July 03, 2025

Bagaimana Kabar Bus Listrik dalam Komitmen Elektrifikasi Nasional?

Oleh Rifqi Khoirul Anam, Transport Associate ITDP Indonesia

Enam tahun sudah Pemerintah Indonesia menetapkan komitmen nasional untuk mendorong Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2019 (yang diperbarui pada Perpres No. 79/2023). Sejak saat itu, bus listrik untuk transportasi publik mulai diadopsi kota-kota di Indonesia. Dimulai oleh Jakarta pada 20221, kota-kota lain seperti Medan, Surabaya dan Pekanbaru ikut mengambil langkah. Dalam rentang tersebut, ITDP Indonesia melihat langsung bagaimana kota-kota menavigasi tantangan teknis, regulasi, hingga pembiayaan. Meski menunjukkan perkembangan, jalan menuju elektrifikasi bus yang masif, efisien dan berkelanjutan masih panjang dan terjal 

Upaya Elektrifikasi Bus di Ragam Kota

Tiap kota di Indonesia memiliki karakteristik masing-masing. Jakarta dengan kapasitas fiskal besar dan otoritas transportasi publik dalam bentuk BUMD yang sudah mapan, dapat melangkah lebih cepat untuk elektrifikasi bus. Elektrifikasi bus Transjakarta dimulai sejak 2019, ketika dilakukan uji coba secara terbatas untuk sejumlah model bus listrik. Pada 2022, ITDP Indonesia mulai mendampingi Transjakarta dalam melakukan monitoring dan evaluasi bus listrik, memastikan performa dan pembelajaran pada awal operasional bus listrik terdokumentasi dengan baik. Pada tahun yang sama, dibantu oleh ITDP, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan target 100% elektrifikasi transportasi publik untuk tercapai di 2030, melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1053/2022. Pada 2024, besar Biaya Operasional Kendaraan (BOK)/km bus listrik pada layanan Transjakarta sudah 5% lebih rendah dari BOK/km bus konvensional, selaras dengan estimasi pada studi ITDP di 2022. Dengan besar subsidi yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpotensi mengoperasikan lebih banyak bus, menjangkau lebih banyak penduduk. 

Selain Jakarta, Medan dan Surabaya juga mengoperasikan bus listrik dalam jumlah yang tidak sedikit. Sejak 2024, Kota Medan telah mengimplementasikan 60 unit bus listrik sebagai bagian dari BRT TransMebidang. Pada tahun yang sama, Kota Surabaya telah mengoperasikan 12 unit bus listrik, setelah sebelumnya mengoperasikan 14 unit bus listrik yang digunakan untuk perhelatan KTT G20. Beberapa kota seperti Yogyakarta dan Semarang telah mengoperasikan dua unit bus listrik 

Bus listrik yang telah beroperasi di Medan dan Surabaya

Meski terlihat ada upaya agresif dalam transisi bus listrik seperti terlihat di Transjakarta yang cukup masif dan beberapa kota lainnya, sebagian besar kota-kota lain di Indonesia masih harus berjibaku dalam mengimplementasikan bus listrik. Mulai dari keterbatasan fiskal, institusi otoritas transportasi publik dan operator yang belum stabil, hingga inkonsistensi target di tingkat nasional. Hal ini menyebabkan manfaat elektrifikasi transportasi publik yang dirasakan oleh DKI Jakarta belum tentu dirasakan oleh daerah lainnya. 

Pembelajaran dari Tiga Kota  

Pembelajaran implementasi bus listrik di Indonesia semakin beragam dengan dirampungkannya studi “Strategi Reformasi dan Peta Jalan Elektrifikasi Transportasi Publik” yang dilakukan oleh ITDP di tiga kota sekaligus: Kota Surabaya, Surakarta, dan Pekanbaru. Studi tersebut menyoroti elektrifikasi bus bukan hanya sekadar teknologi baru, namun juga instrumen untuk mereformasi layanan transportasi publik perkotaan, meliputi:  

  • Penambahan armada secara bertahap untuk meningkatkan cakupan rute dan meningkatkan kualitas layanan melalui pemenuhan jarak waktu antar kendaraan (headway) sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM); 
  • Perlunya eksplorasi model kontrak untuk mendapatkan model yang tidak terlalu membebani fiskal pemerintah, namun tetap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas layanan dan sesuai dengan karakteristik masing-masing kota; serta 
  • Perlunya strategi dengan pendekatan inklusif untuk meningkatkan infrastruktur agar mempermudah pengguna dalam mengakses bus listrik  untuk memaksimalkan dampak elektrifikasi.  

Dengan mempertimbangkan karakteristik kota, ITDP Indonesia juga merekomendasikan peta jalan elektrifikasi bus yang dapat dimulai dari Mobil Penumpang Umum (MPU, kadang disebut sebagai angkutan pengumpan feeder) karena kebutuhan biaya yang lebih rendah dan potensinya dalam meningkatkan cakupan layanan transportasi publik. Sejalan dengan rekomendasi tersebut, Kota Pekanbaru resmi meluncurkan layanan feeder berbasis listrik pada Juni 2025, menjadikannya kota pertama yang mengoperasikan feeder berbasis listrik, yang tidak berhenti di fase uji coba.  

Feeder berbasis listrik yang diluncurkan oleh Kota Pekanbaru pada Juni 2025

Studi tersebut juga menemukan bahwa kebutuhan penggunaan bus listrik yang dikombinasikan dengan perubahan model kontrak, berpotensi menekan kebutuhan subsidi per bus hingga 29% untuk angkutan feeder di Surakarta, serupa dengan temuan ITDP pada studi elektrifikasi Transjakarta pada 2022. Ini menunjukkan bahwa  penambahan armada bus untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi publik juga dapat dilakukan oleh kota-kota lain di Indonesia. Meski kebutuhan biaya di awal masih jauh lebih tinggi untuk mengadopsi bus listrik, pengurangan biaya operasional dan perawatan bus listrik jauh lebih murah dari bus konvensional berbahan bakar diesel, bensin atau gas. 

Tantangan Menuju Skala Nasional  

Pada 2019, ITDP Indonesia menyusun dan mempublikasikan pedoman reformasi kelembagaan transportasi publik yang menjadi dasar dalam penyusunan “Pedoman Perencanaan Bus Listrik untuk Transportasi Publik Perkotaan”. Selama lima tahun terakhir, ITDP telah menyusun studi dan mendampingi delapan kota, termasuk pemerintah nasional, untuk transisi menuju bus listrik yang dijewantahkan dalam dalam “Pedoman Perencanaan Bus Listrik untuk Transportasi Publik Perkotaan”. Dari studi ini, kami belajar bahwa: 

  • Tantangan tiap kota berbeda, maka pendekatannya pun harus sesuai dengan kondisi masing-masing kota. 
  • Tanpa target nasional yang mengikat, insentif yang cukup, dan panduan yang jelas, perluasan adopsi (scaling-up) bus listrik akan sulit tercapai. 

Dari hasil studi, kota-kota membutuhkan panduan untuk mengelektrifikasi transportasi publiknya. Tidak hanya panduan pemilihan teknologi, seperti spesifikasi bus listrik atau panduan strategi pengisian daya, namun juga panduan penentuan kesiapan kota untuk mengelektrifikasi transportasi publiknya hingga pemilihan model kontrak dan model bisnis agar bus listrik tidak berhenti hanya di tahap uji coba. 

Dalam enam tahun terakhir, pilihan model bus listrik untuk kota-kota semakin beragam. Jika hingga 2020 baru ada kurang dari lima model yang diuji coba, sejak 2022 sejumlah karoseri lokal mulai memproduksi bus listrik CKD2 hasil kolaborasi dengan produsen global. Pada 2024, Transjakarta sudah mengoperasikan bus listrik dengan TKDN3 di atas 40% dan menguji lebih dari 20 model, termasuk bus besar dan medium. Surabaya juga telah mulai mengoperasikan bus listrik medium secara reguler. Meski pilihan model makin banyak, sebagian besar masih sebatas uji coba dalam skala kecil. Produksi massal belum terwujud karena belum ada kepastian permintaan, utamanya dari sektor transportasi publik, sehingga swasta masih ragu untuk melangkah lebih jauh.  

Bus listrik CKD di layanan Transjakarta (BYD-Laksana) yang diluncurkan pada Desember 2024

Lebih lanjut, elektrifikasi transportasi publik tidak bisa hanya menyasar layanan yang dikelola pemerintah. Angkutan kota dan layanan semiformal lainnya—yang mayoritas dikelola oleh koperasi atau perseorangan—adalah tulang punggung mobilitas di banyak kota. Tanpa menyertakan segmen ini, upaya menurunkan emisi sektor transportasi akan sulit tercapai. 

Dari beragam tantangan yang dihadapi kota dan swasta, terdapat satu elemen paling krusial: komitmen berbasis hukum yang kuat di tingkat nasional.  

Pemerintah nasional sudah memasukkan elektrifikasi bus dalam rencana-rencana strategis nasional seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menyebutkan bahwa 10% angkutan umum perkotaan harus menggunakan bus listrik pada 2025.  Kementerian Perhubungan juga menargetkan 90% elektrifikasi angkutan umum massal perkotaan tercapai di 2030, 100% tercapai di 2040, serta mencakup Mobil Penumpang Umum (MPU)—umumnya untuk layanan feeder atau pengumpan—tercapai di 2045. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa target-target ini nyaris mustahil tercapai karena belum memiliki kerangka regulasi yang jelas. Saat ini, hanya 376 unit bus listrik yang beroperasi di lima kota di Indonesia.  

Lebih jauh lagi, sampai hari ini, penggunaan bus listrik untuk transportasi publik perkotaan belum secara eksplisit masuk dalam strategi aksi nasional mitigasi emisi subsektor transportasi, termasuk dalam NDC (Nationally Determined Contribution). Padahal, melalui studi “Peta Jalan Elektrifikasi Transportasi Publik Perkotaan di Tingkat Nasional” yang disusun oleh ITDP dan didukung oleh ViriyaENB menunjukkan elektrifikasi 100% transportasi publik di 11 kota dapat menurunkan emisi GRK hingga 24% pada 2030, setara sekitar 900.000 ton CO₂ atau seperti menanam 3,6 juta pohon yang tumbuh selama 10 tahun. 

Peran pemerintah nasional sangat vital, dari menetapkan target yang jelas, konsisten, dan memberi insentif fiskal maupun nonfiskal bagi operator, manufaktur, dan pemerintah daerah agar bus listrik menjadi solusi mobilitas emisi nol bersih yang dapat diadopsi secara masif dan dapat direplikasi. Tanpa itu, program bus listrik hanya akan menjadi program FOMO (Fear of Missing Out) yang mahal dan tidak berkelanjutan, apalagi kebanyakan penumpang lebih mementingkan layanan transportasi publik yang baik, terlepas dari teknologi armada yang digunakan. 


1 Transjakarta memulai uji coba terbatas sejumlah model bus listrik sejak 2019, namun implementasi secara reguler dimulai pada 2022.

2 CKD (Completely Knocked Down) adalah metode produksi di mana kendaraan dikirim dalam bentuk komponen terpisah untuk dirakit di dalam negeri. Skema ini umum digunakan untuk meningkatkan kandungan lokal dan menekan biaya impor.

3 TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) adalah persentase nilai komponen produksi barang dan jasa yang berasal dari dalam negeri. TKDN digunakan sebagai indikator tingkat lokalitas produksi sesuai kebijakan pemerintah Indonesia. Untuk kendaraan listrik, TKDN ≥ 40% menjadi syarat untuk mendapatkan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), sehingga harga bus listrik menjadi lebih kompetitif.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend