April 05, 2024

Mewujudkan Jalan Perkotaan yang Adil

Oleh Rahmad Wandi Putra, Transport Associate II ITDP Indonesia

Pada Desember 2022, telah dibuka Simpang Susun Krukut, yang menghubungkan Jalan Tol Cinere – Jagorawi dan Jalan Tol Antasari – Depok1. Simpang Susun ini menciptakan alternatif baru bagi para komuter dari Depok dan Bogor menuju Jakarta untuk menghindari jalur macet di Jalan Tol Jagorawi di sepanjang Cibubur hingga Cawang. Koneksi baru ini diharapkan dapat membantu meningkatkan performa jaringan jalan Jabodetabek secara keseluruhan dan mengurangi waktu tempuh pada koridor Jakarta – Depok – Bogor.

Namun, setelah Simpang susun beroperasi, sejumlah pengemudi merasakan tidak terjadinya pengurangan waktu tempuh yang signifikan melalui jalur baru ini dibandingkan dengan perjalanan yang biasa dilakukan sebelumnya melalui Tol Jagorawi2,3. Selain itu, beberapa pengemudi yang sebelumnya telah menggunakan jalan Tol Antasari – Depok, kini menghadapi kemacetan4. Meskipun pemerintah telah memutuskan untuk mengubah sistem tol di Gerbang Tol Cilandak menjadi tol terbuka bagi pengendara yang akan menuju Antasari5, namun kemacetan lalu lintas tersebut masih belum dapat diatasi.

Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa para pengendara mobil tidak merasakan perbaikan waktu tempuh yang signifikan setelah jalur baru dibuka?

Pertanyaan di atas berkaitan erat dengan fenomena “Tragedy of The Commons”6. Pada prinsipnya, fenomena ini terjadi karena penggunaan sumber daya bersama yang dimanfaatkan secara berlebihan. Pada konteks transportasi, kita semua ingin pergi ke tempat yang kita tuju dengan cepat dan nyaman, dan bagi banyak dari kita, itu berarti menggunakan mobil atau sepeda motor. Namun ketika semua orang berpikir untuk melakukan hal yang sama, yaitu menggunakan kendaraan bermotor pribadi melalui jalan raya, tentunya akan menyebabkan kemacetan lalu lintas karena penggunaan jalan yang berlebihan. Hal ini secara langsung juga menyebabkan peningkatan polusi udara, peningkatan risiko kesehatan, dan keselamatan pengguna jalan.

Kemacetan lalu lintas sudah sering dianggap sebagai tambahan biaya perjalanan, khususnya terkait waktu tempuh dan konsumsi bahan bakar. Tetapi, umumnya dampak eksternal kemacetan berupa polusi dan risiko kesehatan belum diperhitungkan7 oleh masyarakat dan pemerintah, terutama kota-kota yang tidak menerapkan sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Konsekuensi “tersembunyi” dari kemacetan ini mungkin tidak dirasakan secara langsung oleh mereka yang mengemudikan kendaraan, namun justru oleh pengguna jalan lainnya – termasuk kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan masyarakat dengan daya ekonomi rendah yang sering terpapar polusi knalpot kendaraan bermotor di pinggir jalan. Studi terbaru8 menunjukkan polusi udara menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 pasien rawat inap, dan 7.000 anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahunnya di Jakarta, dengan biaya triliunan rupiah.

Menghitung Biaya Eksternal Menggunakan Road Pricing

Jadi, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya? Salah satu solusinya adalah dengan membuat kota lebih sadar akan biaya eksternal dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang berlebihan, seperti emisi dan risiko kesehatan. Di sinilah road pricing/jalan berbayar berperan. Sebagai salah satu contoh dari “kebijakan pendorong” atau “push policies” dalam strategi Transportation Demand Management (TDM), road pricing atau jalan berbayar adalah sebuah kebijakan ekonomi yang menambahkan biaya eksternal dari berkendara ke dalam biaya transportasi secara keseluruhan, sehingga menjadi pilihan yang kurang menarik. Tujuannya, memberikan insentif kepada pengendara kendaraan bermotor untuk memilih moda transportasi alternatif yang dapat mengurangi kemacetan dan polusi.

