JAKARTA, KOMPAS.com — Sebelum 15 Januari 2004, praktis masyarakat Jakarta hanya dilayani angkutan umum dalam kota yang kurang nyaman. Angkutan-angkutan umum itu pada umumnya tidak berpendingin ruangan. Sopir angkutan juga seenaknya menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat yang tak semestinya. Unsur keselamatan penumpang menjadi taruhan karena sopir mengendarai secara ugal-ugalan demi mengejar setoran.
Pada saat jam-jam sibuk, para penumpang harus berdesak-desakan di dalam bus. Kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk melakukan aksi kesehatan, seperti mencopet dan pelecehan seksual.
Kondisi angkutan umum dalam kota yang kurang nyaman itu pun tidak bisa sepenuhnya bisa kita persalahkan pada perusahaan penyedia angkutan. Tidak adanya penyediaan subsidi dari pemerintah menyebabkan risiko pembiayaan 100 persen ditanggung pengusaha. Di sisi lain, tarif dasar angkutan masih ditentukan oleh pemerintah untuk melindungi dan menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Namun, pemerintah tidak mau menjamin kelangsungan hidup para pengusaha angkutan yang pada akhirnya membuat mereka mau tidak mau menurunkan kualitas pelayanan untuk menekan kerugian.
Penurunan kualitas pelayanan itu pun berdampak langsung pada masyarakat. Tidak adanya ketersediaan angkutan umum yang nyaman, aman, cepat, dan terjangkau menyebabkan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas lebih memilih untuk memiliki kendaraan pribadi. Semakin bertambahnya jumlah kendaraan pribadi menyebabkan pertumbuhan kendaraan tidak diimbangi dengan rasio pertambahan jalan. Akibatnya, dari hari ke hari jalanan Jakarta menjadi sangat macet. Kemacetan sudah menjadi hal yang lumrah karena terjadi tidak lagi hanya pada jam-jam sibuk dan hanya di ruas jalan-jalan tertentu, tetapi terjadi hampir di sepanjang waktu dan di hampir seluruh jalanan Ibu Kota.
Kemunculan transjakarta pada 15 Januari 2004 menandai datangnya era baru tentang adanya suatu sistem transportasi massal modern berupa bus atau lazim disebut bus rapid transit (BRT). Sistem transportasi yang lahir pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso ini merupakan yang pertama kali di Indonesia.
Meskipun sempat menuai kritik di awal pelaksanaannya, sistem ini diyakini dapat diandalkan untuk memenuhi segala impian masyarakat Jakarta yang menginginkan adanya layanan transportasi massal yang nyaman, aman, cepat dan terjangkau. Kehadiran transjakarta memberi penyegaran pada angkutan umum di Ibu Kota. Bus-bus transjakarta dilengkapi sistem pendingin udara dan hanya berhenti di halte atau shelter khusus untuk menaik-turunkan penumpang. Harga tiket transjakarta hingga sekarang juga terjangkau, dimulai dari Rp 2.500 dan kini Rp 3.500. Dan, yang paling penting, bus transjakarta memiliki jalur khusus yang tidak boleh dilalui kendaraan lain dan hanya dapat dilintasi bus transjakarta. Jalur khusus ini lazim disebut busway.

