Share this
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Ery Basworo dan Wali Kota Jakarta Selatan Anas Effendy uji coba meninjau Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M, Jakarta, Kamis (10/1/2013).
JAKARTA, KOMPAS.com — Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto menyayangkan disetujuinya proyek enam ruas tol dalam kota oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Yoga menilai bahwa enam ruas tol ini tidak akan menyelesaikan kemacetan.
"Namun di sisi lain memang posisi Pak Jokowi dilematis, karena beliau tidak dalam posisi mendesain ulang rancangan dari gubernur sebelumnya," kata Yoga saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/1/2013) petang.
Secara khusus ia juga menyayangkan keputusan yang dinilai bertentangan dengan janji awal Jokowi saat kampanye pilgub. Pada masa kampanye, Jokowi memang menyatakan menolak pembangunan tol dalam kota. "Pak Jokowi sebenarnya punya kesempatan untuk memperbaiki sarana angkutan umum, seperti perbaikan metro mini, juga diskusi mengenai MRT dan monorel. Effort Pak Jokowi ini sebenarnya sudah bagus dan tidak bertentangan," ujar Yoga.
Ia pun mengingatkan bahwa pembenahan transportasi umum harus dilakukan secara total serta membutuhkan fokus dari Jokowi. Dengan disetujuinya proyek enam ruas jalan tol ini, otomatis fokus perhatian Jokowi akan semakin terbagi.
"Program perbaikan transportasi kan banyak yang bentuknya, megaproyek seperti perbaikan Transjakarta atau proyek MRT. Dan ini semua harus dikawal terus. Kalau proyek enam ruas jalan tol ini dilepas, Pak Jokowi bisa lebih fokus ke perbaikan transportasi umum dan success rate-nya bisa lebih besar," kata Yoga.
Alasan lain yang dikemukakan Yoga adalah enam ruas jalan tol akan menghilangkan konsep kota yang ramah untuk pejalan kaki. "Sekarang saja untuk menyeberang, pejalan kaki sudah memenuhi kesulitan. Kalau nanti Jakarta isinya jalanan semua, bagaimana dengan pejalan kaki?" kata Yoga.
Selain itu, Yoga beranggapan bahwa gagasan membangun jalan tol untuk mengurangi kemacetan sebenarnya ide yang sudah usang. "Kalau kita lihat di kota-kota besar seperti London atau Paris, mereka fokus ke perbaikan sarana transportasi umum, dibanding membangun jalan tol untuk mengatasi masalah kemacetan," ujarnya.
Karena itulah, Yoga berpendapat bahwa Jokowi tetap harus memprioritaskan perbaikan sarana transportasi massal. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan sarana yang sudah ada seperti Transjakarta dan KRL, karena prosesnya bisa dikendalikan langsung.
"Saya rasa itu yang paling mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat dibanding harus menunggu megaproyek yang makan banyak waktu," tandas Yoga.
Menurutnya, proyek monorel, MRT dan pembangunan jalan tol memang berpotensi mengurangi kemacetan. Tapi semuanya baru bisa dirasakan lima tahun mendatang.
"Apalagi dengan adanya mega proyek tersebut juga bisa menimbulkan kemacetan dengan adanya galian atau konstruksi," jelas Yoga.
Yoga juga menilai, prospek akan adanya halte bus kota di enam ruas jalan tol juga mempengaruhi Jokowi dalam menyetujui kelanjutan proyek ini. Hal ini pun tak luput menjadi hal yang dipertanyakan oleh Yoga. Menurutnya, dari beberapa desain, tinggi jalan tolnya antara 12-18 meter.
"Yang harus dicermati, apakah orang mau menggunakan jembatan untuk mencapai halte tersebut? Sedangkan jembatan Transjakarta yang mungkin hanya sekitar 5 meter saja masih banyak yang enggan menggunakan," kata Yoga.
Hal lain lagi yang harus dicermati ialah bagaimana angkutan umum tersebut dapat mengangkut pengguna yang menunggu di pinggir jalan. "Menurut saya justru harusnya angkutan umum tetap di bawah saja," katanya.
Untuk itu, Yoga pun menawarkan solusi sekiranya proyek enam ruas jalan tol tersebut akan benar-benar dilaksanakan. "Kalau mau, silakan ada jalan tol. Tapi di bawah dibuka dua lajur khusus tambahan untuk Transjakarta atau bus-bus lain," usul Yoga.
Seperti diketahui, pembangunan enam ruas jalan tol dibagi empat tahap yang rencananya selesai pada 2022. Tahap pertama, ruas Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer dengan nilai investasi Rp 9,76 triliun dan Koridor Sunter-Bekasi Raya sepanjang 11 kilometer senilai Rp 7,37 triliun.
Tahap kedua, Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 11,38 kilometer dengan nilai investasi Rp 5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65 kilometer senilai Rp 6,95 triliun.
Tahap ketiga, koridor Ulujami-Tanah Abang dengan panjang 8,27 kilometer dan nilai investasi Rp 4,25 triliun. Serta terakhir yaitu, Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 kilometer dengan investasi Rp 5,71 triliun.
Jika sudah selesai, keenam ruas tol itu akan menjadi satu dengan tol lingkar luar milik PT Jakarta Tollroad Development, tapi tarifnya akan terpisah dengan tol lingkar luar.
Saat ditemui seusai pertemuan tertutup dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Jokowi meyakini proyek itu dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. "Tadi sudah dirapatkan bahwa akan mengurangi macet, lingkar jaringan dan radial, saya menangkap itu ada kontribusi untuk mengurangi kemacetan," kata Jokowi, di Kementerian PU, Jakarta, Rabu (9/1/2013).