Pendekatan ini telah berhasil diterapkan di kota-kota seperti Singapura, Stockholm, Gothenburg, London, dan Milan. Dengan membebankan biaya kepada pengendara kendaraan bermotor untuk menggunakan jalan tertentu atau memasuki zona tertentu, mendorong mereka untuk berpikir dua kali apakah mereka benar-benar perlu menggunakan mobil dan motor atau tidak. Hal ini, dapat mengurangi jumlah kendaraan bermotor di jalan, mengurangi kemacetan, dan pada akhirnya, menghasilkan sistem transportasi yang lebih lancar dan lebih sehat untuk semua orang.

Tabel 1. Dampak kebijakan jalan berbayar di Singapura, London, Stockholm, Milan, dan Gothenburg

*ALS: Area Licensing Scheme, merupakan salah satu pendekatan pembatasan lalu lintas di wilayah pusat kota, kendaraan yang masuk ke daerah tersebut harus memiliki izin khusus dengan cara membayar sejumlah tarif ke pemerintah. ALS merupakan metode awal sebelum dimutakhirkan menjadi ERP di tahun 1998.

Walaupun telah ada manfaat nyata dari penerapan jalan berbayar di sejumlah kota, namun kebijakan jalan berbayar sering kali mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya pengguna mobil dan sepeda motor. Umumnya, penolakan ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan konsep biaya eksternal dan persepsi bahwa jalan adalah barang publik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Gu et. al. (2018) mengidentifikasi empat alasan utama adanya penolakan skema jalan berbayar oleh masyarakat9:

  1. Jalan berbayar secara langsung meningkatkan biaya transportasi bagi pengendara kendaraan bermotor
  2. Jalan berbayar dianggap sebagai bentuk diskriminasi sosial, karena membatasi akses ke area atau layanan tertentu berdasarkan kemampuan membayar sehingga lebih berdampak pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi
  3. Adanya kekhawatiran mengenai privasi pengguna dan sulitnya memahami skema tarif jalan berbayar yang ditetapkan 
  4. Ketidakpastian tentang bagaimana pendapatan dari jalan berbayar akan digunakan oleh pemerintah

Persepsi tentang Keadilan dan Kemauan Politik

Isu-isu di atas menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap skema jalan berbayar erat dengan persepsi tentang kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk meningkatkan penerimaan, penting memberikan pemahaman tentang manfaat jalan berbayar. Perencanaan jalan berbayar harus mempertimbangkan analisis dampak sosial-ekonomi. Idealnya, kebijakan jalan berbayar mengikuti pendekatan biaya sosial marjinal, namun penerapannya sulit karena kompleksitasnya. Karena itu, pendekatan lain yang tetap menjunjung prinsip keadilan tapi praktis umumnya digunakan. Proses politik juga memengaruhi pengembangan kebijakan jalan berbayar. Perencanaan harus menyelaraskan manfaat sosial dengan pertimbangan politis

Proses perencanaan jalan berbayar yang berkeadilan

Gambar 1. Proses berulang dalam perencanaan penetapan jalan berbayar

Langkah pertama adalah menetapkan tujuan konkrit dari kebijakan jalan berbayar. Diskusi antara pemangku kebijakan dan tim teknis perlu dilakukan untuk menentukan fokus utama, seperti mengatasi kemacetan atau polusi udara. Tim teknis harus menilai validitas isu-isu tersebut.

Selanjutnya, rancang skenario kebijakan jalan berbayar, termasuk lokasi, tarif, dan jenis kendaraan yang terkena biaya. Penentuan lokasi harus mempertimbangkan alternatif moda dan batas wilayah yang ada. Penetapan tarif juga harus optimal, contohnya besaran tarif jalan berbayar dibuat lebih tinggi dari tarif transportasi publik untuk mendorong peralihan moda.

Analisis dampak sosial-ekonomi penting dalam merancang kebijakan yang adil. Ini termasuk estimasi dampak lalu lintas, emisi gas rumah kaca, dan distribusi manfaat pada kelompok sosial-ekonomi yang beragam.

Setelah skenario yang sesuai telah diidentifikasi, pendapatan dari jalan berbayar harus dialokasikan kembali untuk peningkatan layanan transportasi publik. Dengan begitu, peningkatan aksesibilitas serta dukungan publik dapat diraih.

Jalan berbayar bukanlah solusi tunggal untuk masalah mobilitas perkotaan. Fokus pada keadilan dan kesetaraan disertai investasi terhadap transportasi publik berkualitas tinggi merupakan kunci kesuksesan kebijakan jalan berbayar.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend