Sejak akhir Januari, ada pemandangan aneh di jalur busway sepanjang Kuningan dan Setiabudi, Jakarta. Di antara bus-bus besar Transjakarta, ada sesekali melintas bus kecil Kopaja AC berwarna perak (meski terkadang warna itu sudah tertutupi iklan di badan bus).
Tidak saja masuk jalur busway, Kopaja AC itu juga berhenti di halte dan menaikkan/menurunkan penumpang. Alamak! Kok boleh?
Semua ini bermula dari pengamatan dan survei lembaga kajian transportasi dan pembangunan ITDP pada tahun 2011. Hasil survei kami waktu itu menunjukkan hasil yang cukup menggelitik. Yakni, frekuensi bus Transjakarta hanya sepertiga bus umum lainnya. Sebagai contoh, dalam satu jam, ada 40 bus Transjakarta yang lewat di Jl Sudirman. Sedangkan Kopaja dan Metromini (yang lewat di jalur lambat bersama kendaraan lainnya) ada 120 bus.
Artinya, rata-rata bus Transjakarta tiba di halte setiap 90 detik. Padahal bus Kopaja dan Metromini setiap 30 detik saja!
Lebih mencengangkan lagi, jumlah penumpang yang diangkut oleh Transjakarta sepanjang Sudirman-Thamrin adalah sama dengan jumlah penumpang Metromini dan Kopaja. Bila penumpang Kopaja dan Metromini “dipaksa” menjadi penumpang Transjakarta, maka pengguna busway bisa meningkat dua kali lipat.
Apakah ini cara curang? Tidak juga…
Mengintegrasikan layanan Kopaja dan Metromini dengan Transjakarta (alias memasukkan Kopaja ke jalur busway) akan memberikan beberapa keuntungan. Antara lain:
1) Waktu tempuh Kopaja dan Metromini akan lebih cepat, sebab melaju di jalur khusus — tidak bersaing dengan kendaraan lain di tengah kemacetan.
2) Frekuensi bus di jalur busway bertambah signifikan. Di Jl Sudirman, misalnya, dari 40 bus/jam bisa meningkat hingga 160 bus/jam.
3) Kondisi bus Metromini dan Kopaja akan meningkat, karena bus akan diremajakan dan dilengkapi AC.
4) Cakupan area dan rute busway juga bertambah. Penumpang tidak perlu keluar halte dan tukar bus umum (dan membayar lagi) bila ingin pergi ke daerah yang di luar koridor busway. Cukup naik Kopaja/Metromini dari halte busway.