukungnya sebagai moda transportasi. Namun, meskipun penambahan infrastruktur bersepeda merupakan langkah positif, ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Survei dan pengumpulan data masukan menunjukkan partisipasi perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yang mengindentifikasi adanya kecenderungan eksklusi. Hal ini terlihat dari kesenjangan yang cukup besar antara jumlah partisipan perempuan dan laki-laki dalam survei multi gender yang dilakukan, seperti dalam FGD Jakarta Ramah Sepeda pada tahun 2019 dan Persepsi Bersepeda di Jalan Sudirman Thamrin pada tahun 2021.
Kurang terwakilkannya kelompok rentan, terutama perempuan, dalam survei dan proses perencanaan dapat mengakibatkan infrastruktur yang tidak memadai dan tidak memenuhi kebutuhan khusus mereka. Pengucilan ini juga dapat membuat perempuan enggan bersepeda dan membatasi mobilitas serta akses mereka terhadap berbagai peluang. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, penting untuk memprioritaskan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI), di seluruh proses perencanaan, desain, implementasi, pemantauan, dan evaluasi inisiatif bersepeda. Dengan melibatkan kelompok rentan, terutama perempuan, secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, kita dapat menciptakan komunitas pesepeda yang lebih inklusif yang mendobrak stereotip dan mendorong akses terhadap sumber daya dan peluang bagi semua. Tujuannya bukan untuk meniru pendekatan di Belanda dalam hal bersepeda, tetapi lebih kepada menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk bersepeda dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pengalaman unik penduduk Indonesia.
Karakteristik Perempuan Bersepeda di Indonesia
Tujuan Bersepeda
Untuk memahami kebutuhan perempuan saat bersepeda, pertama-tama penting untuk memahami pola bersepeda perempuan. Menurut survei yang dilakukan di Surabaya dengan 41 partisipan perempuan (ITDP, 2022), masalah kesehatan menjadi faktor yang paling menonjol yang mendorong perempuan untuk bersepeda. Faktor ini dipilih oleh pesepeda komuter, pesepeda pemula, dan pesepeda olahraga aktif. Hal ini dapat diartikan bahwa bersepeda masih digambarkan sebagai cara untuk membuat perempuan tetap aktif, tetapi beberapa orang memilih untuk menambahkan tujuan lain, seperti untuk bepergian. Selain itu, 37% responden perempuan juga menyatakan bahwa bersepeda itu hemat, sehingga mereka dapat menghemat uang untuk kebutuhan mobilitas. Salah satu responden menyatakan bahwa kenaikan biaya ojek online dan kerumitan dalam mendapatkan SIM telah mempengaruhinya untuk bersepeda ke kantor dan berolahraga setidaknya 2-3 kali dalam sebulan. Sentimen ini juga dapat dikaitkan dengan fakta bahwa perempuan memiliki akses yang lebih kecil terhadap kendaraan pribadi, sehingga bersepeda dapat menjadi solusi yang relatif terjangkau untuk mendukung mobilitas perempuan.
Karakteristik perjalanan
Dari segi jarak, survei tahun 2022 di Jakarta terhadap pesepeda perempuan menunjukkan bahwa 48% perjalanan responden terdiri dari perjalanan jarak dekat seperti pergi berbelanja, atau mencari jajanan di dekat rumah. Perjalanan bersepeda harian jarak dekat umumnya tidak lebih dari 5 km. Hal ini semakin menegaskan bahwa perilaku bersepeda perempuan jauh berbeda dengan laki-laki, dan infrastruktur bersepeda yang mendukung mobilitas perempuan harus mempertimbangkan perjalanan jarak dekat, atau dalam skala lingkungan sekitar, tidak hanya di jalan-jalan besar seperti Jalan Sudirman-Thamrin. Di sisi lain, perjalanan bersepeda jarak jauh sebagian besar dilakukan oleh para pesepeda kurir dan olahraga. Jarak yang ditempuh bisa berkisar antara 20 km hingga 70 km di akhir pekan, dan terkadang dilakukan di beberapa kota.
