June 03, 2024
Elektrifikasi, Momentum untuk Mereformasi Layanan Transportasi Publik Perkotaan
Oleh Rifqi Khoirul Anam, Transport Associate I ITDP Indonesia
Selama satu tahun ke belakang, kita disuguhi unggahan media sosial tentang kemacetan parah di beberapa ruas jalan di pagi hari. Tidak hanya di Jakarta, jalan umum di perbatasan Tangerang, Surabaya hingga Bandung dijejali motor dan mobil hingga mengalami kebuntuan lalu lintas berjam-jam. Bahkan pada tahun 2023 Kepala Dinas Perhubungan Jawa Barat A Koswara mengungkapkan, tingkat penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Bandung mencapai 87%! Belum lagi menurunnya kualitas udara di kota-kota di Indonesia di mana lagi-lagi kendaraan bermotor pribadi yang berkontribusi yang menyebabkan munculnya peningkatan penyakit ISPA pada anak-anak dan kelompok rentan lainnya di mana sektor transportasi turut andil menjadi salah satu penyebab utama buruknya kualitas udara.
Absennya Layanan Transportasi Publik Perkotaan
Fenomena di atas mungkin merupakan hal yang banyak dirasakan oleh kita, masyarakat perkotaan, saat ini: memilih menggunakan kendaraan pribadi berpolusi, karena tidak memiliki opsi untuk menggunakan transportasi publik yang cepat, nyaman, murah, serta nol emisi. Dari 44 wilayah perkotaan yang memiliki layanan transportasi publik, 19 di antaranya tidak lagi beroperasi sejak 2023. Kualitas layanan sistem angkutan umum massal yang saat ini masih beroperasi di 25 kota pun tidak terjamin, yang membuat jutaan penduduk di 25 kota tersebut bersedia menggunakan sistem angkutan umum massal yang telah disediakan. Dengan terbatasnya opsi mobilitas yang ramah lingkungan, dan tingkat penggunaan kendaraan pribadi serta kemacetan yang tinggi, 6 wilayah metropolitan di Indonesia ditaksir menelan kerugian hingga Rp77 triliun [1].
Dukungan Elektrifikasi Harusnya Dimulai dari Bus Listrik
Sejak 2019, pemerintah Indonesia fokus mempercepat adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk transportasi jalan, yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingginya emisi GRK dan polusi udara. Merespon hal tersebut, Kementerian Perhubungan menetapkan target ambisius untuk mengelektrifikasi 90% dan 100% angkutan umum massal perkotaan berturut-turut di 2030 dan 2040, serta elektrifikasi seluruh angkutan umum – termasuk angkutan kota – di 2045. Namun, target ini belum memiliki landasan hukum yang kuat, yang memberikan ketidakpastian tersedianya anggaran yang cukup untuk merealisasikan target tersebut. Selain angkutan umum, pemerintah Indonesia juga menargetkan adopsi 13 juta unit sepeda motor listrik dan 2 juta unit mobil listrik di 2030.
Saat ini, baru terdapat 124 bus listrik yang digunakan untuk transportasi publik perkotaan di 3 kota, hanya 0,80% dari target yang ditetapkan Kemenhub di 2030, mengindikasikan rendahnya adopsi KBLBB hingga saat ini. Adopsi KBLBB roda 2 dan roda 4 juga masih rendah dari target yang ditetapkan oleh pemerintah: per Oktober 2023, berturut-turut baru 0,58% dan 1,02% dari target yang ditetapkan untuk 2030.
Pemerintah Republik Indonesia menyediakan sejumlah insentif untuk menstimulasi penetrasi KBLBB. Insentif yang diberikan menyasar penyediaan KBLBB dari manufaktur (supply) maupun penggunaan KBLBB oleh pengguna kendaraan (demand). Ragam insentif yang diberikan pun bervariasi, baik untuk kendaraan roda 2, roda 4, maupun bus listrik. Salah satu bentuk insentif yang diberikan oleh pemerintah pusat sejak 2023 adalah insentif PPN untuk kendaraan roda 4 dan bus listrik, juga subsidi pembelian sepeda motor listrik sebesar Rp7 juta/unit di 2023 dan Rp10 juta/unit di 2024. Namun, besar anggaran yang diusulkan untuk insentif KBLBB masih sangat berfokus pada kendaraan roda 4 dan roda 2 pribadi, tidak ke bus listrik yang dapat digunakan untuk armada transportasi publik perkotaan.
Kita Butuh Lebih Banyak Bus (Listrik)
Salah satu hal yang harus dipastikan untuk menyediakan layanan transportasi publik perkotaan yang baik adalah ketersediaan armada transportasi publik yang cukup. Saat ini, rasio jumlah penduduk dan jumlah bus di kota-kota di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding kota global lainnya. Sejumlah kota besar seperti Singapura, Taipei, Seoul, London, New York, dan Shenzhen memiliki rasio antara populasi penduduk dan jumlah bus antara ~750 – 1.500. Sebagai sesama ibu kota dari negara berkembang, 1 unit bus di New Delhi melayani ~2.500 penduduk, hanya setengah dari Jakarta (~5.000). Bahkan, 1 unit bus di kota-kota Indonesia selain Jakarta melayani jumlah penduduk yang jauh lebih banyak. Rata-rata 1 unit bus di kota BTS Teman Bus melayani ~22.000 populasi penduduk, 4,5x lebih tinggi dari Jakarta.
Mode share transportasi publik pada kota-kota global tersebut juga tergolong tinggi, berkisar antara 22% – 60%, jauh di atas mode share transportasi publik di kota-kota besar di Indonesia, yang hanya berkisar 2-15% [2], termasuk Daerah Khusus Jakarta yang berada di angka 10,27% [3]. Di sisi lain, hampir seluruh koridor BTS Teman Bus di 10 kota belum memenuhi standar jumlah penumpang/bus/hari [4], mengindikasikan rendahnya utilisasi armada oleh penumpang.
Oleh karena itu, melalui studi “Peta Jalan dan Program Insentif Nasional untuk Elektrifikasi Transportasi Publik Perkotaan”, ITDP merekomendasikan bahwa elektrifikasi tidak hanya menjadi momentum untuk sekadar mengganti armada bus konvensional dengan bus listrik, namun juga secara gradual menambah armada transportasi publik perkotaan dengan armada nol emisi agar kebutuhan armada transportasi publik di waktu yang akan datang dapat terpenuhi.
Referensi:
- Kemacetan Menggila Bikin RI Rugi Triliunan, DKI Sampai Rp65 T (Oktober 2023).
- Country Climate and Development Report: Indonesia 2023. World Bank Group.
- Country Climate and Development Report: Indonesia 2023. World Bank Group.
Baca selengkapnya dokumen berjudul “Peta Jalan dan Program Insentif Nasional untuk Elektrifikasi Transportasi Publik Perkotaan Berbasis Jalan.”