March 12, 2025

Mengapa Komuter Bogor Memerlukan Trotoar dan Jalur Sepeda Berkualitas Tinggi?

Oleh Mega Primatama, Urban Planning Associate II ITDP Indonesia

Mendengar nama kota Bogor, suasana KRL yang penuh sesak langsung terlintas. Bagaimana tidak, pada tahun 2024, KRL melayani lebih dari 26 ribu komuter per hari dari Kota Bogor yang melakukan perjalanan dari dan menuju Jakarta untuk bekerja. Di Kota Bogor sendiri, sejak tahun 2022, komuter Bogor disambut dengan bus Trans Pakuan yang diluncurkan oleh Kementerian Perhubungan dan telah melayani lebih dari 10 ribu penumpang per hari. Ditambah bus antar kota dan angkot yang telah menjadi moda andalan warga. Namun, apakah layanan-layanan ini sudah dapat mengakomodasi kebutuhan mobilitas warga Bogor?  

Menjembatani Kesenjangan dalam Mengakses Sistem Transportasi Publik 

Dalam beberapa tahun ke belakang, sebagai kota penyangga, Kota Bogor telah melakukan beragam inisiatif untuk memberikan layanan transportasi publik bagi warganya. Seperti, layanan bus Trans Pakuan yang dikelola oleh Kementerian Perhubungan melalui program Buy the Service (BTS) yang disebut BisKita. BisKita telah melayani empat koridor utama dalam Kota Bogor. Dalam perjalanannya, 147 unit angkot eksisting dikonversi menjadi 49 unit bus BisKita untuk mengurangi jumlah angkot yang beroperasi. Selain layanan BTS, tersedia pula layanan Trans Pakuan Non-BTS yang dioperasikan oleh Perumda Trans Pakuan (BUMD transportasi Kota Bogor) yang melayani 1 koridor utama ke Kabupaten Bogor dan 2 koridor feeder LRT Jabodebek. Selain itu, dalam konteks layanan transportasi berbasis tenaga baterai, Kota Bogor juga sempat melaksanakan uji coba penyelenggaraan Angkot Listrik Bogor (Alibo) dengan skala kecil pada tahun 2024 silam. Dalam mengoptimalkan layanan pengumpan, Kota Bogor telah merencanakan optimalisasi angkot melalui rerouting ke kawasan yang belum terjangkau layanan transportasi publik serta pemutusan izin operasi armada angkot yang sudah uzur. 

Salah satu kunci utama untuk mencapai sistem transportasi perkotaan yang lebih berkelanjutan adalah memastikan bahwa masyarakat dapat mengakses transportasi publik, baik untuk perjalanan dalam kota maupun antar kota. Kemudahan akses mencapai stasiun transportasi publik adalah penentu utama yang memengaruhi masyarakat dalam memilih moda transportasi, namun tidak semua orang memiliki kemudahan yang sama dalam mengakses stasiun transportasi publik. Misal, harga ojek daring yang mulai tidak terjangkau. Karenanya, first mile last mile, harus menjadi perhatian utama ketika sebuah kota ingin membangun sistem transportasi publik.  Dengan pendekatan berkelanjutan, konektivitas first mile last mile bertujuan untuk memudahkan akses dari dan menuju transportasi publik dengan fasilitas pejalan kaki dan/atau jalur sepeda yang memadai dan berkualitas tinggi. 

Keberadaan konektivitas first/last mile yang ideal dapat meningkatkan efisiensi dan daya tarik layanan transportasi publik, terutama di kota-kota penyangga yang melayani wilayah perkotaan yang lebih besar. Tidak adanya infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda yang ideal dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, contohnya terbatasnya akses ke layanan utama seperti fasilitas publik, kondisi yang tidak aman bagi pengguna, penurunan penggunaan transportasi publik, serta dampak lain seperti kesenjangan ekonomi dan implikasi kesehatan. 

Mengapa Fasilitas Pejalan Kaki dan Pesepeda Penting Bagi Bogor? 

Sebagai salah satu wilayah metropolitan sekaligus pusat mobilitas komuter ke dan dari Jakarta, Bogor menghadapi berbagai permasalahan perkotaan, mulai dari kemacetan parah—bahkan sempat menjadi kota termacet ke-5 di Indonesia pada tahun 2017—hingga memburuknya kualitas udara yang salah satunya disebabkan oleh tingginya volume lalu lintas kendaraan. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Pusat menyusun strategi pengurangan kemacetan dan dampak polusi melalui Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Dalam rencana tersebut, Pemerintah Pusat menargetkan bahwa pada tahun 2029, 60% pergerakan masyarakat di wilayah Jabodetabek (modal share) akan menggunakan transportasi publik. 

Namun, meskipun berperan penting sebagai simpul transportasi dan menjadi kota prioritas dalam peningkatan transportasi publik, Bogor masih menghadapi berbagai kendala dalam penyediaan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda. Survei dan diskusi ITDP Indonesia bersama Pemerintah Kota Bogor, Bike to Work Indonesia, dan masyarakat setempat menemukan bahwa akses menuju transportasi publik belum inklusif dan ramah pejalan kaki, sementara fasilitas sepeda di sekitar stasiun masih minim. Hambatan lain, seperti okupansi PKL, parkir di trotoar, dan kendaraan di jalur sepeda, turut mengurangi kenyamanan dan keselamatan. Warga juga mengeluhkan sulitnya menyeberang dan minimnya penerangan, sementara terbatasnya jaringan infrastruktur sepeda membuat banyak pesepeda merasa tidak aman dan enggan bersepeda 

Pejalan kaki yang akan mengakses Kawasan Terminal Bubulak yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pejalan kaki

Menuju Sistem Mobilitas Terintegrasi di Kota Bogor 

Pemerintah Kota Bogor perlu mulai menyiapkan sistem mobilitas kota yang lebih terintegrasi. Hal ini sejalan dengan target nasional untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum sebesar 60% di wilayah Jabodetabek pada 2029, serta target elektrifikasi transportasi publik pada 2030. Untuk mendukung hal ini, Bogor perlu menetapkan target pengembangan infrastruktur bagi pejalan kaki dan pesepeda hingga tahun 2030.  

Perencanaan pengembangan infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda harus dilakukan secara bertahap dan menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi dan kebutuhan kota. Beberapa indikator yang bisa digunakan untuk menentukan jalan mana yang harus diprioritaskan adalah: 

  • Kebijakan regional, baik tingkatan kota, provinsi, maupun nasional 
  • Kondisi fasilitas pejalan kaki dan pesepeda saat ini 
  • Akses ke stasiun dan layanan transportasi publik 
  • Rencana jaringan fasilitas pesepeda 
  • Fungsi dan kewenangan jalan 
  • Keberadaan fasilitas umum (fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, taman) 
  • Masukan dari masyarakat 

Dari indikator ini, pemerintah bisa menyusun sistem penilaian untuk menentukan jalan-jalan kota yang paling perlu ditingkatkan terlebih dahulu. Indikator tersebut juga perlu disesuaikan dengan rencana pembangunan lain yang sedang berjalan, seperti transportasi massal dan kegiatan besar (misalnya kejuaraan olahraga atau konferensi internasional), agar infrastruktur yang dibangun bisa sekaligus mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan target waktu yang jelas, Pemerintah Kota Bogor dapat membuat peta jalan tahunan untuk membangun jaringan jalan ramah pejalan kaki dan pesepeda yang saling terhubung dan berkelanjutan. 

Berdasarkan rekomendasi dari ITDP Indonesia*, sistem penilaian ini akan diterapkan pada 30 ruas jalan prioritas yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bogor No. 6 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 2011–2031. Dari situ akan ditentukan jalan mana yang memiliki urgensi paling tinggi untuk ditingkatkan untuk kemudian dikelompokkan ke dalam paket pentahapan pembangunan per tahun. 

Pembangunan infrastruktur ini akan dimulai dari persiapan Pekan Olahraga Provinsi tahun 2026, terutama di sekitar Jalan Ahmad Yani yang dinilai sebagai prioritas tertinggi. Pada 2027, fokus diarahkan pada perbaikan akses di sekitar Stasiun Bogor dan memperluas jalur ramah pejalan kaki di sekitar Kebun Raya Bogor. 

Pada 2028, perbaikan akan dilanjutkan di ruas jalan yang dilalui Trans Pakuan untuk mengatasi kesenjangan akses menuju transportasi umum (first mile–last mile). Tahun 2029 fokusnya adalah pada jalan-jalan lingkar luar kota, dan di 2030 perbaikan akan diarahkan kembali ke pusat kota serta akses ke batas kota. 

Rekomendasi pentahapan pembangunan infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda Kota Bogor per tahun, 2026-2030

Pemerintah juga perlu menerapkan pendekatan desain jalan yang ramah lingkungan dan mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, serta transportasi publik. Desain ini mengikuti standar nasional dan mempertimbangkan tipe jalan yang berbeda-beda. 

Contoh Penataan Ruang Jalan: Jalan Raya Pajajaran (Segmen Simpang Cikuray – Simpang Lodaya)

Kondisi Saat Ini

  • Ruang pejalan kaki sudah tersedia tapi belum konsisten 
  • Lebar lajur kendaraan tidak merata, menimbulkan penumpukan kendaraan (bottleneck) 
  • Median sempit 
Usulan Perbaikan

  • Lebar lajur kendaraan disesuaikan agar lebih rapi 
  • Jalur sepeda ditambahkan di kedua sisi, dilengkapi pembatas 
  • Median diperlebar 
  • Ruang pejalan kaki dan jalur hijau tetap dipertahankan 

Selain itu, halte-halte bus Trans Pakuan juga perlu dibenahi agar lebih mudah diakses semua orang, termasuk penyandang disabilitas dan pengguna sepeda. Perbaikan ini mencakup identifikasi hambatan fisik di setiap halte dan menentukan solusi fisik yang ideal. 

Upaya peningkatan infrastruktur jalan, terutama di kawasan perkotaan, harus direncanakan dengan cermat dan menyeluruh. Instansi pemerintah sebagai pemangku kepentingan harus berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap rencana peningkatan yang ingin dilakukan. Selain itu, perspektif utama dalam peningkatan ruang jalan harus lebih berorientasi pada transportasi berkelanjutan. 


*ITDP Indonesia menyusun “Peta Jalan Peningkatan Infrastruktur Pejalan Kaki dan Pesepeda Kota Bogorsebagai panduan bagi Pemerintah Kota Bogor dan pemangku kepentingan lainnya dalam membangun fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang dapat mendukung aksesibilitas transportasi publik. Laporan ini didasarkan pada berbagai metode pengumpulan data, baik primer maupun sekunder, serta melibatkan pemerintah, komunitas, dan masyarakat Kota Bogor. Proses penyusunannya juga telah dikonfirmasi dengan Pemerintah Kota Bogor sebagai pemangku kepentingan utama. 

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP