October 07, 2025

Cerita di Balik Jejak Paketmu

Oleh Anggie Aulia Hapsari, Program Development Associate ITDP Indonesia 

Bagaimana biasanya Anda berbelanja di era sekarang? Cukup buka aplikasi di telepon genggam, pilih produk, lalu tunggu sebentar. Dalam hitungan jam atau hari, terdengar ketukan di pintu rumah dan suara riang kurir, “PAKET…!” Benar, semudah itu kini berbelanja daring. Namun, di balik semua kemudahan ini ternyata mengandung biaya-biayayang luput dari perhatian kita  

Mari kita mulai dengan merunut bagaimana paket-paket yang sampai di depan pintu kita dikirimkan 

Dalam prosesnya, tahap yang paling menantang dikenal sebagai Last-Mile Delivery (LMD), yaitu perjalanan terakhir dari hub distribusi menuju alamat konsumen. Meskipun jarak pengantarannya relatif pendek dibandingkan dengan First-Mile dan Mid-Mile, tahap ini justru merupakan tahap yang paling mahal dan kompleks, di mana 53% dari total biaya logistik dihabiskan hanya untuk LMD. Alasannya, kurir harus mendistribusikan ribuan paket ke berbagai lokasi berbeda dengan tenggat waktu yang ketat. 

Di Indonesia, seorang kurir dapat menempuh 60-80 kilometer per hari hanya untuk pengantaran terakhir, sering kali sambil menghadapi kemacetan, paparan polusi udara di kota besar, serta tuntutan layanan instan atau kilat yang semakin populer di kalangan konsumen perkotaan.  

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, perusahaan logistik atau pengiriman biasanya menggunakan dua sistem penyediaan tenaga kerja. Pertama, kurir berstatus karyawan tetap dengan kendaraan pengantaran yang difasilitasi oleh perusahaan, di mana sebagian besar biaya dan risiko operasional biasanya ditanggung oleh perusahaan. Kedua, kurir yang menggunakan kendaraan milik pribadi dengan skema kemitraan.  

Di Indonesia, sistem kedua atau yang biasanya disebut gig economy umumnya diterapkan oleh banyak perusahaan pengiriman dan platform digital. Dalam praktiknya, sistem ini memunculkan masalah ketenagakerjaan karena kurir harus menanggung hampir seluruh biaya operasional seperti bahan bakar, perawatan, hingga risiko kecelakaan di jalan. Kurir juga rentan terhadap ketidakpastian upah dan aturan algoritma platform digital yang kerap berubah.   

Logistik Perkotaan dan Ketergantungan pada Sepeda Motor 

Tentunya, kendaraan yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan di atas adalah sepeda motor dengan segala kepraktisannya. Sepeda motor menjadi tulang punggung layanan LMD di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sekitar 60% armada pengantaran menggunakan sepeda motor karena dianggap paling ideal, gesit, murah, dan mampu menjangkau jalan-jalan sempit di kawasan padat. Sepeda motor memungkinkan kurir mengantarkan lebih banyak paket dalam waktu singkat, sehingga menjadi solusi praktis dalam industri logistik. 

Namun, dominasi sepeda motor berbahan bakar fosil juga membawa konsekuensi lingkungan yang serius. Di Jakarta misalnya, studi oleh Systemiq1 (2025) mencatat bahwa sektor transportasi merupakan kontributor terbesar polusi udara. Pada tahun 2023, sepeda motor mendominasi 75% dari jumlah kendaraan dengan total emisi karbon mencapai 42,72 juta kg CO2e (Indef, 2023)2.  Jika dikalikan dengan jutaan pengiriman harian menggunakan sepeda motor di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, dan Makassar, kontribusi sektor LMD ini terhadap polusi udara dan emisi karbon menjadi sangat signifikan. 

Artinya, meskipun sepeda motor menjadi solusi efisiensi dalam logistik, setiap pengiriman paket turut menambah beban lingkungan, yaitu penurunan kualitas udara, pemanasan global, dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. 

Inovasi Hijau di Industri Logistik 

Saat ini, sejumlah perusahaan logistik di Indonesia mulai menunjukkan komitmen akan dampak lingkungan melalui laporan keberlanjutan atau Environmental, Social, and Governance (ESG), yang termasuk target pengurangan emisi, serta mendorong berbagai inisiatif untuk menjadikan LMD lebih bersih dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang mulai diimplementasikan antara lain: 

  • Elektrifikasi armada: penggunaan motor listrik atau kendaraan listrik ringan untuk pengantaran barang. 
  • Pengiriman berbasis sepeda, khusus untuk area padat dengan jarak pendek. 
  • Parcel lockers dan pick-up points untuk mengurangi kebutuhan pengantaran satu per satu ke rumah. 
  • Optimalisasi rute dengan teknologi digital sehingga perjalanan kurir lebih efisien dan mengurangi konsumsi bahan bakar. 

Namun, transisi menuju LMD yang rendah emisi ini tidak mudah. Banyak perusahaan yang sudah melakukan uji coba pengantaran barang menggunakan motor listrik atau sepeda kargo, tetapi kesulitan untuk melanjutkan atau berhenti di tengah jalan karena masalah biaya, durabilitas baterai, infrastruktur pengisian daya yang terbatas, serta kapasitas angkut yang terbatas. Selain itu, mayoritas kendaraan pengantaran dimiliki oleh kurir, sehingga skema insentif seperti pinjaman, sewa harian, maupun subsidi pemerintah (seperti subsidi Rp 7 juta untuk pembelian motor listrik baru) belum cukup membuat inisiatif ini berkelanjutan. 

