Share this
Di kala kota-kota skala besar di Indonesia berjuang menciptakan kota yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, Yogyakarta ternyata mengerjakan hal yang sama, namun minim sorotan media dan warganet. Karenanya, izinkan saya, Ria Roida Minarta, Urban Planning Associate ITDP Indonesia untuk menempatkan upaya Pemerintah Kota Yogyakarta dalam memberikan fasilitas bagi pejalan kaki di bawah lampu sorot.
Kunjungan saya ke Yogyakarta beberapa bulan silam, dalam rangka survei dan analisa pengerjaan “Panduan Nasional untuk Fasilitas Pejalan Kaki & Pesepeda”, memberikan kesan yang sangat mendalam. Menuntut ilmu di kota ini selama 4 tahun, Yogyakarta selalu menjadi rumah kedua bagi saya. Kemudian bekerja sebagai Urban Planning Associate di Jakarta, Yogyakarta menjadi tempat yang sesekali saya kunjungi. Karenanya, perubahan suasana dan pembangunan di beberapa titik kota ini terlihat sangat mencolok bagi saya.
Malioboro, Riwayatmu Kini
Siapa yang tak kenal Jalan Malioboro di Yogyakarta. Kawasan Malioboro selalu menjadi tempat wajib kunjung ketika berkunjung ke Yogyakarta. Malioboro sempat mengalami pasang surut popularitas, terutama mengenai masalah pengaturan kawasan. Namun, semua itu berubah satu tahun ke belakang ini, berkat rencana Pemerintah Kota Yogyakarta yang menginisiasi kawasan bebas bermotor di Malioboro, diiringi dengan pembangunan kawasan yang pro-pejalan kaki.
Penataan kawasan Malioboro menjadi (sangat) ramah pejalan kaki ternyata tidak melalui proses yang singkat. Pemerintah Kota Yogyakarta rajin mengadakan pertemuan dan diskusi dengan paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL), pengendara andong, becak dan juga pemilik gedung di kawasan tersebut. Hasilnya, kawasan Malioboro kini lebih hidup dan tertata.
Trotoar yang besar dengan furnitur jalan (street furniture) yang lengkap hingga PKL eksisting yang tidak digusur, ditata dengan sangat baik. Parkir on-street hanya diperuntukkan untuk parkir andong dan becak saja. Semangat Pemerintah Kota disambut baik oleh pengelola-pengelola gedung di kawasan ini. Mall Malioboro mengambil inisiatif kreatif dengan membuat beranda di lantai atas dengan akses tangga langsung dari samping bangunan. Pengunjung bisa duduk santai di beranda sambil melihat lalu lalang aktivitas warga di Malioboro. Tidak hanya Mall Malioboro, beberapa bangunan lain juga merevitalisasi fasad (muka bangunannya) agar lebih tersambung dengan trotoar dan mengaktifkan beranda mereka.
Yang menarik juga kehadiran Jogja Bike di kawasan Malioboro. Dengan sistem bike-sharing, Jogja Bike bisa digunakan oleh pengunjung dan warga untuk bersepeda di kawasan Malioboro. Melengkapi area bebas kendaraan bermotor ini dan memberikan ruang untuk warganya aman dan nyaman berjalan kaki dan bersepeda.
Semangat kebersamaan dan gotong royong terlihat setiap Selasa Wage. Pemerintah kota dan para Pedagang Kaki Lima (PKL) bersama-sama membersihkan kawasan tersebut. Di hari itu, tidak ada aktivitas berjualan, semua ikut kerja bakti. Tidak ada kendaraan bermotor yang boleh lewat. Pemilihan hari Selasa Wage pun mengandung makna, bertepatan dengan hari lahir Sultan Hamengkubuwono X dan juga hari diangkatnya beliau menjadi raja. Selasa Wage menjadi simbol hari baik yang sebaiknya diawali dengan reresik atau bersih-bersih.
Lalu, bagaimana dengan kendaraan bermotor? Karena kendaraan bermotor dilarang melintas di kawasan ini, Pemerintah Kota melakukan pengalihan lalu lintas yang diberitakan melalui pelbagai kanal media. Bagi pengunjung Malioboro yang menggunakan kendaraan pribadi, disediakan kantung-kantung parkir di sekitar kawasan yang juga dapat menampung bus wisata.
Meski begitu, dalam kesehariannya, warga lebih senang menggunakan bus TransJogja ketika mengakses Malioboro. Di sepanjang Jalan Malioboro, terdapat 3 halte dan melayani 4 rute bagi warga yang ingin berkunjung ke Malioboro dan area lainnya di Yogyakarta.
Kota Baru Memanjakan Pejalan Kaki
Kota Baru pun tak mau kalah untuk memanjakan pejalan kaki. Jalur hijau berupa trotoar di tengah jalan dilengkapi dengan pohon-pohon rindang yang mengundang pejalan kaki untuk berjalan di atasnya.
Terbukti, banyak warga yang memilih untuk berjalan kaki di sini, selain karena aman juga sangat nyaman berkat peneduh alami dari pohon-pohon. Menariknya lagi, meski terletak di tengah jalan, fasilitas dan furnitur jalan sangat lengkap! Mulai dari ubin pemandu, bangku, lampu hingga tempat sampah tak luput disediakan bagi pejalan kaki yang melintas. Semua furnitur ini juga diletakkan sejajar di kedua sisi sehingga tidak mengganggu lalu lintas pejalan kaki sekaligus menjadi pembatas antara trotoar dan jalan untuk kendaraan. Bahkan, ubin pemandu untuk tuna netra juga sampai melintasi jalan untuk menyeberang, didukung dengan raised crossing (penyeberangan sejajar trotoar) yang memperlambat laju kendaraan bermotor, membuat kenyamanan pejalan kaki semakin meningkat. Oh ya, JogjaBike juga terlihat di trotoar ini.
Kota Gede yang Sarat Budaya Berjalan Kaki
Kota yang kaya akan nilai sejarahnya ini sangat nyaman dinikmati dengan berjalan kaki dan bersepeda. Bangunan-bangunan bergaya lama menjadi pemandangan tersendiri. Kabarnya, rumah-rumah ini adalah rumah para abdi dalem keraton. Meski tidak mengunjungi keseluruhan area Kota Gede, berjalan kaki mengelilingi permukiman dengan bangunannya yang sarat jejak masa lalu sudah sangat menyenangkan.
Selain itu, di sepanjang jalan, ditemukan deretan toko yang menjual kerajinan Perak yang menjadi ciri khas kawasan ini. Pohon-pohon besar menaungi warga yang memilih untuk tidak berkontribusi lebih banyak pada penambahan polusi di kota. Tak hanya nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda, perilaku berkendara para pengendara bermotor sangat menghormati pejalan kaki dan pesepeda. Mereka berjalan lambat-lambat ketika ada pejalan kaki dan pesepeda, bahkan di lorong-lorong sempit, para pengendara motor turun dari kendaraannya dan menuntun motornya sampai ujung gang.
Jangan Berhenti Membuat Saya Kangen Untuk Pulang
Sudut-sudut kota Yogyakarta mulai berbenah. Pembangunan berorientasi pejalan kaki dan pesepeda serta budaya yang menjunjung tinggi kendaraan non-bermotor tanpa meninggalkan ciri khas masing-masing kawasan sudah seharusnya diapresiasi dan menjadi contoh baik bagi pemerintah maupun warga kota lain. Tentunya diharapkan, kota Yogyakarta tidak berhenti di sini saja.
Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta, salah satunya terkait isu warga dalam mengakses kota dengan transportasi publik.
Dari mulai sarana dan prasarana yang humanis dan aksesibel hingga pelayanan rute dan jam operasional yang membuat warga lebih aman dan nyaman saat beraktivitas. Semoga ke depannya, pembangunan transportasi berkelanjutan yang inklusif bisa diterapkan secara menyeluruh, agar Yogyakarta terus menjadi kota kesayangan yang selalu membuat saya kangen untuk “pulang”.