Share this
Halte BRT di Guangzhou, China, didesain panjang, memiliki banyak pintu perhentian, dan dilengkapi jalur untuk mendahului sehingga bus dapat dengan cepat menaikkan dan menurunkan penumpang. Bus non-BRT yang rutenya bersinggungan dengan BRT juga diperbolehkan masuk koridor.
Sebagai seorang pekerja, Tommy Hirawan (41) selalu mengandalkan bus transjakarta untuk pergi pulang ke tempat kerjanya. Bus transjakarta jurusan Manggarai-Matraman-Ancol menjadi andalannya setiap hari. ”Selain nyaman, aman, cepat, juga hemat,” ujarnya saat ditanya alasan memilih transjakarta.
Sekelumit cerita ini tentunya menyegarkan segenap awak Badan Layanan Umum Transjakarta Busway yang sudah bekerja keras memberikan pelayanan.
Menurut Tommy, selisih waktu yang bisa dihemat jika naik transjakarta sekitar 30 menit sampai 1 jam. Adapun selisih biaya dibandingkan menggunakan bus umum bisa mencapai Rp 3.000-Rp 3.500 sekali jalan.
Meski begitu, Tommy masih berharap pelayanan transjakarta terus ditingkatkan. ”Yang paling bikin kesel itu jadwalnya enggak konsisten. Kalau lagi enggak ada, harus nunggu lama. Sekalinya datang, eh bisa berjejer,” keluhnya.
Saat jam sibuk, pukul 07.00-08.00, kondisinya lebih parah lagi. Dia bisa menunggu sekitar 30-40 menit. Penumpang di halte akhirnya menumpuk mencapai 20-40 orang, sementara bus yang datang dari Dukuh Atas selalu penuh. ”Pokoknya crowded deh,” keluhnya.
Pengalaman penumpang transjakarta (bus rapid transit/BRT di Jakarta) memang kontras bila dibandingkan dengan penumpang BRT di Guangzhou, China. Di Halte Gangding, misalnya, meski ribuan orang masuk halte saat jam pulang kantor, dalam tempo singkat langsung terangkut.
Di Halte Shidajida, Guangzhou, bus bahkan bisa mengangkut 27.400 penumpang per jam. Sementara daya angkut bus transjakarta di Halte Dukuh Atas, Jakarta, baru sekitar 3.000 penumpang per jam.
Sistem ”direct service”
Sistem BRT yang diterapkan di Guangzhou ternyata berbeda dengan di Jakarta. Guangzhou memilih sistem direct service (layanan langsung). Adapun transjakarta menggunakan sistem trunk and feeder model Bogota, Kolombia.
Sistem direct service memungkinkan bus non-BRT yang memiliki rute bersinggungan dengan BRT masuk ke koridor, sementara sistem trunk and feeder tertutup. Hanya bus BRT yang diperkenankan masuk koridor. Bus non-BRT difungsikan sebagai pengumpan.
Dengan sistem direct service, bus BRT di Guangzhou menjadi sangat banyak. Frekuensinya pun tinggi. Bus yang masuk halte di Guangzhou mencapai 350 bus per jam, sementara di Jakarta baru 40 bus per jam.
Faktor penting lain, halte BRT di Guangzhou didesain dengan cermat. Hal ini memungkinkan BRT mengangkut dan menurunkan penumpang dalam jumlah besar dengan tempo sangat singkat.
Haltenya didesain panjang dan memiliki banyak pintu. Halte terpendek 55 meter, terpanjang mencapai 285 meter. Di setiap halte juga disiapkan jalur untuk mendahului sehingga bus tidak harus mengantre di koridor.
Sistem tiket yang ketat
Bus-bus non-BRT yang masuk dalam koridor wajib menyesuaikan dengan sistem BRT. Di Guangzhou, begitu bus non-BRT masuk dalam koridor, bus-bus itu di bawah pengawasan sistem BRT, mulai dari pengaturan jarak kendaraan sampai sistem pembelian tiket.
Bus non-BRT yang menarik penumpang di dalam koridor tidak diperbolehkan menerima uang tiket dari penumpang secara langsung. Penumpang itu harus membeli tiket di halte BRT. Namun, saat bus non-BRT menarik penumpang di luar koridor, bus tersebut boleh menerima langsung uang tiket dari penumpang.
Yang menarik lagi, sistem penarikan uang tiket BRT di Guangzhou sangat membatasi keterlibatan petugas dan sopir. Pembayaran tiket menggunakan sistem kartu pintar.
Pembayaran dengan uang kontan masih dimungkinkan. Dengan catatan, harus memberikan uang pas. Besarnya 2 RNB (sekitar Rp 3.000), jauh dekat sama saja.
Saat penumpang membayar dengan uang kontan di loket, petugas tiket tidak diperbolehkan menerima uang itu dari tangan penumpang. Dia hanya mempersilakan dan mengawasi penumpang memasukkan uang itu ke dalam kotak khusus yang terkunci. China yang warganya dikenal sangat disiplin itu ternyata juga sangat ketat mencegah berbagai kemungkinan terjadinya penyelewengan uang tiket.
Sempurnakan sistem
Karl Fjellstorm, Director for East and South East Asia Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), yang merancang BRT di Guangzhou, sangat yakin BRT di Jakarta juga bisa disempurnakan dan menjadi masif. Karena itu, ia heran ketika Maret lalu datang ke Jakarta dan menonton debat para calon gubernur dan wakil gubernur DKI di televisi. Dia tidak mendengar ada yang mengatakan bahwa BRT bisa menjadi angkutan massal.
Menurut Karl, bus umum di Jakarta, terutama yang mempunyai frekuensi tinggi, bila diintegrasikan dengan transjakarta dan masuk dalam koridor seperti di Guangzhou, bisa semakin banyak mengangkut penumpang. Kemacetan lalu lintas di luar koridor pun bisa dikurangi. Jalur koridor BRT yang steril dari kendaraan pribadi pun menjadi efektif karena dilalui banyak bus.
”Kalau ada Kopaja dan lainnya masuk koridor, perjalanan bisa lebih cepat dan penumpang tidak perlu berganti-ganti bus,” papar Karl.
Catatan Country Director ITDP Indonesia Yoga Adiwinarto, 75 persen pengguna bus transjakarta juga pengguna bus umum. Dengan demikian, kalau bus umum diperkenankan masuk koridor, penumpang transjakarta bisa lebih banyak lagi mengemat waktu perjalanan.
”Ide dari direct service itu adalah mempersingkat transfer dan waktu tempuh,” ujarnya.
Masuknya bus umum dalam koridor juga bisa meningkatkan frekuensi kedatangan bus. ”Di Guangzhou, menurut hitungan kami (ITDP Indonesia), 216 bus bisa masuk per jam per arah. Headway (rentang waktu kedatangan bus) tidak sampai 30 detik,” tegasnya.
Kajian sementara ITDP Idonesia, menurut Yoga, ada 10 rute bus dalam kota yang ideal untuk diintegrasikan masuk koridor. Selain rutenya berimpitan, frekuensi penumpangnya juga tinggi. (Lihat grafis)
Konsekuensinya, bus tersebut harus berbadan hukum, bukan milik perorangan. Karoserinya pun harus disesuaikan dengan halte transjakarta. Bus harus memiliki dua jenis pintu, yaitu di tengah untuk akses ke halte bus transjakarta (tinggi dasar pintu 1,1 meter) dan di bagian depan atau belakang (dasar pintu normal 0,3 meter).
Jalur menyusul juga perlu dibuat di sejumlah halte, antara lain Bundaran Senayan-Harmoni, Kedoya-Harmoni, Juanda-Harmoni, dan PGC-BNN.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Wahyono berkeyakinan, apabila volume bus transjakarta bisa tinggi seperti di Guangzhou, koridor juga mudah disterilkan. Kendaraan pribadi tidak berani masuk ke jalur bus transjakarta.
Belajar dari Guangzhou, menurut Wahyono, perpotonganperpotongan arus lalu lintas juga perlu diatur kembali. Perpotongan arus perlu dikurangi dengan membuat sistem berputar sehingga bisa mengurangi konflik.
Kini tinggal pengambil kebijakan menentukan apakah akan secara total mengembangkan transjakarta agar lebih optimal atau memilih bersikap setengah hati karena terselip berbagai kepentingan sempit.
(Sutta Dharmasaputra)
Source : http://cetak.kompas.com/read/2012/05/30/03312232/perlu.totalitas.sempurnakan.transjakarta