November 07, 2024
Solusi Kemacetan Jakarta di Depan Mata, Tapi Siapa yang Berani Melangkah?
Oleh Carlos Nemesis, Urban Planning Associate ITDP Indonesia
Kita semua tahu kemacetan terjadi karena jumlah kendaraan berlebih, dan membangun jalan baru bukan solusinya. Di sisi lain, pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi, yang direkomendasikan berbagai studi sebagai jalan keluar terbaik, terus tertunda meski telah direncanakan hampir dua dekade. Mengingat dampak negatif yang semakin besar pada ekonomi dan kesehatan masyarakat, saatnya kita mengambil langkah konkret dan ekstrem—dengan perencanaan matang agar penerapannya tepat sasaran dan efektif.
Menambah jalan atau membangun jalan baru hanya akan memicu timbulnya perjalanan kendaraan baru (induced demand). Fenomena ini sebenarnya lebih mudah dipahami daripada yang terlihat, karena umumnya lebih banyak orang akan berkendara ketika berkendara menjadi lebih cepat dan nyaman saat jalan baru (masih) kosong. Namun, dalam jangka panjang, jalan yang baru dibangun juga akan mengalami kemacetan, seperti yang telah banyak terlihat.
Jakarta, sudah di jalur yang benar, dengan contoh yang baik dalam pengembangan transportasi publik. Sistem bus rapid transit (BRT) yang melayani 1,2 juta penumpang per hari, serta berbagai pilihan transportasi berbasis rel seperti Commuter Line, MRT dan LRT. Jakarta bahkan mengalokasikan 4 triliun rupiah setiap tahun untuk subsidi transportasi publik (PSO). Namun, hanya berfokus pada penyediaan transportasi publik saja tidak cukup untuk menuntaskan isu utama yaitu; kemacetan dan polusi udara. Perlu kebijakan pendukung untuk mengalihkan masyarakat dari kendaraan bermotor pribadi ke transportasi publik mengingat mode share penggunaan transportasi publik saat ini hanya di angka 10%, jauh di bawah target 55% pada tahun 2045. Padahal, dengan berkurangnya volume kendaraan bermotor pribadi di jalan, kualitas transportasi publik akan meningkat, mulai dari kemudahan mengakses stasiun transportasi publik, dan sistem BRT dan transportasi publik berbasis jalan lainnya dapat berjalan lebih efisien, sehingga memungkinkan perluasan armada dan rute.
Bukan Kebijakan Populis Sehingga Sulit Diimplementasikan?
Jakarta bukan tidak punya rencana. Kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi sudah lama digodok, bahkan hampir dua dekade. Electronic Road Pricing (ERP) diperkenalkan sejak tahun 2006, meski belum terlaksana, isu ERP terus bergulir di setiap pergantian kepemimpinan. Selain ERP, Kawasan Rendah Emisi (KRE) dan Manajemen Parkir juga merupakan kebijakan-kebijakan yang hingga saat ini meski ada sebagian yang dilaksanakan namun skala pelaksanaanya belum masif. Sehingga dampaknya belum atau bahkan tidak terlihat.
Perihal ini, Jakarta sebagai Kota Global sebenarnya bisa belajar dari kota-kota global lainnya yang telah berhasil menerapkan strategi pelaksanaan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Misalnya London, yang berhasil menerapkan kebijakan Kawasan Rendah Emisi (KRE) atau Low-Emission Zone (LEZ) di tingkat kota dengan persiapan dan pentahapan implementasi yang komprehensif. Konsultasi publik dilakukan pada 2014–2017 melalui papan informasi di persimpangan jalan dan komunikasi dua arah dengan kelompok masyarakat. Transport for London (TfL) juga melakukan evaluasi rutin setiap dua bulan untuk menilai persepsi publik dan menyesuaikan pesan sesuai kebutuhan.
Kebijakan LEZ diawali dengan program uji coba “Toxicity Charge” pada Oktober 2017 di pusat kota, dengan standar emisi Euro IV. Setelah evaluasi setahun, London memperkenalkan ULEZ (Ultra Low Emission Zone) dengan standar lebih ketat (Euro VI) pada 2019. Monitoring bulanan menunjukkan ULEZ berhasil meningkatkan kepatuhan emisi kendaraan, yang mendorong perluasan ULEZ di tahun-tahun berikutnya.
Selain kisah sukses, kegagalan kota lain dalam menerapkan pembatasan kendaraan bermotor juga memberikan pelajaran berharga. Manchester, misalnya, gagal mengimplementasikan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) meskipun telah menjalani konsultasi publik. Pada 2005, pemerintah kota merencanakan integrasi transportasi dengan ERP sebagai strategi utama, dengan anggaran sosialisasi sebesar IDR 60 miliar, meliputi diskusi publik, layanan pelanggan, kurikulum sekolah, dan situs web. Namun, melalui referendum, 79% warga menolak kebijakan tersebut.
Kebijakan push policy seperti ERP, KRE dan Manajemen Parkir memang sering menghadapi penerimaan publik yang rendah. Tanpa uji coba terlebih dahulu, referendum menghasilkan penolakan tinggi, terutama karena publik belum merasakan manfaat kebijakan. Pemerintah kota juga dinilai lamban merespons misinformasi bahwa ERP hanya menjadi alat pengumpulan dana tanpa ada jaminan untuk perbaikan sistem transportasi berkelanjutan.
Apa yang Jakarta dapat Lakukan?
Dari dua kota ini, kita belajar bahwa implementasi kebijakan publik membutuhkan tiga tahapan utama: uji coba, evaluasi, dan ekspansi, dengan proses konsultasi publik di setiap tahap. Kebijakan pembatasan termasuk pembatasan penggunaan kendaraan pribadi (push policy) memerlukan penerimaan masyarakat, yang dapat diperoleh melalui uji coba terbatas dengan standar dan ketentuan yang tidak ketat.
Fase uji coba bertujuan untuk memperkenalkan kebijakan ke masyarakat dan mengumpulkan data untuk evaluasi. Proses evaluasi dilakukan secara konsisten dengan menggunakan indikator yang jelas dan dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Pencapaian seperti meningkatkan penggunaan transportasi publik ataupun menurunnya konsentrasi emisi dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap program yang diperkenalkan. Hasil evaluasi tersebut menjadi pertimbangan dalam mengembangkan program secara lebih komperhensif di tahap berikutnya.
Konsultasi publik menjadi kunci keberhasilan dalam setiap tahap kebijakan publik. Dalam push policy, tujuan utamanya bukan penerimaan publik yang tinggi, melainkan penyebaran informasi dan penyesuaian berdasarkan masukan publik.
Menurut Pickford et al. (2024), pembelajaran dari kebijakan pembatasan di berbagai kota mencakup:
- Komunikasi Publik Terstruktur: Publik harus memahami tujuan kebijakan untuk mengatasi kemacetan dan polusi, dengan manfaat tambahan seperti peningkatan layanan transportasi publik dari pendapatan ERP.
- Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan: Pemerintah harus melibatkan pihak-pihak berpengalaman, seperti akademisi dan CSO, serta kelompok yang berkepentingan, termasuk industri dan komunitas.
- Diversifikasi Instrumen Komunikasi: Penyampaian pesan harus efisien dan harus memfasilitasi umpan balik atau pesan dari masyarakat.
Penerapan push policy di Jakarta perlu memperhatikan kondisi persepsi publik sehingga proses konsultasi publik dapat dilakukan secara efektif. ITDP Indonesia (2023) melakukan survey persepsi publik terhadap 1012 responden dan menganalisis respons 511 responden pengguna kendaraan bermotor pribadi. Lebih dari 75% responden menyepakati bahwa penggunaan kendaraan bermotor pribadi berkontribusi terhadap polusi di Jakarta dan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Hal ini menandakan tingginya kesadaran publik akan isu mobilitas dan dampak buruk yang diakibatkan.
Jika ditanyakan jenis intervensi yang perlu disiapkan dalam mengatasi isu mobilitas tersebut dalam konteks push and pull policy, responden memberikan persepsi positif yang lebih tinggi terhadap peningkatan layanan transportasi publik. Meskipun demikian, mayoritas responden pengguna kendaraan pribadi, 57% mendukung kebijakan pembatasan kendaraan bermotor pribadi dengan 20%-nya masih menunjukkan kebingungan.
Jakarta dapat memulai memperkenalkan kebijakan pembatasan kendaraan bermotor yang lebih ambisius dari program-program eksisting seperti: ganjil genap, tarif parkir tinggi untuk kendaraan tidak lolos uji emisi, pedestrianisasi dan Kawasan Rendah Emisi (KRE). Berbagai strategi tersebut dapat ditingkatkan skala area yang lebih luas dan standar yang lebih ketat. Contohnya dengan mengembangkan KRE pada skala yang lebih luas dan tepat sasaran, mengganti kebijakan ganjil-genap yang tidak efektif menjadi Electronic Road Pricing (ERP), dan merencanakan sistem pembatasan parkir yang lebih terintegrasi.
Selain menerapkan fase uji coba seperti kota-kota lain yang telah menetapkan kebijakan pembatasan, penting untuk mengintegrasikan kebijakan pembatasan dengan paket pengembangan sistem transportasi publik. Menerapkan ERP ataupun KRE di pusat kota Jakarta harus dibarengi oleh layanan transportasi publik yang handal atau juga dengan memberikan insentif dengan tarif transportasi publik yang lebih murah.
Penerapan push policy membutuhkan keseriusan dan keberanian dari pemimpin tertinggi suatu wilayah, dalam konteks Jakarta, gubernur memiliki peranan penting dalam menjamin implementasi. Beberapa calon gubernur Jakarta telah menyampaikan programnya dalam meningkatkan penggunaan transportasi publik dengan investasi yang lebih besar ataupun melalui tarif layanan yang lebih murah. Namun, setiap calon gubernur tetap masih menganggap pembangunan flyover/underpass bahkan dengan jalan tol dalam kota mampu mengatasi kemacetan di Jakarta.