Share this
Jarum jam menunjukkan pukul 17.00. Begitu jam pulang kantor tiba, ribuan orang keluar dari pusat-pusat pertokoan di Gangding, Guangzhou, China. Trotoar yang terlihat dari atas semula tampak lengang, dalam waktu singkat langsung dipenuhi manusia. Menyemut.
Ribuan manusia itu lalu bergerak melewati jembatan penyeberangan berukuran raksasa dan kemudian masuk ke stasiun pemberhentian bus yang sangat panjang untuk menumpang Guangzhou Bus Rapid Transit (GBRT).
”Ajaib”-nya, dalam tempo singkat ribuan penumpang itu terangkut oleh bus-bus GBRT. Arus lalu lintas, baik di dalam koridor maupun luar koridor, tidak menjadi macet karenanya. Tidak sampai 1 jam, trotoar pun kembali lengang.
Luar biasa, itulah kata-kata yang terucap dari rombongan Indonesia saat menyaksikan betapa efektifnya bus rapid transit (BRT) di Stasiun Gangding, awal Mei lalu.
Studi banding selama lima hari, 6-10 Mei 2012, ini prakarsa Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia. Rombongan dipimpin Country Director ITDP Indonesia Yoga Adiwinarto. Turut dalam rombongan, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono, Kepala Badan Layanan Umum Bus Transjakarta M Akbar, dan Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Wahyono.
”BRT di Guangzhou bisa menampung 850.000 penumpang dalam sehari. Malah di hari-hari sibuk bisa mengangkut 1 juta penumpang dalam sehari. Suatu angka yang luar biasa kalau dibandingkan dengan BRT di Jakarta (yang lebih dikenal dengan transjakarta) yang baru bisa mengangkut 350.000 penumpang dalam sehari,” kata M Akbar kagum.
Pemandangan di Gangding itu sangat kontras bila dibandingkan dengan daya serap halte-halte bus transjakarta. Di halte Harmoni, misalnya, setiap jam pulang kantor kemacetan justru menghadang. Bus transjakarta yang jumlahnya masih terbatas memaksa penumpang harus mengantre lama. Belum lagi hambatan di tengah jalan akibat masuknya kendaraan umum maupun pribadi ke jalur transjakarta.
Guangzhou BRT baru dioperasikan 10 Februari 2010. Bila dibandingkan dengan BRT di Jakarta, berarti lebih lambat enam tahun. Panjang koridor GBRT hanya 22,5 km, tidak sepanjang Jakarta yang mencapai 134 km. Namun, daya serap penumpangnya sudah berkali lipat dari Jakarta.
Daya serap GBRT saat jam sibuk di Stasiun Shidajida bahkan mencapai 27.400 penumpang per jam per arah. Ini menempati urutan kedua teratas setelah Stasiun South of Calle, Bogota, Kolombia, yaitu 34.000 penumpang per jam per arah. Adapun daya serap bus transjakarta masih di urutan 18 dengan 3.000 penumpang per jam per arah di Stasiun Dukuh Atas.
Pilih BRT daripada MRT
Dengan terbuktinya kemampuan GBRT yang ”raksasa” itu, kini China lebih memilih mengembangkan BRT ketimbang mass rapid transit (MRT) untuk mengatasi persoalan transportasi di perkotaan.
Selain terbukti efektif, BRT juga dinilai lebih ekonomis dan proses pembangunannya lebih cepat.
”Biaya MRT bisa sepuluh kali lipat biaya BRT,” kata Duan Xiaomei, Chief Engineer Guangzhou Muncipal Engineering Research and Design Institute (GMEDRI), saat menunjukkan stasiun GBRT yang sudah terintegrasi dengan stasiun MRT di Guangzhou.
Karl Fjellstorm, Director for East and South East Asia ITDP, merasa heran ketika bertemu dengan pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Maret lalu, yang seolah-olah menganggap transportasi massal hanyalah MRT. Padahal, jika transjakarta dikembangkan dengan baik, bisa menjadi transportasi massal. Di Guangzhou adalah salah satu buktinya.
Menurut hasil kajian ITDP, Karl mengingatkan, biaya perencanaan dan pembangunan konstruksi BRT hanya sekitar 1 juta-10 juta dollar AS per km, sedangkan MRT mencapai 40 juta-220 juta dollar AS per km. Pembangunan BRT membutuhkan waktu 1,5-2 tahun, sedangkan MRT 3-30 tahun.
Di Xiamen, salah satu kota di Provinsi Fujian, China, semula juga merencanakan pembangunan transportasi massal berbasis kereta layang, yaitu light rail transit (LRT). Namun, di tengah jalan, atas pertimbangan efisiensi, LRT diubah menjadi BRT. Konstruksi jalan layang yang semula disiapkan untuk LRT kemudian difungsikan untuk BRT.
Pengalaman Guangzhou dan Xiamen ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk Jakarta yang sudah mencanangkan persiapan pengerjaan konstruksi MRT oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, 26 April 2012.
Biayanya memang tidak sedikit. Total nilai proyek MRT tahap pertama (Lebak Bulus-Hotel Indonesia) yang hanya 15,7 kilometer akan menelan biaya 144 miliar yen atau sekitar Rp 16,8 triliun. Dana sebesar 120 miliar yen merupakan pinjaman Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Sisanya, 24 miliar yen, dibiayai melalui APBN dan APBD DKI. Pengembalian pinjaman akan ditanggung bersama pemerintah pusat 42 persen dan Pemprov DKI 58 persen.
MRT baru dioperasikan empat tahun lagi, yaitu 2016, dan bisa beroperasi optimal pada 2020 dengan daya angkut 412.700 penumpang per hari. Sementara itu, daya angkut bus transjakarta saat ini sudah 350.000 penumpang per hari.
”Pengalaman di Guangzhou dan Xiamen ini bisa dijadikan pelajaran berharga untuk Indonesia yang sekarang ini juga mulai membangun MRT yang pada tahap pertama menghabiskan anggaran sekitar Rp 17 triliun,” kata Yoga Adiwinarto.
Menurut Yoga, apabila di tengah jalan nanti pembangunan MRT di Jakarta mengalami kesulitan pembiayaan, juga bisa meniru pengalaman di Xiamen. Infrastruktur yang sudah dibangun untuk MRT bisa digunakan untuk BRT.
Transjakarta bisa masif
Yoga berpandangan, BRT di Jakarta masih perlu banyak dikembangkan di sana-sini agar kemampuannya lebih masif. Salah satu yang perlu dibenahi, memperbesar frekuensi kedatangan bus. Di Guangzhou, jarak kedatangan antarbus ada yang mencapai 30 detik sehingga penumpang tidak perlu menunggu lama. Pemprov DKI perlu memberi dukungan yang sangat besar agar BRT bisa berfungsi optimal seperti yang sudah terbukti di Guangzhou.
Sementara itu, Pristono memastikan, pembangunan MRT tidak akan menghambat pengembangan BRT di Jakarta. Alasannya, pendanaan MRT bersumber dari dana bantuan Jepang yang bunganya sangat rendah, yaitu 0,2 persen, dengan masa pengembalian 30 tahun.
Dengan MRT, pengembangan transportasi tidak hanya dilakukan di atas permukaan tanah, tetapi juga di bawah tanah. Karena itu, meski MRT memakan anggaran besar, pengembangan kawasan bawah tanah bisa memberi nilai tambah.
Seperti kota metropolitan di dunia, lanjut Pristono, Jakarta juga tetap memerlukan MRT selain BRT. ”Dengan MRT, kota metropolitan juga tambah cantik,” ujarnya.
Semoga saja apa yang dikatakan Pristono ini benar bahwa pembangunan MRT tidak akan menghambat pengembangan BRT di Jakarta. Pasalnya, mencermati Data Subsidi Transjakarta, ada kecenderungan justru akan diperkecil. (Lihat grafis)
Pemimpin DKI lima tahun mendatang menjadi penentunya.
(Sutta Dharmasaputra)
Source : http://cetak.kompas.com/read/2012/05/29/03002868/pelajarilah.brt.di.guangzhou