August 07, 2025
Anak-Anak dan Kota yang Tak Memihak
Oleh Alfisahr Ferdian, Transport & Informal Public Transport Associate ITDP Indonesia

Anak–anak adalah bagian dari masyarakat kota yang masih belum terpenuhi haknya atas mobilitas aman dan nyaman di kota. Minimnya sistem mobilitas perkotaan yang inklusif dan terintegrasi menyebabkan anak-anak dan orang tua bergantung sepenuhnya pada kendaraan bermotor pribadi, yang menambah polusi serta kemacetan. Dan lagi-lagi anak yang menjadi korban. Di Jakarta, polusi udara berdampak pada lebih dari 7.000 kasus penyakit kardiorespirasi anak tiap tahun1, sementara kecelakaan lalu lintas pada 2023 didominasi pelajar SMA dengan 113 ribu kasus2.
Sebagai bapak satu anak yang saat ini bersiap masuk ke jenjang sekolah, harapan untuk anak saya dapat bepergian mandiri tentu ada, tidak hanya melatih rasa tanggung jawab namun juga kemandirian. Namun, infrastruktur yang belum aman dan sistem mobilitas perkotaan yang belum inklusif menimbulkan kekhawatiran. Dalam kondisi ini, sulit bagi orang tua untuk memberikan kepercayaan penuh pada sistem transportasi publik, karena rasa aman dibutuhkan bukan hanya oleh anak, tetapi juga oleh orang tua sebagai bagian dari proses tumbuh kembang anak.
Di negara lain, anak-anak bepergian ke sekolah menggunakan transportasi publik adalah praktik yang lumrah. Misalnya di Jepang, anak-anak terbiasa menggunakan kereta dan bus ke sekolah sejak usia dini. Mereka diajarkan navigasi kota secara mandiri dan sistem transportasi didesain spesifik sehingga sangat aman, tepat waktu, dan ramah anak. Sementara itu, di Belanda, 75% anak pergi ke sekolah dengan bersepeda atau berjalan kaki. Hal ini dimungkinkan berkat infrastruktur jalur sepeda yang luas, aman, dan terhubung langsung ke area permukiman dan sekolah.

Kebalikan dengan yang terjadi di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Data BPS di tahun 2024, menunjukkan bahwa hanya 7,77% siswa di Indonesia yang menggunakan transportasi publik untuk ke sekolah, turun tajam dari 16,16% pada 2012. Sementara itu, penggunaan kendaraan pribadi melonjak menjadi 63%, naik lebih dari dua kali lipat dari 29,39% pada 2012. Tren ini menjadi indikasi bahwa anak-anak dan pelajar semakin terdorong menjauh dari moda transportasi publik, dan lebih bergantung pada antar-jemput oleh orang tua atau kendaraan bermotor pribadi, termasuk sepeda motor.
Tren penggunaan transportasi publik yang semakin ditinggalkan ini menimbulkan berbagai konsekuensi, di antaranya adalah semakin parahnya kemacetan lalu lintas, meningkatnya polusi udara, dan risiko kecelakaan lalu lintas. Data dari Korlantas Polri menyebutkan bahwa pelajar SMA merupakan penyumbang kecelakaan terbesar, dengan jumlah kasus kecelakaan 96 ribu di tahun 2022, dan meningkat 17,7% menjadi 113 ribu kecelakaan di tahun 2023. Terdapat beberapa penyebab rendahnya penggunaan transportasi publik oleh anak-anak di kawasan Jabodetabek, di antaranya:
- Kurangnya layanan transportasi publik yang menjangkau sekolah dan kawasan hunian. Menurut data BPS 2023, hanya 12% sekolah di Indonesia yang terlayani oleh transportasi publik berbasis rute tetap. Rendahnya cakupan layanan transportasi publik ini menjadi tantangan utama terutama pada daerah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang merupakan daerah padat penduduk namun belum terlayani transportasi publik secara optimal. Layanan Transjabodetabek seharusnya dapat menjadi moda yang dapat digunakan pelajar antar wilayah, namun hingga kini masih belum terintegrasi dengan lingkungan sekolah.
- Terbatasnya pilihan moda yang dapat digunakan di pagi hari. Pilihan moda transportasi pada pagi hari masih terbatas. Beberapa layanan transportasi publik, terutama angkot baru mulai beroperasi setelah pukul 06.00, sementara pelajar di Jakarta umumnya harus tiba di sekolah pukul 06.30. Data Kementerian Perhubungan tahun 2021 menunjukkan bahwa angkutan umum yang beroperasi sebelum pukul 06.00 hanya sekitar 65 persen.
- Fasilitas transportasi publik tidak ramah bagi anak. Anak-anak, khususnya pelajar, sering kali tidak mendapatkan prioritas tempat duduk dalam transportasi publik. Bahkan pada layanan semi formal seperti angkot atau bus kecil, mereka kerap diabaikan oleh pengemudi karena dianggap bukan pengguna yang menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan keringanan tarif bagi pelajar yang belum sepenuhnya didukung oleh pemerintah melalui subsidi, seperti skema Public Service Obligation (PSO), yang bertujuan menutupi beban biaya operasional bagi operator
- Infrastruktur jalan di sekitar sekolah yang tidak aman. Data Kementerian PUPR mencatat bahwa hanya 18% jalan di sekitar sekolah yang memiliki fasilitas trotoar atau halte yang memadai. Hal ini mengakibatkan kegiatan aktivitas berjalan kaki atau menunggu menjadi tidak nyaman dan membahayakan.
- Kepercayaan orang tua terhadap sistem transportasi publik rendah. Banyak orang tua merasa lebih aman mengantar anaknya sendiri karena kekhawatiran terhadap keselamatan dan ketepatan waktu. Penelitian menunjukkan bahwa persepsi orang tua di Indonesia terhadap kondisi keamanan menuju halte atau stasiun, serta buruknya infrastruktur pejalan kaki, menjadi hambatan utama dalam mendorong anak menggunakan transportasi publik ke sekolah.
Meski dihadapkan dengan tantangan besar, sejumlah Pemerintah Daerah, khususnya di wilayah Jabodetabek, memulai beberapa inisiatif. Contohnya DKI Jakarta, layanan bus sekolah gratis yang dikomandoi oleh Dinas Perhubungan telah mengoperasikan 31 rute reguler dan 15 rute zonasi, termasuk di antaranya layanan bus sekolah disabilitas. Bus ini dilengkapi dengan fasilitas AC, CCTV, Wi-Fi dan kursi disabilitas. Kota Bogor dan Tangerang Selatan juga menyediakan bus sekolah gratis, sementara Kabupaten Bekasi mulai mengoperasikan layanan serupa di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kota.
Sementara itu dari sisi operator transportasi publik utamanya di DKI Jakarta, melakukan beberapa program edukasi seperti Goes to school oleh MRT Jakarta, Edu-wisata oleh LRT Jakarta, dan Field Trip oleh Transjakarta.
Lalu, bagaimana agar sistem transportasi publik dapat menjadi solusi kebutuhan mobilitas anak?
- Perluasan jangkauan layanan dan jam operasional transportasi publik hingga ke lingkungan perumahan dan sekolah.
- Desain armada transportasi publik dan halte yang ramah anak. Contohnya seperti akses pegangan tangan (hand grip) yang dapat dijangkau anak, serta penempatan dan ukuran informasi visual yang mudah dibaca oleh anak.
- Pembangunan infrastruktur aman untuk pejalan kaki dan pesepeda anak.
- Integrasi tarif dan layanan antar moda transportasi di lingkup wilayah aglomerasi, termasuk pemberlakuan skema tarif konsesi khusus bagi anak.
Layanan Transjabodetabek memiliki potensi besar untuk menjadi solusi mobilitas pelajar lintas kota di kawasan aglomerasi. Namun, layanan ini perlu diformulasikan ulang agar lebih ramah anak; baik dari segi fasilitas, jadwal, rute, maupun insentif tarif bagi anak. Masa depan mobilitas Jabodetabek bukan hanya soal kemajuan teknologi atau efisiensi, tetapi juga soal inklusivitas dan keberpihakan terhadap kelompok rentan, termasuk anak-anak. Dengan menciptakan sistem transportasi publik yang aman, nyaman, dan ramah anak, kita tidak hanya mengurangi kemacetan dan polusi, tetapi juga menanamkan budaya mobilitas berkelanjutan sejak dini.
1 Syuhada, G., Akbar, A., Hardiawan, D., Pun, V., Darmawan, A., Heryati, S. H. A., Siregar, A. Y. M., Kusuma, R. R., Driejana, R., Ingole, V., Kass, D., & Mehta, S. (2023). Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta, Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(4), 2916. https://doi.org/10.3390/ijerph20042916
2 Muhammad, D. A., Maulana, A. (2025, Januari 19). Pelajar SMA Penyumbang Kecelakaan Terbanyak Sepanjang 2023. Kompas. Diakses dari https://otomotif.kompas.com/read/2024/01/19/193100615/pelajar-sma-penyumbang-kecelakaan-terbanyak-sepanjang-2023