March 21, 2018

Mengapa (harus) BRT?

MENGAPA (HARUS) BRT?

Peningkatan Performa Trans Semarang

Tingginya tingkat kendaraan bermotor pribadi serta rendahnya pengguna transportasi umum, khususnya di perkotaan, menjadi masalah yang semakin penting untuk dihadapi. Sudah menjadi suatu keharusan bagi pemerintah kota untuk menyediakan transportasi massal yang layak bagi warganya demi menunjang kegiatan sosial dan ekonomi. Konsensus yang muncul dalam mengatasi masalah transportasi dan mobilitas di perkotaan ialah dengan cara mereformasi sistem transportasi publik dan membangun sistem transportasi massal. Sistem transportasi massal seperti Bus Rapid Transit (BRT), Light Rail Transit (LRT), serta Mass Rapid Transit (MRT) muncul sebagai solusi untuk meningkatkan mobilitas masyarakat di kawasan perkotaan.

Menyediakan transportasi massal tak perlu harus menunggu suatu kota berstatus metropolitan atau memiliki penduduk di atas 2-3 juta jiwa. Kota yang memiliki populasi di atas 500.000 jiwa, harus segera memetakan sistem transit massal yang dapat diimplementasikan dengan segera. Sistem transit yang berbasis rel maupun jalan, memiliki kekuatan serta kelemahan masing-masing. Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dari Technical University of Denmark menunjukkan, sistem transportasi berbasis jalan (BRT) dapat diimplementasikan dengan jangka waktu yang lebih cepat dengan biaya yang jauh lebih rendah sehingga menghasilkan efek strategis yang lebih besar dibandingkan dengan sistem transit berbasis rel.

Perbandingan Sistem BRT dan LRT

Bus Rapid Transit (BRT) adalah sistem transit berbasis bus berkualitas tinggi yang memberikan layanan yang cepat, nyaman, serta memiliki kapasitas angkut yang besar. Karena BRT memiliki fitur yang mirip dengan sistem kereta ringan atau metro, BRT jauh lebih dapat diandalkan dibanding layanan bus biasa. Hal ini dilakukan melalui penyediaan jalur khusus dan halte yang biasanya berada di median jalan, pembayaran tiket off-board, serta frekuensi dan kecepatan bus yang tinggi. Dengan fitur yang tepat, sistem BRT dapat menjadi solusi dari kekurangan layanan bus reguler seperti, terjebak dalam kemacetan, menganggu lalu lintas dengan menaikturunkan penumpang di sisi jalan, dan kebocoran pendapatan dari tiket on-board.

BRT di Yichang, China

Sistem BRT juga memiliki jangka waktu pembangunan dan pengimplementasian yang relatif pendek jika dibandingkan dengan sistem berbasis rel, karena sistem BRT minim pembangunan infrastruktur baru yang akan memakan waktu dan biaya yang lebih besar. Hal ini nantinya berpengaruh pada tarif yang lebih terjangkau bagi penggunanya. Selain itu, pembangunan BRT yang juga minim proses pembebasan lahan membuat sistem BRT dapat beroperasi dan melayani masyarakat lebih cepat.

Keuntungan lain sistem BRT ialah memiliki tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi dari angkutan massal berbasis rel. Sistem BRT dapat menjangkau area-area perkotaan yang tidak dapat dicapai oleh sistem rel karena kekakuan infrastruktur. Jika penyelenggara kota benar-benar menaruh perhatian dan prioritasnya dalam mengembangkan layanan BRT dengan desain kapasitas tinggi serta jangkauan yang lebih besar serta meluas, bukan hal yang mengejutkan nantinya jika daya angkut dari sistem BRT bisa menyamai atau bahkan melebihi daya angkut LRT.

Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 140 kota di berbagai belahan dunia yang telah menerapkan sistem BRT untuk membantu memfasilitasi mobilitas, mengurangi jumlah kendaraan bermotor dan kemacetan, serta mengurangi polusi yang dihasilkan oleh kegiatan transportasi perkotaan. Di Indonesia sendiri, selain Transjakarta sudah muncul bibit-bibit sistem BRT di kota-kota lain, salah satunya di Semarang dengan Trans Semarang.

BRT Trans Semarang

Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa tengah dengan luas wilayah 373,78 km2. Dengan jumlah penduduk lebih dari 1,7 juta jiwa (data tahun 2016), pergerakan warga di Semarang sudah saatnya difasilitasi secara lebih efisien. Walau transportasi umum sudah tersedia di Kota Semarang seperti, angkot, bus regular dan Trans Semarang, kendaraan bermotor pribadi masih mendominasi mode share di Semarang.

Mode Share di Kota Semarang (Sumber: Survey ITDP & IGES 2017)

Melihat kondisi di atas, Pemerintah Kota Semarang memerlukan perubahan paradigma yang mengedepankan solusi mobilitas massal yang efisien, aman, dan memiliki dampak yang minim bagi lingkungan. Solusi yang perlu dilakukan adalah, meningkatkan performa Trans Semarang.

Saat ini, dengan 6 rute beroperasi, Trans Semarang telah mengangkut hingga  25 ribu perjalanan per hari. Namun, jumlah ini relatif rendah dibandingkan dengan jumlah pengguna angkutan kota (angkot) yaitu 50% dari total perjalanan angkutan umum.

Jalur Khusus di Trans Semarang.

Sistem Trans Semarang yang beroperasi sejak tahun 2009 bukanlah  sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang diakui secara internasional. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Semarang perlu meningkatkan kualitas Trans Semarang sehingga menjadi angkutan massal yang handal dan berkualitas tinggi.

ITDP Indonesia sebagai NGO yang mempromosikan transportasi berkelanjutan dan berkomitmen membantu pemerintah kota di Indonesia dalam  meningkatkan kualitas transportasi massal, mempunyai beberapa usulan bagi Pemerintah Kota Semarang untuk mengoptimalkan Trans Semarang agar bisa menjadi sistem BRT yang memiliki standar internasional. Salah satunya dengan mengimplementasikan full coridor BRT dengan jalur khusus.

Trans Milenio di Bogota (Sumber: ITDP China)

Implementasi full corridor BRT di Kota Semarang bertujuan untuk memperoleh manfaat dari transportasi massal yakni, adanya penghematan waktu tempuh dan kapasitas angkut yang meningkat; sehingga dimungkinkan untuk menambah armada dan juga rute yang melintas. Selain itu, dengan stasiun yang berada di median tentunya akan mempermudah bagi penumpang yang memerlukan transfer antar moda.

Sistem Direct Service

Pengoperasian sistem BRT yang ITDP Indonesia usulkan juga mencakup adanya layanan yang dinamakan ‘direct-service’ BRT. Sistem direct service BRT dipilih untuk diterapkan di sistem BRT Kota Semarang dikarenakan dengan sistem ini, bus dapat beroperasi di dalam maupun di luar koridor BRT. Sistem ini juga berpotensi mengurangi transfer antar moda yang dilakukan penumpang sehingga meminimalisir waktu tunggu penumpang. Selain itu, frekuensi bus akan meningkat dengan banyaknya rute yang beroperasi dalam sistem BRT. Pada hasil perencanaan awal, Trans Semarang direncanakan memiliki panjang koridor 16 kilometer dengan 19 rute direct service yang dapat melayani 176 kilometer ruas jalan.

Konsep Direct Service BRT (Sumber: ITDP)

Sistem direct-service sudah terbukti efektif untuk dapat menjangkau kawasan di luar koridor, dengan kualitas yang sama dengan layanan BRT. Hal ini dilakukan agar dapat melayani penumpang sedekat mungkin (door-to-door). Di Jakarta, setelah sistem direct-service diadopsi akhir tahun 2015 telah berhasil menambah penumpang dari 102 juta penumpang menjadi 144 juta penumpang di akhir tahun 2017.

BRT Guangzhou (Sumber: ITDP China)

Diharapkan, dengan implementasi full corridor dan direct-service, BRT bukan hanya serta-merta untuk membangun infrastruktur BRT, namun juga sebagai langkah awal dalam penataan kota di Semarang. ITDP Indonesia yakin, dengan adanya rencana peningkatan Trans Semarang menjadi sistem full BRT dengan lajur khusus, akan tercipta pola perjalanan baru yang berbasiskan angkutan umum. Jika dibandingkan dengan membangun LRT yang membutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar, sistem BRT merupakan solusi yang paling efektif, cepat dan terjangkau bagi kota-kota Indonesia, termasuk Semarang.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP