July 07, 2024

Mari, Rebut Kembali Ruang di Kota!

Oleh Syifa Maudini, Transport Assistant ITDP Indonesia

Konsep pembatasan penggunaan mobil dan motor pribadi rasanya sulit dibayangkan untuk diterapkan di kota-kota yang masih bergantung pada kedua moda ini untuk bermobilitas. Bagaimana tidak, sebagai warga, pembatasan penggunaan motor dan mobil pribadi seakan mencabut “kenyamanan” dalam mengakses kota.

Di Jakarta, jumlah kendaraan bermotor terus bertambah. Tercatat pada tahun 2020 hingga 2023 jumlah kendaraan bermotor mencapai 662 ribu unit [1], dengan tingkat penggunaan mencapai 81% (Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, 2023). Tak heran, warga yang beraktivitas di Jakarta kini harus terjebak kemacetan hingga berjam-jam, bahkan untuk sekadar menempuh jarak 3 km perlu waktu 45 menit! Ungkapan “tua di jalan” kini mendekati realita sehari-hari warga. Ironisnya, di Jakarta, jangkauan transportasi publik Transjakarta (BRT dan non-BRT termasuk mikrotrans) sudah menjangkau lebih dari 85% area kota (ITDP Indonesia, 2022). Pengembangan transportasi publik juga telah disertai dengan peningkatan aksesibilitas menuju titik pemberhentian melalui revitalisasi jalur pejalan kaki dan pembangunan jalur sepeda. Lalu, apa yang masih menyebabkan warga bergantung penuh pada mobil dan motor pribadi dan masih enggan menggunakan transportasi publik?

Ketika Ruang untuk Manusia Menjadi Ruang untuk Kendaraan Bermotor

Penyediaan ruang parkir yang berlebihan menjadi salah satu penyebabnya. Pengguna kendaraan bermotor pribadi memulai dan mengakhiri perjalanan dengan memarkirkan kendaraannya. Teori populernya, semakin banyak kendaraan bermotor, menambah ruang parkir adalah solusinya.

Namun, jika solusi dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang berlebihan adalah menambah lebih banyak ruang parkir, bukankah lahan di kota akan habis oleh parkir kendaraan?

Padahal, terus menambah ruang parkir sama halnya dengan terus menambah jumlah lajur kendaraan, yakni membentuk siklus ketergantungan terhadap kendaraan bermotor yang tak berujung [2]. Kemudahan mendapatkan ruang parkir juga berdampak pada penurunan layanan dan penggunaan transportasi publik.

Di kawasan Dukuh Atas misalnya, masih  terdapat kurang lebih 30.000 ruang parkir di dalam bangunan (off-street) meski sudah dilayani empat transportasi publik massal berkualitas tinggi. Padahal, menurut survei ITDP Indonesia pada tahun 2023, okupansi ruang parkir ini hanya mencapai kurang dari 80% per hari pada hari kerja. Masih di area Dukuh Atas, selain mudahnya mengakses parkir off-street, parkir pinggir jalan (on-street) yang semakin menjamur lebih mudah lagi ditemui, bahkan hingga membentuk kantong-kantong parkir liar yang menggunakan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda. ITDP Indonesia (2021) mencatat, jumlah mobil dan sepeda motor yang terparkir secara liar di area Dukuh Atas bahkan 9 kali dan 5 kali lebih banyak dari yang terparkir secara resmi.  Tak heran bila para pengguna transportasi publik, pejalan kaki dan pesepeda masih harus berebut ruang jalan di Dukuh Atas.

Kemudahan-kemudahan ini selain karena kurangnya penegakan hukum yang tegas dan berkala, juga didukung oleh kebijakan terkait parkir yang berlaku. Khususnya pada bangunan, pemilik lahan/bangunan wajib menyediakan parkir dalam bangunan (off-street) dengan memenuhi jumlah minimum yang disyaratkan. Misalnya, untuk pusat perdagangan dengan luas 1.000 m2, minimal ruang parkir sebanyak 59 unit harus disediakan [3]. Artinya, pemilik lahan/bangunan didorong untuk menyediakan tidak kurang dari angka tersebut, atau bahkan lebih.

Okupansi Rata-rata Parkir dalam Persil Bangunan Kawasan Dukuh Atas

Membayangkan Kembali Ruang Kota untuk Manusia

Sejak tahun 2017, ITDP Indonesia telah mengadvokasi terkait bagaimana ruang parkir dapat diambil alih menjadi penggunaan yang lebih bernilai ekonomi dan sosial melalui kegiatan Park(ing) Day, dengan mengubah ruang parkir menjadi ruang berdiskusi [8] dan ruang bermain [9]. Beberapa gedung di Jakarta saat ini pun ditemui telah mengkonversi sebagian ruang parkirnya untuk tenan-tenan bisnis, baik yang bersifat pop-up maupun permanen. Gelaran World Bicycle Day 2023 di Taman Ayodya juga menunjukkan, hanya dengan tiga ruang parkir mobil, lebih dari 50 sepeda dapat ditampung. Dari sana, terlihat bagaimana terdapat lebih banyak orang yang berkunjung hanya dengan menggunakan tiga ruang parkir.

Ruang parkir, utamanya di dalam bangunan, juga mempunyai potensi sangat besar bagi penyediaan hunian terjangkau di pusat kota. Di tengah langka dan mahalnya harga tanah di pusat kota yang menyebabkan warga harus komuting dari kota satelit menuju pusat kota Jakarta, berjejalan di dalam transportasi publik, 30.000 ruang parkir dengan total luas sekitar 265.000 m2 di Dukuh Atas, dengan harga per meter persegi tanahnya lebih dari Rp20.000.000, dapat menyediakan kurang lebih 7.360 unit permukiman dengan luas 36 m2 (ITDP Indonesia, 2021)! 

Bukan sekadar teori, reformasi parkir dengan pembatasan ruang parkir di Mexico City pada tahun 2017, berhasil mengurangi jumlah parkir off-street sebanyak 21% pada gedung-gedung yang dibangun [4]. Ruang yang dapat digunakan untuk aktivitas manusia pun bertambah hingga 15% di kota.

ITDP Indonesia didukung pemerintah Inggris melalui program Future CIties UK Partnering for Accelerated Climate Transitions (UK PACT) juga merilis studi “Reformasi Parkir Jakarta”. Studi ini memberikan panduan dan rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dalam mereformasi kebijakan perparkiran. Studi ini juga dilengkapi dengan gambaran mengenai celah antara kebijakan dan implementasi perparkiran, serta temuan-temuan yang memperkuat urgensi dibutuhkannya reformasi parkir di Jakarta.

Saatnya Reformasi Parkir

Reformasi terhadap kebijakan parkir dengan pengendalian penyediaan parkir utamanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas kota dengan penyediaan layanan transportasi publik yang lebih baik, infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda berkualitas tinggi, dan hunian layak di tengah kota. Reformasi parkir perlu dilakukan pada kedua jenis fasilitas parkir yang ada saat ini, on-street dan off-street, secara bersama-sama.

Pendekatan Reformasi Parkir

Pengendalian yang umum dilakukan untuk parkir on-street adalah melalui penerapan tarif tinggi dengan mekanisme tertentu, termasuk pemanfaatan teknologi [5]. Tarif tersebut pun perlu dievaluasi secara berkala berdasarkan tingkat penggunaannya. Ketika tingkat penggunaannya tinggi, tarif akan dinaikkan sehingga pengguna berpindah ke lokasi parkir dengan tarif yang lebih rendah. Reformasi parkir on-street dapat memastikan peningkatan keselamatan jalan dan kelancaran lalu lintas, bahkan memungkinkan untuk mencari parkir lebih mudah. Distrik Polanco di Mexico City, waktu rata-rata untuk mencari ruang parkir on-street setelah berjalannya program EcoParq selama tiga tahun menjadi 75% lebih cepat. Satu ruang parkir yang sebelumnya hanya digunakan oleh 3,5 mobil per hari, menjadi dapat digunakan oleh 4,5 – 5,5 mobil per hari (ITDP Mexico, 2013).

Sementara itu, pengendalian yang umum dilakukan untuk parkir off-street adalah dengan membatasi penyediaan ruang parkir, yakni dengan kebijakan parkir maksimum [6]. Harus menyediakan parkir dengan jumlah minimum tertentu juga rasanya berat bagi pengembang/pemilik lahan. Pasalnya, survei ITDP Indonesia (2023) di Dukuh Atas juga menunjukkan bahwa 6 dari 7 gedung menyediakan ruang parkir kurang dari ketentuan minimumnya. Terlebih, di kawasan perkotaan yang padat, masyarakat cenderung memarkirkan kendaraannya di satu tempat, lalu berjalan kaki menuju tempat yang lain di sekitarnya [7]. Tanpa menambah ruang parkir, gedung-gedung baru dapat menyediakan parkir secara kolektif (shared parking) dengan gedung-gedung di sekitarnya sehingga penggunaan ruang parkir yang ada saat ini menjadi lebih optimal.

Hanya dibutuhkan tiga satuan ruang parkir mobil untuk memarkirkan lebih dari 50 sepeda. Sumber: Greenpeace (2023).

Rebut Kembali Ruang Kota

Selama ini, manusia telah banyak mengalah untuk kendaraan bermotor hingga sulit membayangkan bagaimana hidup di kota tanpa bergantung sepenuhnya pada mobil dan motor pribadi untuk bermobilitas. Sebelum semakin terlambat, reformasi ruang di kota melalui reformasi parkir di Jakarta harus terwujud, demi memberikan lebih banyak ruang untuk manusia.

 

Baca selengkapnya dokumen berjudul “Pedoman Reformasi Parkir Jakarta.”

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Send this to a friend