June 19, 2023
Lompatan Kecil Menuju Kota yang Inklusif
Read this article in English version here.
Oleh: Noni Sabandar, Inclusive Urban Planning Associate ITDP Indonesia
Dalam beberapa tahun ke belakang, kota–kota di Indonesia telah berupaya dalam mewujudkan kota yang lebih ramah kepada pejalan kaki dan pesepeda. Contohnya seperti Kota Semarang yang melakukan perbaikan fasilitas pejalan kaki di kawasan komersial dan pemerintahan di Jl. Pemuda dan Jl. Imam bonjol pada tahun 2021-2022, di pusat Kota Surabaya sejak tahun 2010, dan juga Jakarta yang pada tahun 2017 masif melakukan perbaikan fasilitas pejalan kaki dan sepeda hingga penataan kawasan. Sayangnya, meski ragam upaya baik telah dilakukan, isu inklusivitas pada fasilitas yang telah tersedia masih menyisakan banyak catatan.
Pembangunan fasilitas pejalan kaki seperti trotoar dan penyeberangan jalan yang tidak mengandung unsur inklusivitas masih banyak ditemukan di banyak kota di Indonesia. Sebagai contoh, dalam catatan ITDP Indonesia, GAUN dan UN Women, masih banyak ditemukan pemasangan dan peletakan jalur pemandu yang tidak mengikuti perspektif pengguna Netra, lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak mengakomodasi pengguna kursi roda, material jalur pejalan kaki yang licin, dan beberapa kesalahan teknis lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya standar atau pedoman teknis pembangunan fasilitas pejalan kaki yang menyertakan unsur inklusivitas tersebut bagi pemangku kebijakan di kota-kota di Indonesia sehingga dalam praktiknya, fasilitas pejalan kaki malah menyebabkan hambatan atau tidak dapat diakses oleh pejalan kaki berkebutuhan khusus seperti perempuan dengan anak, orang lanjut usia (lansia), anak-anak dan penyandang disabilitas.
Pedoman Fasilitas Pejalan Kaki dalam Surat Edaran Menteri PUPR No. 2 Tahun 2018 merupakan satu-satunya rujukan pedoman dalam penyelenggaraan fasilitas pejalan kaki perkotaan. Meski begitu, pedoman ini masih belum menyesuaikan dengan hak atas Disabilitas dan aspek inklusivitas yang tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas serta PM PUPR Nomor 14/PRT/M/2017. Pelibatan kelompok rentan (perempuan, penyandang disabilitas) dan perwakilan masyarakat juga belum dilakukan dalam penyusunan regulasi.
Keterangan: Pemasangan bolar yang terlalu berdekatan pada lapak tunggu, halte bus yang menghalangi seluruh lebar jalur pejalan kaki, fasilitas pendukung pejalan kaki berupa tempat sampah yang terlalu tinggi, jalur pemandu yang lebih mementingkan estetika dibanding kelangsungan dan efisiensi berjalan kaki (Sumber: Lampiran Informatif Pedoman Perencanaan Teknis Pejalan Kaki, 2023).
Melihat hal tersebut, sejak tahun 2021 ITDP Indonesia bersama dengan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN), UN Women Indonesia, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Direktorat Jenderal Bina Marga mengkaji ulang Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki yang terdapat dalam Surat Edaran (SE) Menteri PUPR No. 2 Tahun 2018. Pengkajian ulang ini menjadi kesempatan untuk menyempurnakan Pedoman Fasilitas Pejalan Kaki dengan memasukkan standar teknis dan desain fasilitas pejalan kaki agar lebih berkelanjutan dan inklusif.
Fokus utama kaji ulang Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki ini meliputi:
- Memastikan perencanaan yang partisipatif
- Memastikan pemenuhan aspek keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan inklusivitas, terutama bagi kelompok rentan ketika mengakses kota, utamanya ketika menggunakan fasilitas pejalan kaki
- Memerhatikan penggunaan acuan normatif atau referensi yang berdasarkan kajian yang kuat, penggunaan tata bahasa yang baik dan benar agar mudah dibaca dan dipahami
- Penyediaan ilustrasi yang membantu visualisasi perencanaan dan menggambarkan berbagai pengguna fasilitas pejalan kaki
Dengan pendekatan ini, diharapkan Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki yang baru dapat mencerminkan kebutuhan dan keberagaman kelompok rentan, serta memberikan panduan yang jelas dan mudah dipahami bagi semua pemangku kepentingan terkait dengan perencanaan fasilitas pejalan kaki.
Perencanaan Partisipatif dalam Penyusunan Revisi Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki
Perencanaan partisipatif dalam penyusunan pedoman dilakukan dengan pembentukan gugus tugas di mana tiap organisasi mewakili kelompok masyarakat; tenaga ahli, kelompok rentan, perempuan dan pemerintah. Pertemuan mingguan gugus tugas diselenggarakan untuk membahas tiap kata, kalimat serta poin-poin yang tercantum di dalam Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki dan menyesuaikan dengan standar teknis global, benchmarking dan temuan di lapangan.
Hasil pertemuan mingguan gugus tugas selama satu tahun ini kemudian dipaparkan pada Multi Stakeholders Dialogue (MSD), mengundang perwakilan komunitas dan organisasi dari 12 Provinsi di Indonesia meliputi; DKI Jakarta, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Ambon serta Papua. Dalam kegiatan MSD ini, terdapat 46 instansi dengan total 63 peserta mewakili 12 Provinsi di Indonesia yang turut hadir untuk mengumpulkan lebih banyak saran dan masukan dalam draft Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki yang telah dikaji ulang sebelumnya oleh gugus tugas. Instansi yang terlibat meliputi komunitas advokasi hak penyandang disabilitas, komunitas pegiat pejalan kaki, forum diskusi anak-anak, organisasi advokasi hak perempuan, dan juga instansi pemerintahan. Setelah penyelenggaraan MSD, ITDP Indonesia juga membuka formulir daring dan hotline yang dapat dihubungi dari 19 April 2022 hingga 13 Mei 2022, guna mendapatkan masukan baik dari peserta MSD maupun dari masyarakat umum yang masih ingin berkontribusi dalam kaji ulang pedoman ini.
Gambar 6-7. (Kiri – kanan) Suasana MSD Pedoman Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki Inklusif, Hasil Diskusi MSD
Setelah melalui serangkaian revisi yang melibatkan ITDP, GAUN, UN Women, PUPR, serta partisipasi peserta MSD dan melewati proses legalisasi yang berlaku, akhirnya revisi Pedoman Teknis Fasilitas Pejalan Kaki resmi dirilis kepada publik pada tanggal 17 Mei 2023 melalui 07/P/BM/2023 Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki. Dengan adanya pembaruan ini, beberapa poin yang diubah dan/atau ditambahkan terkait dengan:
- Lebar efektif jalur pejalan kaki yang menjadi 1,85 meter, sehingga dapat mengakomodasi mobilitas dua kursi roda yang berpapasan;
- Pengaturan akses keluar masuk kendaraan yang memberikan prioritas bagi pejalan kaki;
- Pemasangan jalur pemandu yang bebas hambatan samping dan atas, untuk memudahkan navigasi bagi disabilitas Netra;
- Rancangan pelandaian yang landai dan dapat diakses dengan mudah bagi pengguna kursi roda, stroller, atau roda lainnya; dan
- Ketentuan penyeberangan baik sebidang maupun tidak sebidang yang inklusif dan aman bagi semua kelompok.
Terkait isu perempuan dan anak-anak yang lebih rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, revisi pedoman ini memasukkan unsur-unsur teknis untuk meningkatkan rasa aman ketika menggunakan fasilitas publik yang sebelumnya tidak terdapat dalam Pedoman Teknis Pejalan Kaki. Berikut ini beberapa contoh unsur teknis untuk meningkatkan rasa aman bagi perempuan dan anak-anak yang baru diatur dalam revisi ini:
- Peningkatan penerangan pada jalur pejalan kaki untuk menciptakan rasa aman;
- Pemasangan CCTV pada lokasi strategis;
- Ketersediaan emergency box dan panic button; dan
- Dalam kasus penyeberangan tidak sebidang, penerangan yang cukup serta CCTV ditambahkan untuk memastikan visibilitas pejalan kaki ketika menyeberang.
Dengan adanya pembaruan Pedoman Teknis Pejalan Kaki ini diharapkan adanya kesamaan standar inklusivitas dalam membangun fasilitas pejalan kaki di kota-kota di Indonesia. Di mana fasilitas pejalan kaki menjadi lebih aman, nyaman, dan dapat diakses semua orang termasuk anak-anak, termasuk mengurangi risiko pelecehan atau kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan saat menggunakan fasilitas publik.