Kebijakan dan Insentif: Kunci Akselerasi Logistik Hijau 

Transisi menuju logistik hijau akan berjalan lebih cepat dengan dukungan regulasi dan insentif yang jelas. Salah satu contohnya di Eropa, yang melalui Clean Vehicles Directive3, mewajibkan pengadaan publik menggunakan kendaraan rendah emisi, termasuk untuk layanan pengiriman (pos dan parsel). Aturan ini menjadi kerangka hukum yang mendorong perusahaan logistik mempercepat elektrifikasi armada dan penggunaan kendaraan rendah emisi lainnya seperti sepeda.  Di Jerman, pemerintah bahkan memberikan subsidi sebesar 25% dari harga pembelian sepeda kargo elektrik (e-cargo bike), dengan batas maksimal €3.500 per unit. Sejak program ini berjalan pada Maret 2021, tercatat lebih dari 10.000-unit sepeda kargo elektrik dan trailer komersial telah menerima dukungan subsidi ini. Kebijakan ini menunjukkan bahwa insentif yang jelas dapat mempercepat adopsi kendaraan pengiriman rendah emisi, sekaligus memberi kepastian bagi perusahaan logistik untuk berinvestasi jangka panjang. 

Sementara itu di Indonesia, pemerintah telah meluncurkan program percepatan adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 55/2019, yang diperbarui dengan Perpres No. 79/2023. Namun, kebijakan ini belum secara khusus menyasar sektor logistik, termasuk pos, kurir, dan paket. Pada pertengahan 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital juga mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No. 8/2025 tentang Layanan Pos Komersial, yang salah satu poinnya menekankan pemanfaatan teknologi logistik hijau, termasuk penggunaan moda transportasi rendah emisi karbon. 

Di Asia Tenggara, Singapura mendorong pembangunan jaringan parcel locker nasional4 yang diatur dalam Postal Services Act. Jaringan loker ini dipasang di kawasan perumahan, stasiun, dan ruang publik supaya warga dapat menjangkau loker dalam radius 250-meter atau 5 menit berjalan kaki. Kebijakan ini mengurangi kebutuhan kurir untuk mengantarkan paket satu per satu ke rumah, sehingga lebih efisien, hemat energi, dan rendah emisi. Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk mengadopsi sistem serupa. Di Jakarta, konsep Transit Oriented Development (TOD) dan Low Emission Zone (LEZ) sudah mulai berjalan, seperti di kawasan Kota Tua. Parcel locker dapat ditempatkan di sekitar stasiun atau di area LEZ untuk mendorong konsumen mengambil paket sambil beraktivitas. Tantangan terbesarnya adalah infrastruktur pejalan kaki yang belum memadai di banyak kawasan sehingga integrasi parcel locker akan kurang optimal. Oleh karena itu, keberhasilan penerapan logistik hijau di Indonesia membutuhkan kombinasi kebijakan kota, dukungan infrastruktur, serta kolaborasi erat dengan perusahaan logistik dan masyarakat. 

Transisi menuju logistik rendah karbon harus disertai kebijakan yang jelas, target jangka menengah dan panjang, serta peta jalan transisi yang konkret agar tidak hanya berhenti di proyek uji coba. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain: 

  • Peta jalan transisi logistik hijau dengan target jangka menengah dan panjang. 
  • Insentif fiskal dan regulasi untuk mendorong perusahaan logistik beralih ke armada rendah karbon. 
  • Subsidi armada listrik dan rendah karbon berupa potongan harga, insentif pajak, atau skema tukar tambah kendaraan. 
  • Perluasan infrastruktur hijau seperti pengisian daya dan fasilitas battery swap di kota-kota besar, serta infrastruktur penunjang seperti fasilitas pejalan kaki dan jalur sepeda. 
  • Pendanaan inklusif yang mempertimbangkan kurir. 
  • Riset dan evaluasi model bisnis untuk mencari skema pembiayaan yang paling efektif agar transisi lebih terjangkau. 

Masa depan LMD di Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberhasilan transisi menuju armada rendah emisi, dukungan insentif pemerintah, serta kebijakan perkotaan yang berpihak pada logistik hijau akan mempermudah transisi ini.  

Mainkan peranmu untuk mendorong transisi logistik hijau, isi survei: https://bit.ly/itdp-surveilogistik2025  


Referensi:

  1. SYSTEMIQ. (2025). Better Air, Better Indonesia: A Pathway Towards Cleaner Air in Indonesia. SYSTEMIQ. Diakses dari https://www.systemiq.earth/resource-category/better-air-better-indonesia/ 
  2. Ferdiansyah, B. (2023). IndefBesarnya emisi karbon momentum menuju transportasi bersih. Antara. Diakses dari  https://www.antaranews.com/berita/3684312/indef-besarnya-emisi-karbon-momentum-menuju-transportasi-bersih 
  3. European Commission. (n.d.). Clean Vehicles Directive. Diakses dari https://transport.ec.europa.eu/transport-themes/clean-transport/clean-and-energy-efficient-vehicles/clean-vehicles-directive_en  
  4. Infocomm Media Development Authority. (2021). Nationwide Parcel Locker Network Launched. Diakses dari https://www.imda.gov.sg/resources/press-releases-factsheets-and-speeches/press-releases/2021/nationwide-parcel-locker-network-launched  

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend