December 08, 2025
Di Balik Bus yang Hilang dan Kota yang Berjuang: Refleksi Mobilitas Perkotaan Indonesia
Oleh Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP

Selama tiga tahun terakhir, dalam perjalanan kami merampungkan berbagai studi dan penelitian terkait bus listrik serta kekerasan berbasis gender di transportasi publik yang meliputi lebih dari enam kota di Indonesia, kami menyaksikan gambaran penyelenggaraan transportasi publik yang menggelisahkan. Di satu sisi, ada kemajuan nyata. Di Jakarta, cakupan layanan transportasi publik sudah menjangkau sekitar 90% wilayah kota, diperkuat jaringan MRT dan LRT. Di sisi lain, di banyak kota lain, layanan transportasi publik justru mundur: program Teman Bus berhenti satu per satu, koridor dan anggaran dipangkas, warga kehilangan akses terhadap layanan yang semula mulai membaik.
Pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) ikut mempersempit ruang fiskal pemerintah daerah untuk membiayai berbagai sektor, termasuk transportasi publik. Dalam RAPBN 2026, alokasi TKD turun drastis dari Rp919,9 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun, atau turun sekitar 29%1. Sebelumnya, pada 2025 pemerintah juga memangkas TKD sebesar Rp50,59 triliun melalui KMK 29/2025 sebagai bagian dari kebijakan efisiensi anggaran2.
Pada saat yang sama, kerangka hukum kita menempatkan transportasi sebagai urusan wajib nonpelayanan dasar dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, pemerintah daerah wajib mengurus sektor perhubungan, tetapi penyediaan layanan transportasi publik perkotaan yang andal tidak dikategorikan sebagai layanan dasar yang harus dipenuhi setara pendidikan atau kesehatan. Dengan kata lain, keberadaan bus kota dan BRT lebih banyak ditentukan oleh keberanian politik dan prioritas anggaran, bukan oleh kewajiban layanan minimum yang tegas.
Menariknya, ketika kami memetakan persebaran sistem transportasi publik di berbagai kota, kemampuan fiskal daerah tidak selalu menjadi penentu utama.
Banyak kepala daerah dengan APBD terbatas yang justru memilih menjadikan transportasi publik sebagai salah satu prioritas utama, sementara daerah lain dengan kapasitas fiskal jauh lebih besar tidak melakukannya. Karena itu, anggapan bahwa “hanya Jakarta yang bisa punya transportasi publik bagus” sudah tidak lagi relevan. Cukup bandingkan Semarang dengan Trans Semarangnya, atau Pekanbaru dengan Trans Metro Pekanbaru dan Padang dengan Trans Padang ketimbang kota-kota yang secara fiskal sebenarnya lebih besar seperti, Surabaya3.
Biaya Transportasi Warga yang Terus Meningkat
Yang sering luput, keterbatasan opsi mobilitas warga bukan hanya melahirkan kemacetan dan polusi udara, tetapi juga mendorong naiknya biaya transportasi rumah tangga. Berdasarkan Survei Biaya Hidup BPS yang dikutip Kementerian Perhubungan, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk transportasi di Indonesia mencapai sekitar 12,46% dari total biaya hidup per bulan, padahal standar ideal Bank Dunia tidak lebih dari 10%4.
Di sejumlah kota besar, biaya transportasi per bulan berada di kisaran Rp1–2 juta per rumah tangga, menjadikannya salah satu komponen biaya hidup yang paling memberatkan, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah dan kelompok rentan pada umumnya utamanya perempuan, lansia, dan penyandang disabilitas yang merupakan mayoritas pengguna transportasi publik.
Ketika layanan transportasi publik dipangkas yang berdampak pada waktu layanan yang diperpendek, sedikitnya armada dan infrastruktur yang tidak inklusif, warga dipaksa mengandalkan kendaraan bermotor pribadi yang lebih mahal (ojek daring, angkot tidak terintegrasi, dan lain-lain), sehingga total ongkos perjalanan harian meningkat5.
Ini menjadi penegasan, transportasi publik bukan sekadar urusan teknis, tetapi isu keadilan sosial. Ketika negara mundur dari pembiayaan layanan, kelompok yang paling terdampak adalah perempuan, pekerja sektor informal, pelajar, masyarakat berpenghasilan rendah, dan kelompok rentan lain yang paling bergantung pada transportasi publik.
Daerah Tidak Menunggu
Terlepas dari bayang-bayang Jakarta dengan fiskal yang mampu membangun jaringan BRT hingga 90% wilayah kota disertai MRT maupun LRT, sejumlah kota dengan APBD jauh lebih rendah justru menjadi contoh keberanian politik.
Semarang, misalnya, menetapkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perhubungan yang mewajibkan alokasi subsidi untuk angkutan orang, termasuk transportasi publik, sekurang-kurangnya 5% dari APBD6. Dengan APBD sekitar Rp5,5 triliun pada 2025, alokasi untuk Trans Semarang mencapai ratusan miliar rupiah—sebuah komitmen yang tidak kecil untuk kota di luar Jakarta7.
Padang dengan Trans Padang selama lebih dari satu dekade mampu mengoperasikan layanan bus kota dengan skala yang konsisten, tanpa program Teman Bus dan dengan dukungan pusat yang relatif terbatas. Di jam sibuk, penumpang didominasi perempuan dan pelajar—kelompok yang paling diuntungkan jika layanan andal dan terjangkau. Pekanbaru yang juga memiliki komitmen anggaran untuk transportasi publik maksimal 5% (Perda 2/2024) juga mulai mengembangkan jaringan bus kota dan telah mengoperasikan delapan unit angkot listrik sebagai bagian dari strategi elektrifikasi dan pengembangan layanan. Ini adalah tanda bahwa kesadaran terhadap transisi energi dan transportasi berkelanjutan sudah terbentuk di tingkat daerah.
Pembelajaran dari Transjakarta menunjukkan bahwa pada 2024, Biaya Operasional Kendaraan (BOK) per kilometer bus listrik Transjakarta sudah sekitar 5% lebih rendah dibanding bus konvensional berbahan bakar fosil, sejalan dengan proyeksi studi ITDP pada 20228. Senada dengan hal tersebut, data operasional EV PT Kalista Nusa Armada (KALISTA) di Medan misalnya, menunjukan sebuah potensi penghematan biaya energi yang mampu mencapai puncaknya hingga 79%9.
Artinya, dengan besaran subsidi yang sama seperti saat mengoperasikan bus berbahan bakar diesel, pemerintah daerah kini dapat mengoperasikan jumlah bus yang sama bahkan lebih—namun dengan bus berbahan bakar listrik yang lebih efisien dan rendah emisi.
Dari sisi lingkungan, elektrifikasi armada bus kota memiliki dampak besar. Dalam kajian ITDP tentang elektrifikasi transportasi publik di Jakarta, bus kota berkontribusi sekitar 45,7% emisi Gas Rumah Kaca dari sektor transportasi dan 21,4% polusi udara lokal. Dengan elektrifikasi Transjakarta secara bertahap, potensi pengurangan emisi gas rumah kaca diperkirakan mencapai sekitar 611.580 tCO₂e pada 203010. Pengurangan emisi ini berarti penurunan risiko penyakit akibat polusi dan penghematan biaya kesehatan dalam jangka panjang.
Meski sejumlah kota seperti Semarang, Padang, dan Pekanbaru menunjukkan inisiatif pendanaan secara mandiri, peran pemerintah pusat tetap krusial untuk memastikan keberlanjutan layanan. Penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 serta pemangkasan tambahan pada 2025 berpotensi mempersempit ruang fiskal daerah, sehingga dukungan pusat menjadi semakin penting bagi keberlanjutan transportasi publik11.
Tanpa skema pendanaan nasional yang lebih stabil—baik dalam bentuk dana alokasi khusus sektor transportasi publik, program insentif nasional untuk bus listrik, maupun skema buy the service yang berkelanjutan—daerah yang hari ini berani berinvestasi bisa saja mundur beberapa tahun ke depan. Dengan kata lain, kota bisa kreatif dan progresif, tetapi tulang punggung pembiayaan tetap harus diperkuat oleh pemerintah pusat.
Reformasi Transportasi Publik: Belajar dari Kesalahan Jakarta
Di hampir semua kota besar di Indonesia, kemacetan dan polusi udara menjadi isu yang dihadapi sehari-hari. Diskursus publik kerap terjebak pada solusi “menambah bus” atau “memperbanyak jalur MRT dan LRT”. Pengalaman Jakarta menunjukkan, itu belum cukup.
Jakarta sudah memiliki jaringan transportasi publik paling lengkap di Indonesia: Transjakarta sebagai BRT terpanjang di dunia, jaringan MRT dan LRT, KRL komuter, jalur sepeda, serta berbagai inisiatif integrasi antarmoda. Namun, kemacetan tetap tinggi dan kualitas udara masih jauh dari ideal. Salah satu sebab utamanya adalah kebijakan Transport Demand Management (TDM) yang tertinggal jauh serta transisi dari bus berbahan bakar diesel ke listrik yang belum agresif.
Teknologi bus listrik baru menjadi semakin terjangkau dan relevan untuk Indonesia dalam lima tahun terakhir. Melihat manfaat jangka panjangnya, Transjakarta—yang sudah mengoperasikan sekitar lima ribu bus diesel dengan jarak tempuh rata-rata 200 kilometer per hari—perlu memulai transisi menuju bus listrik sejak 2022. Proses ini tidak mudah bagi Jakarta karena skala armadanya yang besar. Namun kini, biaya operasional bus listrik telah setara dengan bus diesel, menandai titik balik penting bagi adopsi teknologi ini. Kondisi ini membuka peluang besar bagi kota-kota lain yang armada busnya masih relatif kecil untuk langsung mengadopsi bus listrik sebagai tulang punggung transportasi publiknya, tanpa harus melalui proses transisi panjang seperti Jakarta.
Sejumlah kota dunia telah membuktikan dampak positif elektrifikasi transportasi publik. Shenzhen, Tiongkok, misalnya, meremajakan lebih dari 16.000 bus menjadi armada listrik sejak 2017 dan berhasil menekan emisi karbon sekaligus menurunkan biaya operasional. Dengan model bisnis inovatif yang telah menghadirkan 2.550 bus listrik12, Santiago, Chili, mencatat penurunan PM2.5 hingga 80%, pengurangan kebisingan sebesar 44%13, serta penurunan total biaya kepemilikan (TCO) hingga 32% dibanding bus diesel14, dan kini menargetkan 4.400 unit bus listrik15 pada 2025. Jakarta memiliki peluang yang sama.
Untuk isu kemacetan, pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi melalui Transport Demand Management (TDM) menjadi kunci. Tarif parkir di pusat kota di Jakarta masih terlalu murah untuk ukuran metropolitan, Kawasan Rendah Emisi (KRE) baru berjalan terbatas dan belum menjadi instrumen pengendalian penggunaan kendaraan yang efektif, sementara Electronic Road Pricing (ERP) terus tertunda meski telah dibahas lebih dari satu dekade. Kebijakan Ganjil Genap masih tersedia, namun memiliki efektivitas yang rendah karena hanya menggeser waktu perjalanan dan bahkan memiliki efek rebound di mana banyak rumah tangga yang malah membeli mobil atau motor baru dengan plat berbeda.
Tanpa TDM yang kuat seperti ERP dan KRE yang mampu mengatur perilaku pengguna kendaraan dengan dampak lebih terukur dan berkelanjutan, kota-kota akan terus terjebak dalam siklus yang melelahkan: menambah angkutan umum → kemacetan tetap → orang tetap memilih kendaraan pribadi → emisi dan polusi tetap tinggi → penurunan kualitas layaan transportasi publik utamanya bus.
Di banyak negara, kualitas dan keterjangkauan transportasi publik menjadi indikator keseriusan pemerintah terhadap kesejahteraan warganya. Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dan kota-kota di luar Jakarta mulai menunjukkan bahwa mereka mampu melangkah lebih jauh. Namun, tanpa konsistensi kebijakan nasional, skema pendanaan pusat yang berpihak, dan keberanian politik untuk menerapkan TDM, kemajuan itu akan selalu terancam maju-mundur.
Pada akhirnya, pemerintah pusat menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kota-kota dengan sistem transportasi publik yang baik dan kuat. Ketika layanan transportasi publik yang berkualitas tinggi dan terjangkau tersedia, akan membuka akses lebih luas ke pekerjaan, pendidikan dan layanan dasar yang pada akhirnya menurunkan angka kemiskinan, memperluas peluang ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kata lain, mendukung kota-kota untuk membangun transportasi publik yang berkelanjutan sesungguhnya adalah upaya untuk memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi nasional itu sendiri.
Referensi:
- Simanjuntak, A. K. M. (2025, August 18). Susut 29%, Alokasi Transfer ke Daerah Pada 2026 Hanya Rp650 Triliun. DDTCNews. https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1813001/susut-29-alokasi-transfer-ke-daerah-pada-2026-hanya-rp650-triliun
- Silfia, I. (2025, February 5). Sri Mulyani Pangkas Dana Transfer ke Daerah Rp50,59 Triliun. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4628573/sri-mulyani-pangkas-dana-transfer-ke-daerah-rp5059-triliun
- Mangontan, E. (2025. February 10). Mengokohkan Komitmen Layanan Transportasi Publik Kota Semarang dengan Koridor Hijau. ITDP Indonesia. https://itdp-indonesia.org/2025/02/mengokohkan-komitmen-layanan-transportasi-publik-kota-semarang-dengan-koridor-hijau/
- Cakti, A. (2025, July 10). Kemenhub Siap Kaji untuk Reduksi Tingginya Biaya Transportasi Warga. Antara News. https://m.antaranews.com/berita/5005521/kemenhub-siap-kaji-untuk-reduksi-tingginya-biaya-transportasi-warga
- Hikam, H. (2025, July 31). Survei Membuktikan! Ongkos Transportasi Kuras Kantong Warga RI. detikFinance. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8038837/survei-membuktikan-ongkos-transportasi-kuras-kantong-warga-ri
- Mangontan, E. (2025. February 10). Mengokohkan Komitmen Layanan Transportasi Publik Kota Semarang dengan Koridor Hijau. ITDP Indonesia. https://itdp-indonesia.org/2025/02/mengokohkan-komitmen-layanan-transportasi-publik-kota-semarang-dengan-koridor-hijau/
- Rochimawati. (2025, May 18). Pengamat: Trans Semarang Butuh Pembenahan untuk Tingkatkan Layanan Transportasi Publik. Majalah Lintas. https://www.majalahlintas.com/pengamat-trans-semarang-butuh-pembenahan-untuk-tingkatkan-layanan-transportasi-publik/
- Anam, R. (2025, July 3). Bagaimana Kabar Bus Listrik dalam Komitmen Elektrifikasi Nasional? ITDP Indonesia. https://itdp-indonesia.org/2025/07/bagaimana-kabar-bus-listrik-dalam-komitmen-elektrifikasi-nasional/
- Parsaulian, D. (2025, December 6). Kalista Dapat Sediakan Bus Elektrik Sebagai Sarana Transportasi Publik. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/otomotif/837515/kalista-dapat-sediakan-bus-elektrik-sebagai-sarana-transportasi-publik
- Siregar, D. (2023, July 25). Memastikan Inklusivitas dalam Elektrifikasi. ITDP Indonesia. https://itdp-indonesia.org/2023/07/memastikan-inklusivitas-dalam-elektrifikasi/
- Silfia, I. (2025, February 5). Sri Mulyani Pangkas Dana Transfer ke Daerah Rp50,59 Triliun. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4628573/sri-mulyani-pangkas-dana-transfer-ke-daerah-rp5059-triliun
- Red Movilidad. (2025, April 23). Red buses generate only 3.3% of transport emissions in Santiago: 90% come from private cars and Motorcycles. https://www.red.cl/en/red-communicates/buses-red-generan-solo-el-33-de-las-emisiones-del-transporte-en-santiago-el-90-viene-de-autos-y-motos-particulares/
- InvestChile Blog. (2025, May 5). Electric buses in Santiago account for just 3% of total emissions. https://blog.investchile.gob.cl/electric-buses-emissions/
- Sustainable Bus Blog. (2025, April 22). Santiago de Chile aims to introduce 1,800 e-buses this year (thus achieving 68% zero emission bus fleet). https://www.sustainable-bus.com/news/santiago-chile-1800-electric-buses-2025/
- Sustainable Bus Blog. (2022, November 9). New study in Santiago, Chile shows that electric buses have lower TCO than diesel. https://www.sustainable-bus.com/news/santiago-electric-buses-tco-diesel/
