September 03, 2025
Belum Merdeka Bermobilitas: Transportasi Berkelanjutan Masih di Luar Jangkauan
Oleh Mizandaru Wicaksono, Urban Mobility Manager ITDP Indonesia

Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaannya yang ke-80 tahun. Di usia yang tidak lagi muda, Indonesia telah berkembang menjadi salah satu negara dengan tingkat ekonomi terbesar di dunia. Selain tergabung sebagai anggota tetap forum G20, Indonesia merupakan negara dengan PDB per kapita terbesar ke-7 di dunia jika menggunakan metode Purchasing Power Parity (PPP), mengalahkan Prancis dan Inggris. Meskipun begitu, ternyata Indonesia masih belum mampu memerdekakan masyarakatnya dari kebutuhan akan kendaraan bermotor pribadi.
Faktanya, tingkat kepemilikan kendaraan bermotor pribadi di Indonesia sangat tinggi. Di Jakarta, sebagai wilayah perkotaan yang menjadi pusat ekonomi Indonesia, tingkat kepemilikan kendaraan pribadi mencapai 1.077 kendaraan per 1.000 penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kota global lainnya, seperti Singapura (133 kendaraan per 1.000 penduduk1) dan New York (235 kendaraan per 1.000 penduduk2). Tidak hanya di kota besar, tingkat kepemilikan kendaraan pribadi yang tinggi juga terjadi di kota menengah-kecil seperti Surakarta, yaitu sebesar 771 kendaraan per 1.000 penduduk. Tingginya tingkat kepemilikan kendaraan pribadi di Indonesia ini mencerminkan ketergantungan masyarakat pada sepeda motor atau mobil pribadi untuk bermobilitas sehari-hari.
Salah satu alasan ketergantungan akan kendaraan bermotor pribadi ini adalah belum tersedianya transportasi publik yang dapat diandalkan masyarakat. Dari 98 kota di Indonesia, baru 25 kota yang saat ini telah mengoperasikan sistem transportasi publik massal. Tidak hanya itu, cakupan maupun kualitas layanan transportasi publik di kota-kota tersebut pun secara umum masih belum ideal.

Pekanbaru misalnya, salah satu kota dengan komitmen kuat untuk mengembangkan transportasi publik. Pemerintah Kota Pekanbaru telah mengoperasikan Trans Metro Pekanbaru secara mandiri selama 16 tahun terakhir. Meskipun telah memiliki sistem transportasi publik, mode share transportasi publik di Kota Pekanbaru diperkirakan masih di bawah 3% pada tahun 2021. Salah satu penyebabnya adalah cakupan layanan yang masih terbatas, yang baru mencakup 16% dari keseluruhan luas wilayah Kota Pekanbaru.
Lain halnya dengan Jakarta. Berbagai macam transportasi publik telah tersedia di Jakarta, antara lain TJ, MRT, LRT, dan KRL. Cakupan layanan transportasi publik di Jakarta pun sudah cukup tinggi, terjangkau dalam radius 500 meter oleh 85% penduduk Jakarta3. Akan tetapi, baru 11% masyarakat Jakarta menggunakan transportasi publik untuk bermobilitas harian4. Hasil survei ITDP di tahun 2023 menunjukkan alasan utama masyarakat Jakarta dan kota sekitarnya belum mau menggunakan transportasi publik adalah karena kondisi transportasi publik yang masih kurang nyaman akibat penuh sesak dengan penumpang, terutama di jam sibuk.
Bukan hanya terbatasnya ketersediaan transportasi publik yang andal dan nyaman, ketergantungan terhadap kendaraan pribadi juga terjadi karena belum tersedianya infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda yang aman dan inklusif di kebanyakan kota di Indonesia. Tidak jarang masyarakat perlu berbagi jalan dengan kendaraan bermotor untuk berjalan kaki maupun bersepeda. Padahal, berjalan kaki dan bersepeda seharusnya bisa menjadi moda andalan masyarakat untuk perjalanan jarak dekat (di bawah 500 meter) dan menengah (hingga 5 kilometer). Selain trotoar dan jalur sepeda, fasilitas penyeberangan yang aman dan inklusif juga merupakan bagian penting dari jaringan infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda yang sering kali luput dari perhatian pemangku kepentingan.
Lalu bagaimana kota dapat menyediakan transportasi publik dan infrastruktur transportasi tidak bermotor yang baik?
Perkembangan teknologi telah membuka peluang baru dalam penyediaan fasilitas transportasi berkelanjutan. Dalam penyediaan transportasi publik, eksplorasi model kontrak selain Buy-the-Service (atau pembelian layanan) berpeluang menurunkan kebutuhan anggaran hingga 24%. Selain itu, penggunaan bus listrik juga diperkirakan dapat mengurangi biaya operasional tambahan sebesar 5%. Dalam penyediaan infrastruktur transportasi tidak bermotor, penyediaan pelican crossing selain lebih inklusif juga berpotensi mengurangi kebutuhan biaya jika dibandingkan dengan penyediaan JPO. Selain itu, penyediaan trotoar dan jalur sepeda juga perlu dimulai dari wilayah prioritas, yaitu wilayah yang terkoneksi dengan transportasi publik dan fasilitas umum lainnya.
Kemerdekaan seharusnya tidak hanya tentang penjajahan, tapi juga tentang tersedianya pilihan. Peningkatan kualitas ekonomi Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperkaya pilihan bermobilitas yang berkelanjutan dan inklusif bagi masyarakat Indonesia. Saat masyarakat Indonesia memiliki pilihan untuk menggunakan transportasi publik yang andal, berjalan kaki dengan nyaman, bersepeda dengan aman, atau bahkan tinggal dekat dengan tempat bekerja, barulah Indonesia dikatakan merdeka bermobilitas, yaitu merdeka dari kebutuhan akan kendaraan bermotor pribadi.