Dalam memilih rute, wanita cenderung memilih rute tergantung pada tingkat kepercayaan diri serta tujuan mereka bersepeda. Wanita yang bersepeda di jalan raya biasanya melakukannya karena mereka bersepeda untuk alasan olahraga, karena jalan raya yang lebar memungkinkan untuk melaju dengan lebih cepat. Para wanita ini juga cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi saat bersepeda, karena merasa nyaman bersepeda di jalan raya yang bercampur dengan mobil dan sepeda motor. Di sisi lain, jalan lokal biasanya digunakan oleh para wanita untuk perjalanan jarak dekat untuk kegiatan lokal seperti pergi berbelanja, ke ATM, atau untuk tujuan rekreasi. Meskipun demikian, sebagian besar pemula lebih suka memilih melewati jalan lokal daripada jalan utama karena lebih tenang dan tidak terlalu ramai sehingga bersepeda jauh lebih aman, meskipun mereka mengakui bahwa terkadang dibutuhkan pengenalan terhadap daerah setempat agar tidak tersesat dan bisa jadi tidak nyaman karena polisi tidur.
Jenis Sepeda
Survei ITDP di jalan Sudirman-Thamrin menunjukkan berbagai jenis sepeda yang digunakan oleh perempuan, di mana sepeda lipat adalah jenis sepeda yang paling dominan (37,5%). Sepeda lipat merupakan jenis sepeda yang paling umum digunakan untuk bepergian karena praktis dan fleksibel. Sebagai sepeda pendukung untuk perjalanan jarak dekat, sepeda lipat juga cocok untuk mix commuting karena mudah dimasukkan ke dalam armada transportasi publik seperti bus pengumpan menengah atau kereta komuter. Ketika tempat parkir sepeda tidak tersedia, pesepeda wanita dapat membawa sepeda lipat mereka ke dalam gedung yang mereka kunjungi (misalnya kantor). Sepeda lipat juga tersedia dalam berbagai ukuran ban; pesepeda pemula dapat memanfaatkan diameter ban yang lebih besar karena dapat membawa mereka lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Di sisi lain, sepeda non-lipat seperti sepeda jalan raya dan sepeda gunung lebih populer di kalangan pesepeda olahraga, termasuk mereka yang juga bersepeda untuk mobilitas sehari-hari.
Kebutuhan Pesepeda Perempuan di Indonesia
Akses ke Sepeda
Perempuan cenderung tidak memiliki kepemilikan sepeda, yang ditunjukkan dalam survei ITDP tahun 2022 mengenai evaluasi fasilitas bike sharing. Mereka cenderung meminjam sepeda dari teman dekat dan/atau kerabat. Tren ini serupa dengan fakta bahwa perempuan Indonesia juga memiliki akses yang lebih sedikit terhadap kendaraan pribadi secara umum, seperti mobil dan sepeda motor, yang lebih banyak terjadi pada rumah tangga berpenghasilan rendah di mana peran gender tradisional masih berlaku. Di sini, penyediaan fasilitas bike sharing dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin menggunakan sepeda sebagai alat transportasi namun tidak memiliki akses terhadap sepeda.
Infrastruktur Bersepeda
Perempuan yang memiliki akses terhadap sepeda mungkin masih belum merasa nyaman untuk bersepeda karena kurangnya infrastruktur bersepeda yang memadai untuk mendukung kebutuhan mobilitas mereka. Dari survei ITDP tahun 2021 tentang perempuan dan bersepeda, terungkap bahwa peningkatan infrastruktur bersepeda, seperti peningkatan ketersediaan jalur sepeda yang terproteksi, fasilitas parkir sepeda di ruang publik, serta tempat penyeberangan sepeda yang lebih aman merupakan tiga aspek yang paling penting bagi perempuan untuk memastikan lingkungan yang ramah bagi pesepeda. Hal ini didukung oleh survei ITDP pada tahun 2021 di Jalan Sudirman-Thamrin, yang menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menggunakan jalur sepeda pop-up daripada laki-laki, dan menganggap kecepatan mobil serta kurangnya prioritas bagi pesepeda di titik-titik konflik sebagai situasi yang paling berbahaya bagi pesepeda perempuan. Survei-survei ini menunjukkan bahwa perempuan sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka saat bersepeda, terutama karena mereka harus berinteraksi dengan pengendara kendaraan bermotor di sebagian besar perjalanan mereka, di mana jalur sepeda khusus perempuan dapat menjadi solusi untuk masalah ini.
Selain jalan yang lebih aman untuk bersepeda, penyediaan fasilitas bersepeda yang memungkinkan mix commuting juga dapat mendukung mobilitas perempuan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perempuan yang kurang berpengalaman dalam bersepeda lebih cenderung melakukan perjalanan jarak pendek. Dalam hal ini, perjalanan penuh ke tempat kerja mungkin mengintimidasi dan sebaliknya, memungkinkan bersepeda menjadi pilihan pertama dan terakhir mungkin merupakan pilihan yang lebih realistis. Untuk mendukung jenis mobilitas ini, penting bagi operator transportasi umum untuk mengizinkan sepeda di armada mereka dan memiliki infrastruktur pendukung yang tepat di stasiun dan armada mereka untuk sepeda.
Keselamatan dan Keamanan
Hambatan umum yang dialami pesepeda rekreasi atau olah raga ketika ingin beralih ke bersepeda untuk mobilitas sehari hari adalah rasa takut akan tindak kriminal seperti dirampok (begal) atau mengalami pelecehan/penyerangan seksual ketika bersepeda. Salah satu pesepeda wanita yang bersepeda untuk alasan olahraga menceritakan pengalamannya dirampok saat bersepeda dengan dua pesepeda lainnya di daerah pinggiran kota Tangerang Selatan. Kejadian-kejadian tersebut dapat menimbulkan rasa takut ketika harus bersepeda sendirian untuk mobilitas sehari-hari. Ketakutan akan pelecehan/penyerangan seksual disebutkan oleh banyak pesepeda perempuan, dengan salah satu pesepeda perempuan mengatakan bahwa ia merasa pelecehan seksual lebih merupakan ancaman dibandingkan dirampok. Sebagai reaksi terhadap rasa takut akan pelecehan seksual, para pesepeda menyebutkan bahwa mereka bersepeda dengan pasangannya agar merasa lebih aman dan waspada terhadap perilaku yang mencurigakan dari pengguna jalan lainnya, serta berhenti bersepeda selamanya karena trauma yang dialami. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan pengamat aktif dapat membantu perempuan yang mengalami pelecehan seksual berbagai pemangku kepentingan dapat meningkatkan kesadaran publik terkait masalah ini, selain itu juga dapat mempraktikkan pendekatan pengamat aktif, memperbaiki sistem pelaporan, dan meningkatkan fasilitas keselamatan seperti CCTV, penerangan, dan penambahan tombol panik.
Apa Selanjutnya?
Di Indonesia, perempuan telah menjadi bagian penting dari komunitas bersepeda, dengan berbagai faktor seperti untuk berhemat atau sekadar menikmat ruang terbuka di luar. Namun, untuk membuat bersepeda menjadi lebih inklusif, kita perlu mempertimbangkan kebutuhan khusus pesepeda perempuan. Keselamatan dan aksesibilitas adalah kuncinya, jadi kita harus berinvestasi pada jalur sepeda yang lebih baik dan melibatkan perempuan dalam perencanaan. Memahami pola mobilitas perempuan yang unik dan menerapkannya untuk mendukung perjalanan jarak pendek dan moda transportasi campuran juga sangat penting jika kita ingin melihat lebih banyak perempuan bersepeda. Terakhir, memastikan keamanan perempuan dengan secara aktif berlatih dan mengampanyekan untuk menjadi pengamat aktif dan memastikan fasilitas keamanan memungkinkan lebih banyak perempuan dapat bersepeda secara mandiri dan bebas.