July 25, 2023

Memastikan Inklusivitas dalam Elektrifikasi

Oleh: Deliani Siregar, Sr. Urban Planning and Social Inclusion Associate

Read article in English version here.

Dalam perdebatan terkait isu elektrifikasi, seringkali transportasi publik dan kendaraan bermotor pribadi dibenturkan terkait yang mana yang lebih dulu harus diprioritaskan. Padahal, berdasarkan hasil kajian ITDP Indonesia selama dua tahun terakhir terkait elektrifikasi transportasi publik berbasis jalan, bus, angkot serta kendaraan bermotor roda 2 dan 3, apabila direncanakan dengan menggunakan perspektif GEDSI, keduanya mempunyai potensi dan dampak besar, baik dalam upaya mengurangi emisi transportasi serta peningkatan aksesibilitas bagi kelompok masyarakat rentan di kota.

Gender Equality, Disability, and Social Inclusion atau GEDSI dalam transportasi menjadi topik penting, karena pada faktanya, pengguna transportasi aktif (active transport) dan transportasi publik didominasi oleh kelompok rentan. Di Indonesia, kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2021-2025. Secara khusus, kelompok rentan dalam konteks transportasi perkotaan dapat didefinisikan sebagai perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia (Sustainable Development Goals (SDGs) poin 11.2).

Berdasarkan hasil pendampingan ITDP di 27 kampung kota di Jakarta pada tahun 2018-2020 diketahui bahwa perempuan dewasa dan anak-anak lebih memilih berjalan kaki dan menggunakan angkot atau mikrolet untuk bermobilitas. Becak juga digunakan dan dipilih oleh perempuan dan anak untuk bermobilitas dengan barang bawaan yang banyak. Berdasarkan hasil survei Global Future Cities Program (GFCP) pada tahun 2020 di Bandung, transportasi publik seperti angkot dipilih oleh responden wanita karena harga yang terjangkau dan rute yang terlayani. Sepeda motor tidak banyak dipilih oleh perempuan dewasa sebagai pilihan bermobilitas di kampung karena di setiap rumah tangga, sepeda motor baik sebagai kendaraan pertama maupun kedua, diberikan kepada laki-laki dewasa (atau bapak, sebagai pencari nafkah keluarga utama), dan anak.

Elektrifikasi Bus: Kesempatan Perbaikan dan Peningkatan Armada

Elektrifikasi transportasi publik berbasis jalan (bus dan angkot) dalam skala besar mempunyai dampak besar dalam pengurangan emisi transportasi di kota karena jumlah kilometer perjalanan dan gas buang yang tinggi. Dalam kasus Jakarta, bus kota berkontribusi masing-masing 45,7% dan 21,4% emisi CO2 polusi udara di Jakarta. Dengan elektrifikasi bus Transjakarta, diperkirakan terjadi pengurangan GRK sebesar total 611.580 tCO2eq pada tahun 2030. Yang lebih penting, bus dan angkot lebih mudah diakses oleh kelompok rentan yang tidak mempunyai keahlian atau kesempatan untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi yaitu perempuan, lansia dan anak-anak. Momentum elektrifikasi bus dan angkot dapat dimanfaatkan untuk memperbarui interior armada bus dan angkot yang banyak menjadi catatan di bus diesel untuk meningkatkan akses kelompok rentan. Misal, ruang manuver minimal yang dibutuhkan dari pintu ke ruang khusus kursi roda yang ada di dalam bus, jumlah ketersediaan ruang kursi roda, ketersediaan ruang barang, dan catatan lainnya. Pelibatan kelompok rentan menjadi kunci dalam proses perencanaannya.

Dalam perspektif yang lebih luas, proses elektrifikasi transportasi publik seperti bus dan angkot, pekerja dan operator transportasi publik eksisting di kota-kota juga dikategorikan sebagai kelompok rentan. Dalam contoh kasus elektrifikasi Transjakarta, bagaimana operator transportasi publik termasuk supir dan staff penyokong lainnya siap dan berpartisipasi dalam proses elektrifikasi mulai dari pengoperasian dan pemeliharaan kendaraan hingga pemilihan rute prioritas untuk dikonversi yang tentunya berbeda dengan bus diesel biasa. Skema pendanaan elektrifikasi bus juga perlu mempertimbangkan keikutsertaan kelompok rentan untuk menghindari terjadinya social exclusion. Misal, ketika transisi ke bus listrik terjadi, ternyata operator bus eksisting tidak mampu secara finansial membeli bus listrik yang menyebabkan perekonomian keluarga terganggu. Hal ini mungkin terjadi karena saat ini pengadaan bus atau pembelian bus listrik masih dibebankan kepada operator bus. Dalam studi ITDP terkait training needs assessment yang dilakukan kepada pramudi bus listrik perempuan dan laki-laki, teridentifikasi bahwa keahlian pramudi perempuan dalam menyetir bus listrik, merencanakan rute bus listrik, dan tindak preventif untuk mitigasi kerusakan dan saat perawatan kendaraan lebih rendah daripada pramudi laki-laki. Oleh karenanya diperlukan pelatihan bagi pramudi perempuan untuk transisi ke bus listrik dan ekosistemnya, termasuk dalam pengisian daya kendaraan bus listrik, mitigasi jika terjadi bencana banjir, dan mitigasi kondisi bus saat baterai habis di tengah waktu pelayanan. Keberadaan program pelatihan ini diharapkan dapat menjamin pramudi perempuan bus konvensional dapat tetap bekerja dan bertahan dalam sistem bus listrik Transjakarta. Sebab pada tahun 2021 terdapat 23 orang (4% dari total karyawan) total pramudi perempuan Transjakarta dan 3 orang adalah pramudi bus listrik (2022).

Elektrifikasi Kendaraan Roda 2 dan 3: Membantu Mobilitas Perempuan dan Disabilitas

Dari hasil survei ITDP di 27 kampung kota Jakarta juga mendapati sepeda motor sebagai pilihan tertinggi moda yang digunakan oleh tiga kelompok; laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan anak-anak. Bagi perempuan dewasa dan anak-anak, sepeda motor menjadi pilihan kendaraan yang dapat digunakan bersama dengan keluarga (berboncengan). Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herwangi, dkk., 2015 yang menyebutkan bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta memiliki ketergantungan pada sepeda motor karena mudah dan murahnya akses untuk mendapatkan, fleksibilitas motor sebagai moda ekonomi, serta absennya ketersediaan transportasi publik yang andal. Diketahui juga setiap kepala keluarga di wilayah studi memiliki lebih dari 1 unit motor. Melihat data-data tersebut, motor masih menjadi tantangan penyelenggaraan transportasi berkelanjutan.

Elektrifikasi dapat menjadi momentum untuk mengkonversi kendaraan bermotor roda 2 dan 3 menjadi kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, elektrifikasi kendaraan roda 2 dan 3 yang dibarengi perubahan infrastruktur hingga regulasi dan kebijakan pendukung menggunakan perspektif kelompok rentan dapat menghasilkan kesempatan ekonomi inklusif hingga keselamatan di ruang jalan (road safety).

Bersamaan dengan elektrifikasi transportasi publik, elektrifikasi kendaraan roda 2 dan roda 3, seperti sepeda, sepeda motor, becak, becak motor, dan bajaj, juga dapat terjadi menyesuaikan preferensi moda masyarakat saat ini. Meskipun memiliki keterbatasan kapasitas angkut, moda tersebut menawarkan fleksibiltas dan potensi penggunaan moda sebagai alat ekonomi. Dengan melakukan elektrifikasi terhadap moda tersebut, tidak hanya memberikan dampak lingkungan, road safety, namun juga kesempatan partisipasi ekonomi yang lebih berkelanjutan. Sebagai contoh, proses elektrifikasi becak kayuh dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam mencari nafkah. Peralihan ke becak listrik dapat menjadi opsi dan kesempatan bagi kelompok rentan, komunitas becak, untuk lebih mudah membawa barang dalam skala yang lebih besar dan jarak tempuh yang lebih jauh yang tentu juga linier dengan kemungkinan upah yang didapatkan.

Periode elektrifikasi ini dapat dijadikan kesempatan untuk mendorong peralihan dari sepeda motor ke sepeda listrik utamanya untuk perjalanan-perjalanan pendek. Di Kawasan Perkotaan Yogyakarta misalnya, diketahui bahwa rata-rata jarak perjalanan harian dengan sepeda motor untuk sekolah dan bekerja adalah 2,5-3,0 km per perjalanan (Herwangi. Syabri, dan Kustiwan, 2015). Jarak ini sesuai kemudian untuk dikonversi dengan bersepeda sebagaimana hasil survei ITDP (2021) menunjukkan bahwa jarak rata-rata untuk bersepeda reguler adalah 2,89 km. Di Belanda, perjalanan dengan sepeda listrik menggantikan sepeda kayuh dan sepeda motor dengan jarak tempuh 1,5 kali lipat lebih jauh dibandingkan dengan sepeda kayuh.

Bagi penyandang disabilitas, secara spesifik disabilitas Tuli, sepeda listrik dapat menjadi pilihan untuk alat ekonomi pengganti sepeda motor. Hal ini menjawab isu atas kebutuhan Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk mengendarai sepeda motor, sementara sepeda tidak. Selain itu, kendaraan sepeda listrik juga berkembang dengan desain tertentu yang ditujukan untuk mobilitas lansia, misal sepeda listrik roda tiga atau empat.

Perkembangan sepeda listrik di Indonesia terjadi di banyak kota sedang dengan perempuan sebagai target pasarnya. Penggunaan sepeda listrik cukup populer digunakan di area permukiman perkotaan. Sepeda listrik yang beredar saat ini di pasaran dan paling banyak diminati adalah sepeda listrik dengan desain feminim (Sodiq dan Tristiyono, 2015). Menurut Sodiq dan Tristiyono (2015), sepeda listrik ini umumnya digunakan oleh ibu rumah tangga untuk beberapa tujuan utama yakni seperti berbelanja, mengantar anak ke sekolah, berkunjung ke rumah tetangga, dan bersepeda berkeliling area tempat tinggal. Selain karena sepeda listrik dapat menempuh jarak yang lebih jauh dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan sepeda kayuh, dengan menyempurnakan desain sepeda listrik dan pengembangan regulasi yang jelas bagi sepeda listrik, sepeda listrik dianggap dapat menggantikan sepeda motor sebagai pilihan moda perempuan.

Dalam perspektif GEDSI, elektrifikasi ojek daring dapat membuka lapangan kerja bagi perempuan dan penyandang disabilitas. Meski masih banyak catatan terkait kemitraan, didapati tren peningkatan jumlah pengemudi perempuan di layanan ojek daring. Dari studi ITDP tahun 2022, dengan adanya elektrifikasi ojek daring, terdapat potensi peningkatan hingga 224,8% pengemudi perempuan dengan peran sebagai orangtua tunggal atau kepala keluarga pada tahun 2030. Hal ini dikarenakan perempuan lebih memilih motor listrik ketimbang motor konvensional, serta preferensi untuk mengambil pesanan layanan antar makanan ketimbang layanan antar orang/barang. Dari hasil studi yang sama, ITDP menyimpulkan bahwa keuntungan ini hanya bisa terjadi jika perusahaan ojek daring menawarkan sistem sewa kendaraan dan/atau baterai motor listrik sehingga mengeliminasi kebutuhan untuk memiliki kendaraan sendiri serta kebutuhan untuk menyelenggarakan program pelatihan road safety dan perbaikan kendaraan listrik untuk pengemudi perempuan dan disabilitas.

Elektrifikasi (Saja) Tidak Cukup

Meski ke depannya elektrifikasi yang melibatkan perspektif GEDSI diselenggarakan, tanpa dibarengi upaya lain yang mendukung perjalanan jarak pendek di dalam kota, masih akan menjadi pekerjaan rumah besar. Elektrifikasi dapat menghasilkan dampak maksimal dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca apabila dibarengi dengan upaya lain seperti, ketersediaan tempat tinggal yang layak dan terjangkau di rumah kota serta penataan kawasan yang berbasis jalan kaki, sepeda dan transportasi publik. Apabila semua ini tidak dilakukan, akan tetap menghasilkan capaian yang sama; kemacetan, polusi udara dan keterbatasan tata guna lahan di kota.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend